29.7 C
Jakarta

Jozeph Paul Zhang, Pria Kesepian yang Haus Ketenaran

Artikel Trending

KhazanahOpiniJozeph Paul Zhang, Pria Kesepian yang Haus Ketenaran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jozeph Paul Zhang. Sengaja saya jadikan namanya sebagai pembuka tulisan ini. Barangkali itu yang dia inginkan, menjadi terkenal lewat jalur belakang. Entah apa yang sebenarnya menjadi motif Zhang melakukan hal tersebut. Saya, dan barangkali kebanyakan masyarakat, masih merabanya dengan teori dan berbagai spekulasi.

Gaduh, riuh, kini sudah menjadi ciri khas kita, netizen Indonesia. Jangankan dugaan kasus penistaan agama, putusnya Kaesang dengan Feliciapun, publik dibuat ramai karenanya. Begitu juga dengan batalnya Atta-Aurel melangsungkan pernikahan di Istiqlal, khalayak berbondong-bondong menjadikannya pembahasan utama.

Ini lagi, seseorang yang beberapa waktu lalu dikabarkan tidak sedang berada di dalam negeri, dengan gayanya mengaku Nabi, Nabi ke-26. Sebenarnya tidak cukup sampai di situ, ia juga menyebut bahwa ajaran yang dibawa Rasulullah merupakan ajaran sesat. Selain itu, Nabi Muhammad dituduh sebagai seorang yang asusila (maaf, cabul).

Tetapi yang tidak kalah penting untuk disoroti adalah ia menantang masyarakat untuk melaporkan tindakannya tersebut sebagai penistaan terhadap agama kepada pihak berwajib. Saya melihat, selain ada yang keliru dengan ucapannya, barangkali kejiwaannya juga patut dipertanyakan. Entahlah, hanya Psikolog yang memiliki otoritas untuk menilainya.

Izinkan saya untuk berpandangan lain dalam hal ini. Sangat banyak orang yang ingin membesarkan namanya namun hanya dengan melalui jalur yang instan. Banyak hal yang menjadi opsi untuk tujuannya tersebut, baik dengan cara terpuji maupun tidak. Jangan-jangan, Zhang bermaksud demikian dengan menggunakan opsi kedua. Semoga pandangan saya keliru.

Yang juga menarik untuk disuguhkan sebagai asumsi adalah bahwa Zhang mengumumkan ujaran kebenciannya tersebut semata-mata menganggap yang demikian merupakan haknya untuk berpendapat. Jika benar taksiran ini layak dikedepankan, saya jadi teringat dengan salah satu penulis yang bernama Sunny Hundal.

BACA JUGA  Manifesto Perbedaan Hari Raya Idulfitri, Masih Perlukah Penetapan?

Penulis yang berasal dari London tersebut, dalam tulisannya pernah mengatakan bahwa agama berkembangnya suatu agama karena terus menerus diperdebatkan. Menurutnya, seseorang tidak dapat dikatakan memiliki kebebasan berpikir dan kebebasan beragama tanpa memiliki kebebasan untuk mengkritisi agama lainnya.

Demokrasi sejatinya tidak ada jika sebuah negara merancang regulasi mengenai penistaan agama.
Jika kita berpijak pada ‘teori’ Hundal ini, kita akan menemukan banyak masalah besar yang memicu pada pertikaian. Yang lebih dikhawatirkan justru berdampak pada peperangan dan pembunuhan.

Pasalnya, dengan adanya regulasipun, tidak sedikit orang melakukan tindakan subal tersebut. Lalu, bagaimana jadinya jika regulasi itu ditiadakan?
Akan ada berapa banyak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menista suatu agama di muka umum dengan dalih mengkritisi agama tersebut?

Sebagai dampak, apapun yang menjadi motif Zhang melakukan tindakan odohnya tersebut, para tokoh dan masyarakat tidak mau tahu. Misalnya saja PBNU lewat Sekjennya yang mengutuknya secara keras. Hal ini wajar, sebab, yang tersakiti karena ulahnya ini bukan hanya segelintir umat, melainkan ratusan juta umat Islam, khususnya di Indonesia.

Saya pikir, berbuat salah merupakan hal yang niscaya bagi manusia. Namun, perbuatan salah yang baik adalah perbuatan salah yang tidak merugikan pihak lain. Meski demikian, cara terbaik dalam menyikapi dan menyelesaikan perkara ini adalah cara terbijak. Siapapun boleh berpendapat, tetapi lembaga kepolisian adalah pihak yang tepat untuk menindaklanjutinya.

Saya berharap, persoalan ini dapat diselesaikan dengan cara yang elegan tanpa menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan. Satu yang menjadi pelajaran, tindakan Zhang ini bukan tindakan yang terpuji. Siapapun orangnya, apapun agamanya, tindakan tersebut tetap tidak bisa dibenarkan.

Azis Arifin, M.A
Azis Arifin, M.A
Alumni SPs UIN Jakarta. Alumni Ponpes Asy-Syafe'iyah Purwakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru