27.5 C
Jakarta

Kado Akhir Tahun Untuk NKRI: FPI Bubar

Artikel Trending

EditorialKado Akhir Tahun Untuk NKRI: FPI Bubar
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pemerintah resmi membubarkan Front Pembela Islam (FPI) dan melarang segala aktivitasnya. Pembubaran tersebut diumumkan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (30/12), melalui pembacaan Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej. Sebelum Wamenkumham, Menko Polhukam Mahfud MD memberikan prakata, bahwa berdasarkan SKB, secara de jure, FPI bubar dan menjadi Ormas terlarang.

SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam tersebut ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar.

Ada enam hal yang menjadi pertimbangan SKB tersebut. Pertama, adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar Negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, isi AD/ART FPI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-undang Ormas.

Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT. Keempat, bahwa organisasi kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan Pasal 5 huruf g, Pasal 6 huruf f, Pasal 21 huruf b dan d, Pasal 59 Ayat (3) huruf a, c, dan d, Pasal 59 Ayat (4) huruf c, dan Pasal 82A Undang-undang Ormas.

Kelima, bahwa pengurus dan/atau anggota FPI, maupun yang pernah bergabung dengan FPI, berdsarkan data, sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme. Dari angka ini, 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana. Sebanyak 206 orang terlibat tindak pidana umum lainnya dan 100 di antaranya telah dijatuhi pidana. Keenam, telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum oleh pengurus dan atau anggota FPI yang kerap melakukan berbagai razia atau sweeping di masyarakat.

Kabar FPI bubar menjadi kado akhir tahun bagi NKRI. Banyak yang kaget: gembira dan kecewa. Mereka yang gembira merasa resah dengan premanisme barbar dan vigilantisme yang ditunjukkan para aktivis FPI selama ini, sementara yang kecewa adalah kalangan yang menganggap pemerintah tidak adil. FPI dengan kekerasan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Belakangan, mereka menjadi aktor berkembangnya populisme Islam di Indonesia—imej Islam yang bersanding kekerasan.

Narasi besar FPI adalah “NKRI Bersyariah” dan “Revolusi Akhlak”. Kendati demikian, secara de facto, mereka juga antipati kepada rezim, menegasikan kesyariahan Pancasila, bercita-cita revolusi, suka angkat pedang/celurit, suka teriak bunuh, dan menjadi gembong intoleransi. Karenanya, berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan karena bertentangan dengan ideologi Negara, FPI dibubarkan karena sering melanggar hukum dan hak asasi.

Meski tidak disangkal bahwa AD/ART FPI mengafirmasi khilafah Islamiyah, namun resistansi terhadap mereka hingga membuat mereka bubar adalah keindentikannya dengan kekerasan dan premanisme. FPI digadang-gadang sebagai PKI masa kini, karena narasi besar yang mereka bawa tidak ada bedanya: anti-pemerintah dan memainkan kekerasan.

BACA JUGA  Ambil Sikap dalam Propaganda Rajab Hizbut Tahrir

Dilansir Tirto, sejak didirikan pada 1998, FPI kerap kali terlibat vigilantisme. Pada 1998, mereka mengaktori insiden Ketapang, melibatkan ratusan preman Ambon. Pada 2004, FPI menggeruduk Sekolah Sang Timur karena dianggap menyebarkan agama Katolik. Mereka juga pernah mengubrak-abrik Warung Coto Makassar di tahun 2011, dan pada tahun berikutnya memukul Koorlap Aksi Indonesia Tanpa FPI, Bhagavad Sambadha.

Selain itu, FPI adalah aktor unjuk rasa terhadap Ahok dan melempari Balai Kota dengan batu dan kotoran hewan. Aksi berjilid-jilid tiga tahun silam juga adalah ulah mereka. Kedutaan Amerika Serikat, Filipina, Australia, dan Myanmar pernah jadi sasaran aksi. Kantor Kompas, Tempo, Jawa Pos, Majalah Play Boy, SCTV, dan Rakyat Merdeka juga pernah mereka datangi. FPI seakan punya satu senjata andalan, yaitu menggertak siapapun yang bertentangan dengannya.

Namun, pada Editorial kali ini, sorotan terpenting dari pembubaran Ormas besutan Muhammad Rizieq Syihab ialah: apa dampak atau efek samping dari pembubaran tersebut, apakah SKB-nya akan menyebabkan kematian radikalisme?

Jawabannya adalah tidak. Tidak sama sekali. Pada salah satu rubrik Milenial Islam kemarin, telah diulas bahwa militansi pengikut FPI relatif tinggi. Kalau pun dibubarkan, semangatnya tidak bubar. Akan segera lahir sempalan-sempalan baru, kendaraan baru, yang narasinya sama. Belum genap 24 jam dari pengumuman pembubaran, mereka mengubah nama menjadi Front Persatuan Islam.

“Iya, Front Persatuan Islam (FPI). Bukan berubah, itu kendaraan baru. Sudah deklarasi barusan. Di suatu tempat di Jakarta,” ujar Wakil Ketua Sekretaris Umum DPP FPI Aziz Yanuar, Rabu (30/12), seperti dilansir dari Kompas TV.

Ada FPI atau tidak, sesuatu yang para aktivisnya anggap sebagai amar ma’ruf nahi munkar akan terus berlanjut. FPI bubar atau tidak, sweeping dan kekerasan lainnya dirasa wajib mereka lakukan. Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat baiknya tidak terlalu buru-buru bahwa radikalisme akan mati dengan bubarnya FPI. Kunci perjuangan mereka adalah amar ma’ruf nahi munkar, meski caranya identik kekerasan dan vigilantisme.

Kabar FPI bubar adalah kabar baik bagi kelompok terorisme, karena mereka tahu bahwa para aktivisnya tidak akan tinggal diam. Dampak terburuk pembubaran ini adalah lahirnya dendam kesumat dedengkot FPI kepada pemerintah hingga mereka akan melakukan apa saja, termasuk berkoalisi dengan kelompok teror untuk mengacaukan dan memorak-perandakan Negara.

FPI bubar memang merupakan kado akhir tahun 2020 dari pemerintah untuk NKRI 2021. Tetapi apakah laik disebut momentum matinya populisme Islam dan radikalisme-terorisme? Tidak segampang itu. Setiap keputusan yang besar memiliki efek samping yang tak kalah besar pula. Mereka akan semakin membenci rezim dan Negara, dan kita belum tahu pasti rencana buruk apa yang tengah diagendakannya. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru