26.3 C
Jakarta

Kemiripan Khilafah Versi HTI dan Zionisme Yahudi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKemiripan Khilafah Versi HTI dan Zionisme Yahudi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Uraian tentang konflik di kota suci Yerussalem sebenarnya sudah banyak dan berulang kali ditulis oleh banyak kalangan dengan berbagai sudut pandang. Namun, dari sekian uraian, kadang kali banyak penulis yang terlalu condong untuk mendirikan dan mengharapkan khilafah kembali berdiri dan membebaskan kota Yerussalem dari cengkraman Zionisme Yahudi. Pandangan seperti ini tidak sepenuhnya keliru dan tidak pula merupakan kebenaran mutlak yang harus diyakini sebagai satu-satunya jalan untuk mendamaikan dan membebaskan kota suci Yerussalem.

Hadist tentang akan berdirinya khilafah ala manhaj an-nubuwah, turunnya Isa AS. dan Imam Mahdi memang benar adanya, namun kapan dan bagaimana cara Tuhan mengembalikan khilafah tidak ada keterangan pasti dalam berbagai literatur keislaman. Apakah khilafah yang dimaksud adalah sebuah konsep bernegara yang paten dengan menjadikan Al-Qur’an dan Hadist sebagai rujukan hukum yang berlaku juga buka pemahaman yang mutlak.

Sebab semasa hidup Nabi, beliau tidak menetapkan suatu kensep bernegara yang baku, bahkan empat khilafah penerus kepemimpinannya di Madinah memimpin negara dan menetapkan penerus ekstafet kepemimpinan dengan cara yang berbeda-beda pula.

Namun satu hal yang pasti yaitu, berdirinya khilafah yang dinantikan tidak dengan cara menentang dan memberontak pada pemerintah yang sah dan telah menjadi kesepakatan bersama para pendiri negara, karena perbuatan-perbuatan tersebut jelas menyalahi konsep umum dalam berislam yang telah diuraikan banyak pakar keislaman salaf.

Yerussalem di Bawah Kekuasaan Islam

Yerussalem dibebaskan oleh Umar bin Khattab dan penyerahannya dilakukan tanpa adanya peperangan yang menumpahkan darah sipil. Kunci Yerussalem diserahkan oleh uskup yang menjadi perwakilan dan pimpinan Bizantium Romawi untuk Yerussalem kepada Umar setelah kota itu dikepung oleh pasukan muslimin dibawah komando Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, Uskup tidak berkenan menyerahkan kunci kota Yerussalem kecuali Amirulmukminin Umar yang menerimanya langsung. Begitulah cara Islam ketika membebaskan Yerussalem dari cengkraman Bizantium Romawi.

Ketika berada di bawah kekuasaan Umat Islam, perbedaan etnis, ras dan agama di kota Yerussalem bukanlah masalah sebab pemimpin dan umat yang menjadi mayoritas dapat berlaku adil dan tidak menampilkan rasisme yang dapat menimbulkan konflik dan perpecahan. Gereja Makam Kudus tetap berdiri kokoh dan umat Nasrani tetap bisa dengan bebas menjalankan ritual keagamaan mereka, Tembok suci umat Yahudi pun demikian pula.

Keadaan demikian terus berlanjut meskipun terjadi pergantian kepemimpinan yang drastis dari kekhilafahan Umayyah berganti kekhilafahan Abbasiyah hingga kekhilafahan terakhir Ottoman. Saat kota suci pernah lepas dari kekuasaan Umat Islam, yaitu saat umat Islam mengalami kekalahan di perang salib, penduduk kota Yerussalem banyak yang mengharapkan pembebasan yang dilakukan pemimpin umat Islam.

Dan Yerussalem kembali berada di bawah kekuasaan umat islam setelah kemenangan umat Islam di Perang Salib berikutnya, perang pembebasan kota suci yang dipimpin oleh Salahuddin Al-Ayyubi.

Penjajahan Israel di Palestina dan Kemiripan Zionisme dengan Konsep Khilafah HTI
Pasca kekalahan Ottoman di Perang Dunia I melawan sekutu, Inggris dan Prancis melalui Liga Bangsa-Bangsa membagi-bagi daerah kekuasaan Ottoman menjadi beberapa negara yang merdeka. Sejak melemahnya pengaruh dan kondisi keuangan Ottoman, mungkin hal seperti itu sangat didambakan dan lebih baik bagi sebagian wilayah di Timur Tengah bekas kekuasaan Ottoman, yang saat ini sudah merdeka dan dapat sejajar dengan negara-negara.

Namun, berbeda dengan harapan dan kondisi penduduk Palestina dan Yerussalem yang ditinggalkan oleh Inggris sebelum dimerdekakan dan disejajarkan dengan negara-negara lain di dunia. Inggris meninggalkan daerah yang menjadi bagian dari wilayahnya setelah kemenangan di perang dunia pertama ketika Inggris tidak lagi mampu mengendalikan kerusuhan antara etnis yahudi dan arab di kawasan Palestina meluas. Konflik ini terjadi akibat pencaplokan tanah yang di huni oleh penduduk asli palestina yang kebanyakan beretnis Arab oleh etnis Yahudi yang didatangkan Inggris dari Eropa Timur.

BACA JUGA  Mensterilkan Generasi Muda dari Jeratan Paham Radikal

Kedatangan etnis Yahudi ke tanah Palestina sebagimana diyakini mereka sebagai tanah yang dijanjikan merupakan salah satu dari proyeksi Zionisme, namun keyakinan mereka ini berbeda dengan ajaran Yahudi yang murni yang menyebutkan kedatangan mereka ke tanah yang dijanjikan akan dipimpin oleh al-masih, sang juru selamat. Zionisme sendiri lahir dari perkumpulan etnis Yahudi di Eropa yang berawal dari hasil pengamatan seorang jurnalis keturunan Yahudi yang memiliki kesimpulan untuk membebaskan etnis Yahudi dari diskriminasi mereka harus mendirikan negaranya sendiri.

Etnis Yahudi setelah mereka keluar dari tanah kelahirannya yang direbut Bizantium Romawi ribuan tahun lalu banyak mengalami perlakuan diskriminatif khususnya di kawasan Eropa Timur. Penindasan dan pembantaian dilakukan oleh bangsa eropa terhadap etnis Yahudi. Maka untuk menebus dosanya Inggris dan negara-negara di kawasan Eropa menyetujui proyek pendirian negara Israel di tanah Palestina.

Saat ini PBB memang telah mengakui pendirian Israel sebagai negara dan PBB sangat memanjakannya, telah berulang kali Israel menyalahi perjanjian dan hukum Internasional namun PBB tetap acuh tak acuh, hal itu disebabkan masih kuatnya pengaruh Yahudi di tubuh PBB. Etnis Yahudi memanglah etnis yang memiliki kelebihan dan keistimewaan, tapi kesombongan dan keangkuhan serta sifat-sifat buruk mereka yang membuat mereka dimurkai Allah sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an. Sehingga tidaklah heran jika mereka memiliki pengaruh kuat di tubuh PBB.

Dari uraian singkat sejarah dimulainya penjajahan Yahudi Israel di tanah palestina ini, menunjukkan satu gerakan zionisme mereka hampir mirip dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia dan beberapa organisasi serupa yang berupaya mengusung dieologi Khilafah dan bertujuan mendirikan negara Islam yang mandiri. Jika demikian maka sebenarnya yang dikehendaki oleh Hizbut Tahrir adalah penindasan dan penjajahan kepada bangsa dan agama lain. Dan tentu hal demikian bukanlah ciri dan karektar ajaran Islam yang sesungguhnya.

Pembubaran Israel Sebagai Solusi

Terdapat satu wacana yang disampaikan oleh Pakar Timur Tengah, Anis Matta yang menyebutkan pembubaran Israel sebagai solusi perdamaian di kota suci yerussalem dan mengembalikan etnis Yahudi ke negara asal mereka sebelum berimigrasi. Pembubaran dan suatu sistem pemerintah yang bergerak dan bertindak layaknya teroris mungkin bisa dianggap sebagai solusi jitu dan layak menjadi bahan pertimbangan PBB. Hal itu demi menghentikan tindakannya yang cenderung tidak terkendali bahkan hukum internasional tak mampu mengendalikannya.

Misalnya pembubaran Uni Soviet yang mampu menjadi solusi tragedi kemanusiaan di antara mereka dan kini Rusia sebagai satu dari negara pecahannya tetap menjadi kekuatan besar dunia. Pembubaran Kekhalifahan Ottoman juga dapat menjadi contoh yang layak. Selanjutnya terlepas dari semua itu, dalam pembahasan tentang Palestina dan Yerussalem satu pertanyaan yang menarik dan perlu dijawab: “siapakah yang lebih berhak menguasai dan menerintah di sana?”

Jawabannya adalah jika dilihat dari kentalnya ajaran untuk bersikap moderat dan saling menghormati antara umat beragama, maka Umat Islamlah yang layak menjadi mayoritas dan menjadi pemimpin di kawasan kota suci Yerussalem. Sejarah kota suci tiga agama dapat hidup akur dan damai di bawah kekuasaan umat Islam dapat menjadi jaminan untuk hal itu. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Muhammad Izul Ridho
Muhammad Izul Ridho
Mahasiswa Jurusan Studi Islam, Pascasarjana UIN Khas Jember.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru