29.7 C
Jakarta

Kenapa Pengasong Khilafah Lebih Laku dari Moderasi Beragama?

Artikel Trending

Milenial IslamKenapa Pengasong Khilafah Lebih Laku dari Moderasi Beragama?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Karena sudah lama tidak mendengar narasi para pengasong khilafah, dan publik ramai hanya oleh berita FPI, iseng-iseng saya berkunjung ke kanal YouTube ‘Khilafah Channel’. Mengenai kanal tersebut, saya beberapa kali sudah mengkajinya secara tadarus di bulan Ramadhan tahun lalu. Beberapa tokoh sering mengisi acara, seperti Rokhmat S. Labib, Hafidz Abdurrahman, Ismail Yusanto, dkk, juga beberapa dai baru seperti Yuana Ryan Tresna, Shiddiq Al Jawi, dan lainnya.

Konten-konten mereka, seperti biasa, ditonton ribuan kali. Itu artinya, masyarakat kita masih banyak yang pro-khilafah. Sementara itu, para pegiat moderasi beragama sibuk melakukan penelitian, menerbitkan artikel di jurnal-jurnal. Itu artinya, pasaran moderasi di masyarakat masih kalah dibanding pasaran khilafah. Hasrat ingin menjadikan NKRI sebagai Negara Islam ternyata  masih kuat. Dan yang perlu dicatat, secara terus menerus, para aktivis khilafah menjajakan dagangannya.

Sementara FPI berseteru dengan pemerintah, geliat Negara Islam memanfaatkan momen bahwa dari situasi yang ada, khilafahlah solusinya. Beberapa waktu lalu, sejumlah teroris ditangkap, mulai dari Jemaah Islamiyah (JI) bahkan juga ada yang dari FPI itu sendiri. Sekalipun persentase keberhasilan narasi khilafah relatif kecil, segala peristiwa tersebut cukup untuk menjadi bukti bahwa moderasi beragama belum berhasil dimasyarakatkan—masih ada resistansi terhadapnya.

Itu dalam konteks kanal ‘Khilafah Channel’ saja, belum lagi di kanal-kanal yang lain. Sebab, pengasong khilafah tidak sedikit dan meliputi berbagai kalangan. Ada Felix Siauw dari kalangan ustaz milenial, dan ada Arie Untung dari kalangan artis. Saya tidak habis pikir melihat komentar warganet dalam konten Arie Untung tiga minggu lalu berjudul “Yuk Sabar, Full Version With Felix Siauw”. Kita sering bersilang pendapat ketika berbicara moderasi, sementara narasi khilafah mereka diikat oleh militansi. Ironi.

Militansi Pengasong Khilafah

Ada fakta menarik yang perlu diuraikan, bahwa dakwah pengasong khilafah sangat rapi dan militan. Rapi dimaksud ialah, dakwah-dakwah di satu kanal diisi oleh orang tertentu, dan tidak campur-aduk. Konsistensi menjadi prioritas, yang kalau dipandang secara efektivitas, itu sangat tepat sebagai strategi indoktrinasi. Sedangkan militansi mereka dapat dilihat; sekali Ismail maka akan tetap Ismail, dan sekali Felix maka ia akan terus begitu. Sekuat apa pun diluruskan tidak akan mempan bagi mereka.

Felix dan dakwah khilafah, misalnya, adalah kesatupaduan. Di antara para pengasong khilafah yang ada, ia adalah yang paling cerdas. Tidak sekadar mendoktrin, Felix bahkan yakin bahwa Islam autentik adalah Islam yang dirinya amalkan—khilafah bagian dari syariat yang ditegakkan. Ia tidak butuh jabatan pemerintahan apa pun, kecuali menggantinya sesuai ‘syariat’ yang diyakininya. Melalui pintu militansi tersebut, Felix dengan lihai membuat warganet terpukau dan menjadi bagian dari dagangan khilafahnya.

BACA JUGA  Ustaz Felix: Simbol Murtad Massal Aktivis Khilafah Menjelang Pemilu 2024

Selamanya, kita tidak akan bisa memoderatkan para pengasong khilafah. Mereka bukan aktivis kekerasan, bukan teroris, dan tidak ingin apa pun selain merombak tatanan pemerintahan. Saya mengamati strategi dakwah mereka, dan mendapat kesimpulan bahwa strategi yang mereka pakai untuk memasarkan khilafah ialah keistiqamahan-kemasifan. Sampai pada akhirnya, seseorang akan yakin, bahwa itulah Islam dan syariat yang asli, autentik, arus utama, serta yang paling benar.

Kekalahan Kita, Kaum Moderat

Sampai di situ kita harus mengakui, dalam hal strategi, kita kaum moderat sudah kalah. Pandangan keagamaan kita boleh jadi sudah benar, tetapi masyarakat yang simpatik terhadap khilafah juga semakin membesar. HTI ingin khilafah. FPI dukung khilafah Islamiyah. Teroris yang kebanyakan berideologi Wahabi-takfiri juga ingin hancurkan NKRI yang dianggap thaghut. Bagaimana kita akan menerima bahwa kita yang justru kalah oleh mereka?

Saya suguhkan sebuah contoh sebagai penguat. Berapa orang yang menyukai Gus Yaqut, Menteri Agama yang katanya moderat, ketimbang orang yang menyukai Felix Siauw? Bagi Nahdhiyyin, Gus Yaqut jelas menang. Tetapi bagi masyarakat umum, yang aktif di YouTube, yang spirit keagamaannya memuncak, singkatnya bagi milenial, Felix Siauw tetaplah pemenangnya. Sementara kepada Gus Yaqut, representasi moderat, mereka menganggapnya tidak lebih sebagai tukang gaduh.

Oleh karena target moderasi beragama itu adalah masyarakat umum, maka fakta tersebut menunjukkan kekalahan kaum moderat. Kalau sekadar menang di kalangan Nahdhiyyin, sekalipun banyak, itu tidak ada gunanya karena mereka memang moderat dan tidak lagi butuh dimoderatkan. Apalagi yang sering muncul di YouTube mewakili kaum moderat adalah tokoh-tokoh kontroversial seperti Abu Janda. Alih-alih menang di pasaran publik, justru moderasi beragama semakin tidak laku.

Semestinya, memasyarakatkan moderasi beragama tidak ditempuh dengan cara riset belaka. Target kita bukan intelektual, dan lagi pula di kalangan intelektual, moderasi itu adalah kewajiban. Target kita adalah orang awam yang tidak manjur disuguhi hasil riset, melainkan strategi dakwah. Target kita adalah anak-anak muda milenial yang minim pelajaran agama. Maka untuk memenangkan hati mereka, strategi dakwah moderasi beragama juga harus sesuai alam mereka.

Para pengasong khilafah menang di situ. Jadi terkait judul di atas, kenapa pengasong khilafah lebih laku dari para aktivis moderasi beragama, dan kenapa kita kaum moderat kalah, jawabannya adalah karena kita sendiri. Kita kalah istiqamah, kalah masif, dan strategi dakwah kita yakni riset itu terlalu bergengsi. Kita kaum moderat tidak kalah di gagasan, melainkan kalah di medan. Dan itu, tetap namanya kekalahan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru