29.7 C
Jakarta

Kerja Paksa di Taiwan dan Freire

Artikel Trending

KhazanahSuara PembacaKerja Paksa di Taiwan dan Freire
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kerja Paksa di Taiwan dan Freire

Dalam gegap gempitanya pendidikan Indonesia dan isu kerja paksa di Taiwan yang sedang panas-panasnya mewabah seantero Nusantara, sudah menjadi kelayakan bila mahasiswa itu melakukan diskusi. Para mahasiswa perantauan yang berada di Taiwanpun tak luput ikut dalam setiap proses dinamisasinya. Kemudian terlontar kalimat; “Toh dikampus setiap beberapa tahun ada evaluasi kurikulum. Melihat apakah kompetensi lulusan kita sesuai dengan keinginan Pasar”

Taiwan

Mari kita tengok negara yang sekarang sedang hangat-hangatnya kita bicarakan bersama. Taiwan merupakan Negara maju yang status kemerdekaan/kenegaraannya masih belum diakui sepenuhnya. Berawal pada tahun 2011 di mana angka kelahiran bayi pada tahun tersebut ialah 0,9. Kemudian sesampai pada tahun 2016, Dewan Pembangunan Nasional melaporkan angka kelahiran bayi pada tahun tersebut ialah 1,2 . Angka kelahiran tersebut berarti 1,2 bayi yang lahir tahun itu per 1.000 wanita berusia 15 hingga 49 tahun. Berbagai macam usaha sudah dilakukan namun tetap tak dapat menyelesaikan masalah, dengan dalih mahalnya biaya asuh anak, fokus pada karir yang juga mencakup jam kerja yang panjang dari calon keluarga, dan ragu menikah tanpa uang karena biaya hidup dan properti mahal.

Taiwan merupakan negara dengan basis Industri. Sangat minimnya angka pertumbuhan penduduknya akan mempengaruhi perputarannya roda Industri, jangka panjangnya akan berakibat fatal kepada perekonomian negara.

Tidak hanya sampai pada Industri saja. Dunia pendidikanpun juga mengalami keterpurukan, banyak kampus yang harus tutup karena diputusnya subsidi dari pemerintah karena kurangnya mahasiswa. Maka tak ayal lagi banyak kampus di Taiwan ini yang melakukan peleburan satu dengan yang lain supaya tetap bisa beroperasi.

Perjuangan Taiwan

Beruntung Taiwan memiliki Presiden Perempuan yang sangat lihai dalam berdiplomasi. Tsai Ing-Wen membuat gebrakan untuk mengentaskan masalah tersebut ialah New South Bond Policy bersama dengan 18 negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Australia. Tujuannya ialah meningkatkan kerja sama serta meningkatkan pertukaran. Termasuk juga pertukaran pelajar.

Kementerian Pendidikan Taiwan dengan adanya New South Bond Policy membuat target untuk meningkatkan mahasiswa internasional dari tahun 2019 sebanyak 58.000 dan meningkat lagi pada tahun 2020 sebesar 150.000 dengan anggaran sebesar 1 Milyar NTD atau setara 32 juta USD. Seharusnya peluang setiap Mahasiswa Internasional untuk mendapatkan beasiswa ini sangat tinggi.

Mari kita tengok kembali, masih minimnya pertumbuhan penduduk yang berdampak pada kurangnya tenaga kerja serta kurangnya mahasiswa dalam suatu universitas. Maka sebuah terobosan terkini ialah Mahasiswa Magang. Genap sudah, pabrik terpenuhi tenaga kerja dan Kampus terisikan daftar Mahasiswanya.

Perkara Kerja Paksa yang sedang hangat dibicarakan itu perspektif. Beberapa aspek yang perlu kita pertimbangkan, kejelasan jam kerja oleh Mahasiswa Magang tadi yang seringnya dijadikan perkara tarik ulur oleh pabrik supaya memperoleh tenaga kerja untuk mencapai target pesanan dan kampus hanya diam karena ini menyangkut kepentingan, Negara. Mahasiswa yang tetap dibebani uang semesteran secara penuh walau hanya kuliah selama 2 hari dalam seminggu, ini juga yang membuat mahasiswa tak sanggup berbuat apa-apa selain bekerja. Kemudian Agency yang seringya melakukan penjualan terhadap program termasuk juga dengan buai-buaian sales.

Pendidikan

Dalam lingkaran setan di atas ialah bukan perkara benar atau salah. Namun yang jelas sudah terjadi tindak dehumanisasi di mana manusia sudah diperlakukan bukan selayaknya manusia.  Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of The Opressed)  termaktubkan cita-cita untuk kemajuan pendidikan supaya memunculkan sistem sosial baru yang lebih adil.

Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganilisis secara bebas serta kritis untuk sebuah transfromasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan ialah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.

Ternyata sampai pada tingkatan pendidikan yang tinggipun mahasiswa perantauan di Taiwan memiliki pengilhaman bahwa pendidikan hanya digunakan untuk mendapatkan pekerjaan.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Bab 1  Pasal 1 menyatakan dengan sejelas-jelasnya “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”

Maka pertanyaan terakhir dari saya, dimulai sejak kapan instansi pendidikan ini merupakan pencipta sebuah barang yang siap untuk diperjualbelikan di pasar-pabrik tenaga kerja?

 

Akhmad Zaed, pegiat dan pecinta kopi aseli Wonosobo, mahasiswa Cheng Shiu University, Kaohsiung, Taiwan.

 

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru