29.3 C
Jakarta

Jokowi dalam Lingkaran Mosi Tak Percaya

Artikel Trending

Milenial IslamJokowi dalam Lingkaran Mosi Tak Percaya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Apa jadinya bila presiden dan segenap pemerintah tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya sendiri? Mengapa pemerintah membiarkan peluang rakyat mengkritisi, dengan membuat kebijakan yang terkesan plin-plan dan otoriter? Apa yang akan presiden, dalam hal ini Jokowi, lakukan, ketika rakyat ramai-ramai menyatakan ketidakpeduliannya terhadap negara yang dirinya pimpin?

Tagar #IndonesiaTerserahPakDe bergema di jagad Twitter. Tagar tersebut menjadi aspirasi-aspirasi rakyat, baik yang mengkritik atau pun yang justru memuji kinerja Jokowi. Belum juga kasus Ruslan Buton tentang pemecatan dirinya, juga seliweran berita COVID-19 gelombang kedua. Jokowi yang sempat juga trend di Twitter bertagar #KingOfPrank, kebijakannya selalu mengundang polemik.

Di sini tidak akan diulas siapa yang salah. Saya bukan BuzzerRp presiden, tetapi juga bukan pembecinya. Tetapi siapa yang diuntungkan dalm kondisi negeri seperti ini? Bisa jadi memang Jokowi gagal menciptakan kesejahteraan, bisa jadi juga kritik hari-hari ini menjadi sesuatu yang sangat penting. Di belakang semuanya, ada yang tertawa lepas: menuju kehancuran Indonesia.

Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) & Kolegium Jurist Institute (KJI) menggelar seminar online (webinar) Nasional dengan tajuk “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19” pada Senin (1/6), 10.00 WIB, live melalui Zoom dan streaming di kanal YouTube MAHUTAMA.

Hari-hari ini, dan semakin hari juga menunjukkan demikian, kepercayaan rakyat kepada Jokowi  bisa dikatakan menyusut tajam. Ia tengah berada di dalam lingkaran mosi tidak percaya. Tanggal 1 Juni seharusnya jadi perayaan kemajuan negeri, sebagai refleksi Hari Lahir Pancasila. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Selain problem pandemi, negeri ini sedang tidak baik-baik saja dikarenakan terkikisnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya.

Jika negara memang harus tetap eksis, ketidakpercayaan tersebut jelaslah merupakan benalu. Indonesia bukan milik Jokowi, tetapi tidak bisa dibiarkan bila kaum radikalis-ekstremis memenangkan perang narasi. Andai, dan semoga ini tidak terjadi, Jokowi sampai didelegitimasi, beberapa kalangan justru akan berteriak gembira. Bukankah para aktivis khilafah memang tengah menunggu amburadulnya demokrasi?

Delegitimasi Jokowi

Jokowi bukanlah kunci dari eksistensi Indonesia. Jelas. Jokowi atau bukan, siapa pun presidennya, kata kucinya adalah: ‘karena presiden yang menakhodai Indonesia’. Begitu juga, siapa pun yang ingin menghancurkan negara, merongrong integritas presiden adalah jalan paling mudahnya. Jadi, ini bukan tentang Jokowi atau siapa. Ini tentang Indonesia, yang ia adalah nakhodanya.

Karena itu, segala yang menjadi konsekuensi logis sistem demokrasi tidak bisa disalahartikan, atau akan menjadi preseden buruk dari sistem itu sendiri. Kebebasan berpendapat tidak sama dengan menebarkan hoax dan kebencian, dan membela negara tidak sama dengan niat mengganti sistemnya. Tujuan yang terakhir ini barangkali jauh, tetapi spirit atasnya tidak ada yang menyangkal.

Mendelegitimasi Jokowi, atau ‘pemakzulan presiden’ dalam bahasa MAHUTAMA, diibaratkan dengan salahnya tatasusun batu bata dalam sebuah bangunan. Bukan dibongkar bangunannya, melainkan diganti tukangnya. Sekarang, jadi soal: tukang tersebut adalah presiden ataukah sistem negara?  Atau narasi tersebut bermaksud mengganti dua-duanya?

BACA JUGA  Idulfitri: Keistimewaan Islam dan Momentum Kerukunan Universal

Mendelegitimasi Jokowi tidak identik sebagai  pemecatan personalia, melainkan menunjukkan ke publik bahwa negeri ini problematis. Maka artinya, ada semacam tuntutan urgen untuk ‘memperbaiki keadaan’. Masalahnya adalah, tidak ada yang benar-benar tahu, pemberi solusi akan berhasil, atau akan menambah kadar amburadulitasnya(?).

Maksudnya, andai saja sistem demokrasi diganti, dengan sistem khilafah ala Hizbut Tahrir misalnya, apakah ada yang mutlak menjamin, bahwa kebijakan-kebijakannya tidak akan menuai kritik sebagaimana sekarang? Termasuk juga sistem-sistem lainnya. Bukankah mosi tidak percaya terhadap pemimpin adalah konsekuen dari semua sistem yang ada?

Kembali kepada Presiden Jokowi. Manuver kebijakan politik dirinya menimbulkan kekhawatiran kolektif, tentang segala persoalan yang terjadi hari ini. Tidak ada yang perlu saling menyalahkan, meski mengkritisi pemerintah dengan kritik konstruktif adalah keniscayaan. Kebijakan New Normal dalam menghadapi COVID-19 bisa bermakna positif, tetapi juga ada yang menegatifkannya.

Semua tergantung perspektif. Dan selama tanpa kebencian, aspirasi apa pun berhak disuarakan. Tetapi, jika sampai mendelegitimasi Jokowi dengan menuduh buruk sistem kenegaraan, siapa yang akan diutungkan dengan semakin semrawutnya negeri?

Siapa Beruntung?

Sudah lama negeri ini berusaha dilemahkan tatakelolanya. Kalangan Islamis menuduh sistem negara tidak berdasarkan Al-Qur’an. Kalangan radikalis, ekstremis, teroris, menebarkan ujaran kebencian dengan dalih jihad untuk memperbaikinya. Semua platform media digunakan, yang tulisan-tulisan saya sebelumnya sudah mengupas intrik-intrik tersebut.

Hal-ihwal kesemrawutan, ada yang rutin memancing di air keruh. Kalau ditilik mendalam, narasi-narasi kebencian di media sosial tidak murni dari masalah yang ada, melainkan sudah mengalami pelintiran dari pihak-pihak yang memang menginginkan negeri ini tidak aman. Akumulasi pelintiran tersebut menjadi faktor masifnya pergerakan narasi-narasi negatif.

Saya pikir semua orang menyadari hal ini. Maka dari itu saya berharap sekali, segala aspirasi dinarasikan secara positif, dan semua pihak menjadi agen filtrasi hoax dan ujaran-ujaran kebencian. Apa yang harus dibenahi dari negara harus menjadi tanggung jawab bersama: pemerintah dan rakyat. Tidak ada politisasi. Tidak ada siasat untuk semakin memperburuk keadaan.

Tanggung jawab setiap warga negara bukanlah melindungi pemerintah, membela segala kebijakannya, sekalipun itu tidak benar. Bukan. Tuganya adalah melindugi negeri dari segala narasi negatif yang berpotensi merongrong kesatuan dan persatuan. Pelintiran kebencian adalah sesuatu yang benar adanya, melindungi diri menjadi senjata utama.

Tujuan semua elemen adalah membuat bangsa ini maju. Selainnya, adalah reruntuhan polemik yang harus dihadapi dengan kepala dingin. Jika ada kebijakan Jokowi yang perlu dikritik, mengkritiknya adalah kewajiban. Jika pemerintah merespons agresif dengan kebijakan represif, maka mereka sudah bertindak zalim; melampaui kapabilitasnya sebagai pemangku kebijakan.

Tetapi perlu ditegaskan. Sekali lagi, perlu ditegaskan dan dicatat tebal: tidak dengan mosi tidak percaya. Indonesia tidak terserah Jokowi. Kalau saja Indonesia hancur karena sikap apatis kita terhadap pemerintah, maka yang rugi adalah diri kita sendiri. Kita, semuanya. Tidak ada eksepsi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru