31.4 C
Jakarta

Kesetaraan Gender dalam Aksi Teror

Artikel Trending

CNRCTKesetaraan Gender dalam Aksi Teror
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pelaku serangan teror di gereja Katedral Makassar (28/3/2021) dan Mabes Polri (31/3/2021) melibatkan laki-laki dan wanita. Dalam terorisme berlaku kesetaraan gender. Meski demikian, terdapat perbedaan mendasar mengenai psikologi pelaku aksi terorisme antara laki-laki dan perempuan. Karena secara kodrati antara laki-laki dan perempuan berbeda. Secara fisik dan kecenderungan psikis. Di samping dari perspektif gender yaitu perspektif sosio-kultural tentang laki-laki dan perempuan, setiap daerah mempunyai perspektif yang berbeda-beda yang turut membentuk psikologi pelaku dalam konteks psikologi perkembangan pelaku dan psikologi sosial.

Menurut Hasil penelitian mahasiswa Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI tentang psikologi sosial pelaku terorisme, berdasarkan tergambar beberapa pola umum individu terlibat radikalisme yang notabene jalan menuju aksi terorisme. Ditinjau dari psikologi perkembangan, pola asuh di dalam keluarga pada usia anak-anak dan remaja menjadi faktor utama yang mempengaruhi perilaku pelaku terorisme. Orang tua yang gagal menginternalisasi nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, keharmonisan dan toleransi, berpeluang membentuk jiwa keras, kasar dan kaku dalam diri anak.

Kemudian berlanjut kepada psikologi sosial. Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang, perdamaian, keharmonisan dan toleransi akan mencarinya ke luar, lingkungan pergaulan. Biasanya anak-anak senasib akan berkumpul menjadi satu kelompok permainan. Anak dan remaja yang berjiwa keras, kasar dan kaku bertemu lalu mencari legitimasi atas tindakan mereka. Sekolah sebagai tempat sosialisasi kedua setelah keluarga menjadi tempat yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya jiwa radikalisme dan hasrat melakukan kekerasan (terorisme) karena sekolah lebih mementingkan aspek akademis ketimbang pembentukan karakter, akhlak dan moral.

Berdararkan teori motivasi dari USA Army Training and Doctrine Command, terdapat beberapa kategori mengenai motivasi yang umum digunakan sebagai alasan terorisme oleh suatu gerakan tertentu di antaranya motif revolusioner yang dilatarbelakangi oleh dorongan keagamaan. (Hoffman, B. 1998).

Antara laki-laki dan perempuan pelaku teror mempunyai motif primer yang sama, yakni ingin menegakkan agama. Meskipun demikian, ada perbedaan motif sekunder. Laki-laki pelaku teror mau menghilangkan penghalang-penghalang fisik bagi tegaknya agama, sedangkan perempuan umumnya karena mau mengukuti jejak suami atau ingin taat kepada suami demi meraih ridla suami yang diyakini sebagai syarat mendapat ridla ilahi. Udji Asiyah Ratna Azis Prasetyo., 2020).

Dengan menggunakan pendekatan penelitian gender instrumentalis, kesetaraan gender dalam aktivitas terorisme bisa dianalisa. Pendekatan instrumentalis melihat peran laki-laki dan perempuan saling melengkapi satu sama lain di dalam mencapai tujuan organisasi. Pembedaan peran bersifat kodrati / alamiah yang dipengaruhi oleh sistem sosial budaya dimana anggota. Dengan pendekatan ini ditelusuri interaksi antara stereotip gender dan peran laki-laki dan perempuan dalam organisasi. Apakah bertindak sebagai pendukung, perekrut atau propagandis. (Mia Suciwati, 2020).

Peran dasar perempuan dalam terorisme adalah sebagai istri atau ibu pelaku teror. Padahal faktanya tidak demikian. Jessica Bernard di dalam bukunya yang berjudul The Future of Marriage mengatakan, perkawinan meliputi beberapa hal, di antaranya berkaitan dengan kesepakatan dan pada saat yang sama merupakan suatu sistem budaya dari kepercayaan, berkaitan dengan lembaga pengaturan peran dan norma, perempuan dan laki-laki.

Menurut Jessica Bernard (di dalam Ritzer, 1996 di dalam Wagiyo, 2019), secara budaya, perkawinan diidealkan sebagai takdir dan kewajiban bagi perempuan, serta sebagai perpaduan domestifikasi, tanggung jawab dan hambatan bagi laki-laki. Kemudian secara kelembagaan perkawinan memperkuat peran suami dengan otoritas pria dan kebebasan yaitu, untuk melangkah melampaui ranah domestik, perkawinan juga menghubungkan antara ide otoritas pria dengan kejantanannya dan kekuasaan laki-laki, serta pemberian mandat bahwa istri itu merupakan gambaran dari kepatuhan, ketergantungan, dan terutama merupakan pusat aktivitas rumah tangga yang terisolasi.

Peran tersebut dibagi menjadi empat jenis yaitu pendukung tidak langsung, pendukung secara langsung, pelaku bom bunuh diri dan posisi pimpinan dalam kelompok. Peran sebagai pendukung tidak langsung adalah mereka yang mendukung jaringan ISIS namun tidak ikut terlibat dalam aktivitas terorisme yaitu perempuan-perempuan yang memberikan dukungan secara finansial, material, dan sikap sosial. perempuan dalam kelompok terorisme adalah sebagai pendukung langsung yang terlibat aktivitas terorisme namun bukan pelaku bom bunuh diri. (Hogg dkk, 2004).

Perempuan yang berperan sebagai pendukung langsung dan terlibat aktif dalam jaringan teror. Posisi ketiga yaitu sebagai pelaku bom bunuh diri. Peran perempuan sebagai martir bom pada posisi ini sebagai posisi khusus tersendiri. Posisi keempat yaitu peran sebagai pemimpin kelompok. Pada posisi pemimpin adalah posisi yang menempatkan seseorang pada resiko tertinggi. Posisi ini adalah posisi pimpinan dalam sebuah kelompok terorisme yang memiliki kewenangan untuk memilih orang lain untuk dilibatkan dalam jaringan teror.

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru