33.2 C
Jakarta

Keresahan Pemerintah Menghadapi Paham Radikal

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKeresahan Pemerintah Menghadapi Paham Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Merebaknya isu radikalisme telah memicu kekhawatiran banyak pihak, termasuk pemerintah sendiri, mulai Menteri Agama Fachrul Razi hingga Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi. Kekhawatiran ini mendorong dua tokoh publik tersebut melakukan tindakan nyentrik sehingga kebanyakan masyarakat sulit menafsirkannya.

Tindakan Fachrul Razi pada mulanya dibunyikan dengan larangan celana cingkrang bagi laki-laki dan cadar bagi perempuan. Larangan ini dinilai kontroversial yang memicu timbulnya perselisihan masyarakat menjadi dua kubu: setuju dan tidak. Bagi yang tidak setuju, celana cingkrang dan cadar termasuk mode pakaian yang memiliki makna tertentu yang berkaitan dengan paham kelompok garis keras alias radikalisme.

Makna yang terlintas saat melihat orang pakai celana cingkrang adalah pengikut paham Wahabi yang digagas oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab. Sekarang paham ini sedang menguasai seluruh lapisan negara Arab Saudi. Sedang, di Indonesia paham ini kurang begitu diminati karena masih dibentengi oleh pemerintah dan masyarakat sendiri yang masih menyadari bahwa paham Wahabi bukanlah ajaran Islam yang moderat dan bertentangan dengan nilai-nilai perdamaian dan kesejahteraan.

Salah satu kubu di Indonesia yang getol menyuarakan kesesatan paham Wahabi adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ketua Umum PBNU Prof. Said Aqil Siradj sering mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati terjebak ke dalam paham Wahabi yang terlarang. Wahabi, sebut Said Aqil, memang bukan terorisme, tetapi ia dapat mengantarkan seseorang menjadi teroris.

Larangan cadar tak sedikit juga menghadirkan perselisihan di tengah masyarakat Indonesia. Sebagian kelompok, lebih-lebih komunitas Cadar Squad, merasakan terintimidasi dengan larangan cadar yang disampaikan Fachrul Razi. Karena, kelompok ini memiliki banyak kepentingan di balik pemakaian cadar, baik kepentingan ideologis maupun kepentingan bisnis. Secara ideologis, mereka meyakini cadar adalah pakaian syar’i yang diperintahkan oleh agama untuk menutup aurat wanita. Sedang, secara bisnis mereka memiliki bisnis pakaian cadar, sehingga dengan larangan itu bisnis yang mereka tekuni akan semakin mengurangi peminat konsumen.

Sebagian yang tidak menyetujui pakaian cadar karena dihantui kekhawatiran atas ideologi yang diusung di balik pakaian tersebut. Dengan memakai cadar, seseorang secara tidak langsung telah terjebak ke dalam paham terlarang ISIS yang didirikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi di Raqqah Suriah. Semua pengikut ISIS, lebih-lebih di Suriah sendiri, diharuskan memakai cadar. Menghindari pakai cadar akan mendapatkan hukuman yang berat dari pemerintah ISIS. Ideologi ini jelas berseberangan dengan kontroversi batasan aurat wanita. Sebab, sebut Quraish Shihab, batasan aurat sendiri belum diuraikan secara jelas dalam Al-Qur’an.

Selain itu, tindakan Prof. Yudian akhir-akhir ini mengguncang lapisan masyarakat Indonesia, mulai dibunyikannya pernyataan “Musuh Pancasila adalah agama” sampai diletupkannya tak lama setelah itu gagasan penggantian ucapan salam “As-Salamu alaikum” dengan “Salam Pancasila”. Tindakan kepala BPIP ini sesungguhnya terdorong dari kegelisahannya melihat paham radikal masih berkecambah di Indonesia, mulai paham radikal HTI sampai terorisme. HTI memang sudah dibubarkan beberapa tahun silam di Indonesia, tapi ideologi yang diusung masih tetap melekat di benak pengikutnya. Lebih dari itu, tidak kunjung punah aksi-aksi terorisme yang telah mengusik kesejahteraan masyarakat.

BACA JUGA  Mewaspadai Aksi-aksi Terorisme pada Tahun Baru

Dengan pernyataan agama adalah musuh terbesar Pancasila, Prof. Yudian tidak menuding semua agama, lebih-lebih agama-agama yang ada di Indonesia. Sebut saja, Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Prof. Yudian merasa resah dengan kehadiran sebagian kelompok garis keras yang sering menjadikan agama sebagai jembatan untuk kepentingan yang bersifat individualis. Sehingga, masyarakat hampir telah terjebak pada paham radikal yang dipoles dengan isu-isu agama. Instrumen agama yang sering dihadirkan oleh kelompok teroris adalah pertanyaan yang semestinya tidak layak dipertanyakan: Pilih mana Nabi Muhammad atau Jokowi? Pilih mana Al-Qur’an atau Pancasila? Pilih mana negara Islam atau negara kafir seperti Indonesia?

Pertanyaan tersebut secara tidak langsung merusak nilai-nilai moderasi yang dicita-citakan Islam. Bahkan, pertanyaan picik ini telah membenturkan agama dan negara. Seharusnya—seperti yang disebutkan oleh Cak Nur dan disetujui oleh Gus Dur—agama dan negera hendaknya dibedakan. Karena itu, agama seharusnya tidak usah mengatur negara. Memaksakan agama berperan dan mengurus negara akan menjadi tumpang tindih. Perhatikan bagaimana FPI yang didirikan Habib Rizieq Shihab bersikeras mengampanyekan NKRI Bersyariah karena sebelumnya melihat NKRI belum Islami. Padahal, NKRI itu sebenarnya tanpa label syariah sudah mencakup nilai-nilai semua agama, termasuk Islam sendiri.

Penggantian salam dengan “Salam Pancasila” juga bukan bermaksud melihat sesuatu yang negatif dalam tubuh Islam sendiri. Dengan agama Islam yang diyakini sejak sebelum menjabat sebagai Kepala BPIP, Prof. Yudian tetap melihat Islam adalah agama yang paling dicintai. Lebih dari itu, agama Islam termasuk agama yang menghadirkan nilai-nilai persatuan, perdamaian, dan saling menghormati. Saya menduga, isu penggantian salam ini hanyalah sebuah kritik atas masyarakat yang mati-matian membela agama, kendati persatuan negara sendiri terpecah. Bahkan, masyarakat lebih memperhatikan agama dibandingkan tegaknya negara.

Thus, Menteri Agama Fachrul Razi dan Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi sesungguhnya memiliki kepedulian yang tinggi atas keutuhan sebuah negara, sekalipun mereka harus dihadapkan dengan peliknya perselisihan karena masyarakat belum mampu menangkap pesan di balik pernyataan yang mereka sampaikan. Pernyataan tidak cukup hanya dipahami sebatas kulitnya saja, namun juga harus ditelaah lebih serius maksud dibalik pernyataan tersebut, karena itulah kebenaran yang sesungguhnya.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru