27.5 C
Jakarta

Serial Pengakuan Eks ISIS (VII): Kau, Aku, dan Sekilas Janji Palsu ISIS

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Eks ISIS (VII): Kau, Aku, dan Sekilas Janji Palsu ISIS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya seorang muslim. Saya pengin jadi muslim yang saleh, tentu juga muslim yang baik. Saya belum ngerti seperti apa yang disebut muslim yang baik. Saya menjadi muslim ala kadarnya. Entah, mengikuti fatuwah ustaz yang bertebaran di media sosial atau belajar langsung melalui seorang guru di sekolah.

Saya punya saudara cowok. Saat itu saya berusia sembilan belas tahun. Saudara saya gemar belajar agama dari bahan bacaan di internet. Saya belum paham kenapa dia begitu menjadikan internet sebagai media belajar untuk menjawab setiap pertanyaan soal keagamaan. Mungkin, internet menghadirkan jawaban yang cepat dan mudah diakses.

Semenjak saudara saya belajar agama di internet, semenjak itu pula dia sering berteman dengan seseorang yang belum ia kenal sebelumnya. Mereka komunikasi secara online. Saat komunikasi mulai nyambung hingga kemudian keterusan, saudara saya dibujuk pergi ke Suriah. Bujukan itu direspons positif, karena saudara saya pengin banget mencari pengetahuan laiknya hidup di masa Nabi Muhammad Saw.

ISIS di Suriah coba memframing dalam perekrutan keanggotaannya dengan cara menawarkan janji-janji palsu kepada siapa saja untuk belajar agama persis sama pada masa Nabi Muhammad Saw. ISIS sesungguhnya telah menyalahgunakan nama Nabi yang mulia, sekaligus mencoreng nama baik agama Islam.

Saya kala itu belum ngerti juga soal isu radikalisme dan khilafah yang diusung oleh ISIS. Saya mengikuti saja tanpa menggunakan akal pikiran untuk mempertimbangkan semua hal sebelum semua menjadi bubur. Saya mengikuti apa yang disampaikan oleh saudara saya. Saudara saya ngajak saya sekeluarga pergi meninggalkan Indonesia, tempat di mana saya dilahirkan dan dibesarkan.

Sekeluarga termakan bujuk rayu saudara saya. Saudara saya juga terhipnotis bujuk rayu ISIS. Saat sekeluarga memutuskan hijrah ke Suriah, saya jadi sedih meninggalkan Indonesia. Bagaimana lagi saya menelan kesedihan itu, sekalipun pahit? Saya meratap dalam hati. Karena saya sekeluarga berharap siapa tahu hijrah ini dapat menghapus kesedihan ini.

Seperti saat masih belajar di sekolah, Islam pada masa Nabi Muhammad Saw. memang meneduhkan dan mendamaikan. Segala persoalan tentang keagamaan dapat dikonsultasikan langsung kepada Nabi. Saat segala hal ditanyakan kepada Nabi, saat itu pula semua terjawab dengan baik. Saya, lebih-lebih saudara saya, pengin banget merasakan kehidupan seperti itu. Tapi, gimana lagi, masa-masa Nabi sudah berlalu berada-abad silam. Mungkin, Suriah tepatnya Raqqah dapat menjawab keinginan ini.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXII): Dodi Suridi Eks Napiter Pernah Rakit Bom untuk Diledakkan di Thamrin

Sayang, semuanya tidak seperti yang diinginkan saat saya sekeluarga telah berbulan-bulan tinggal di kawasan ISIS Suriah. Segala janji yang dulu saya dengar dari saudara saya sendiri semuanya bullshit, omong kosong doang. Saya merasa sedang terperangkap dalam kesesatan. Kegelisahan demi kegelisahan tak dapat ditepis. Segala tanya menghunjam jiwa: Benarkah ini kehidupan masa Nabi?

Penyesalan datang silih berganti. Hari demi hari hanya cerita tentang saya dan kesedihan, tentang saya dan kekerasan, tentang saya dan peperangan, tentang saya dan khilafah, tentang saya dan negara Islam, tentang saya dan klaim kafir, dan tentang beberapa hal yang sensitif. Pikiran saya terus memberontak dan hati saya mendorong saya segera kembali ke Indonesia sebelum semuanya terlambat.

Saya sekeluarga mulai memikirkan cara hengkang dari kawasan ISIS, kendati tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena, pengawasan yang super ketat, bahkan larangan kabur dari kawasan ISIS. Kabur dari sana dianggap penghianat sehingga diklaim kafir. Sedang, orang kafir bagi mereka halal darahnya dibunuh. Naudzu billah!

Saya merapal doa. Saya melihat ISIS adalah makhluk yang maha lemah. Mereka tidak memiliki kuasa. Saya percaya ada Tuhan yang dapat mendengar setiap suara hati hamba-Nya. Saya punya Tuhan yang mencintai hamba-Nya. Saya punya Tuhan yang tidak mau melihat hamba-Nya menangis dan larut dalam kesedihan.

Lewat segala ikhtiar dan doa, saya sekeluarga mendapat celah jalan meninggalkan kawasan ISIS Suriah. Keluar dari kawasan ISIS seakan keluar dari jeruji besi yang tidak menyenangkan. Saya sekeluarga masih ditolong oleh Tuhan untuk menghirup udara perdamaian di Indonesia. Saya menyesal telah meninggalkan Indonesia hanya sebatas hijrah.

Hari demi hari sedih itu mulai pudar. Saya mulai menemukan cinta yang sesungguhnya di Indonesia. Cinta bukan hanya sebatas kata-kata. Cinta itu sungguh mendamaikan dan mempersatukan. Saya, Naila Syafarina, berjanji akan setia kepadamu, Indonesia. Saya membatin dalam-dalam.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari cerita Naila Syafarina di SINDONEWS.com

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru