26.3 C
Jakarta

Kafir itu Bukan Non-Muslim

Artikel Trending

Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Persoalan agama bukanlah sesuatu yang baru. Melainkan, hal itu sudah terjadi pada masa terutusnya Nabi Muhammad saw., bahkan nabi-nabi sebelumnya. Semenjak ajaran Islam disebarkan Nabi saw. di tengah-tengah masyarakat, tidak sedikit yang memprotes, bahkan mencaci beliau. Memang disadari ajaran Islam ini adalah sesuatu yang baru dan berbeda dari ajaran-ajaran yang diajarkan nenek moyang masyarakat kala itu. Selain itu, mengubah ajaran yang “dianut” amat sangat sulit dibandingkan mengubah “pemahaman”. Akan tetapi, beliau terus optimis dan tidak pernah mundur.

Masyarakat yang dihadapi Nabi saw. adalah masyarakat Mekkah yang menganut paham pagan, menyembah patung. Mereka tergolong kaum musyrikin. Prinsip berpikir seperti ini jelas bertentangan dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad dan para nabi sebelumnya. Kendati agama sebelum Islam terdapat agama Yahudi dan agama Nashrani. Agama-agama semitik ini sama menegakkan prinsip monoteisme (tauhîd).

Anutan salah yang mengakar kuat di tengah masyarakat memantik semangat Nabi Muhammad untuk berdakwah di tengah-tengah mereka, apalagi saat dakwah berlangsung mereka menawarkan toleransi beragama kepada beliau, yaitu Nabi saw. menyembah Tuhan yang mereka sembah, dan di kemudian hari mereka akan menyembah Tuhan yang beliau sembah. Maka dari itu, Allah menolak toleransi tersebut melalui firman-Nya dalam surah al-Kafirun ayat 1: Katakanlah secara langsung dan tegas wahai orang-orang kafir yang menutup diri mempercayai keesaan Allah dan kerasulan Muhammad saw., aku Muhammad beserta pengikut-pengikutku tidak sedang dan akan menyembah apa yang sedang kamu sekalian sembah, dan ketahuilah aku hanya menyembah Tuhan yang aku sembah, yaitu Allah yang Maha Esa.

Persoalan kafir-mengkafirkan (takfîr) ini tidak kunjung selesai, bahkan di era digital sekarang masih banyak terdengar sayup-sayup beberapa kelompok yang gemar mengkafirkan saudara mereka sendiri. Sebenarnya, apa itu kafir? Apa standar orang disebut kafir? Apakah orang yang tidak beragama Islam adalah kafir?

Mari jawab pertanyaan ini dengan mulai mengkaji makna kata al-kâfirûn yang terambil dari kata kafara yang pada mulanya berarti menutup. Jadi, orang yang menutup lubang dengan tanah disebut kâfir. Demikian pula, orang yang menutup dirinya bersedekah dikatakan kâfir pula. Maksud dari kata kafir pada surah al-Kafirun adalah orang-orang yang menutup hatinya mengimani keesaan Allah dan Nabi Muhammad.

BACA JUGA  Hindari Golput dan Gunakan Suaramu dengan Bijak

Menutup diri mengesakan Allah merupakan bentuk dari sikap kemusyrikan. Audiens (mukhâtab) yang dimaksud pada ayat pertama adalah orang-orang yang menolak Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa yang semestinya disembah dan tertuju segala harapan dan juga menyangkal Muhammad sebagai utusan-Nya. Mereka lebih menganggap Muhammad adalah manusia biasa seperti mereka yang tidak memiliki hak menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada umatnya.

Maka dari itu, tidak termasuk dalam kategori kafir orang yang beragama di luar Islam. Prinsip monoteisme (tauhîd) tidak hanya dianut Islam semata, melainkan juga dianut segenap agama-agama selain Islam, termasuk lima agama yang ada di Indonesia, yaitu Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Beberapa agama ini hanya memiliki perbedaan dalam bidang syariatnya.

Ajakan kemusyrikan yang menutup diri dari prinsip monoteisme kemudian direspons pada ayat berikutnya dengan sikap tegas Muhammad sebagai pemimpin. Beliau menolak kemusyrikan dan kekufuran, karena prinsip ini tidak dibenarkan dalam ajaran agama apa pun. Tuhan yang disembah adalah Tuhan yang Maha Esa (al-ahad), tiada duanya, bahkan lebih dari itu.

Pada sila pertama Pancasila tercantum “Ketuhanan yang Maha Esa”. Bunyi sila ini adalah implementasi dari surah al-Ikhlash dan surah al-Kafirun. Artinya, kemusyrikan dan kekufuran, bahkan paham ateis tidak diterima oleh dan bertentang dengan pesan Al-Qur’an secara umum, dan sila pertama Pancasila secara khusus.

Maka, kafir itu sesungguhnya banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Kafir dalam surah al-Kafirun lebih menunjuk kepada orang yang musyrik bukan non-muslim, karena sikap itu bertentangan dengan tauhid dan nilai-nilai yang dibangun oleh negara Indonesia yang mengharuskan masyarakatnya memiliki sikap monoteisme. Selain itu, surah al-Kafirun tersebut berpesan hendaknya kita tidak gampang mengejudge orang lain yang berbeda keyakinan dengan sebutan kafir, karena itu dapat merusak persaudaraan dan persatuan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru