30.1 C
Jakarta

Jilbab[isasi]: Penyakit Buta Sejarah Muslim Kekinian

Artikel Trending

Milenial IslamJilbab: Penyakit Buta Sejarah Muslim Kekinian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Nggak mau berhijab  (jilbab, pen.) ya silakan saja, tapi ngomong “hijab itu nggak wajib bagi Muslimah”, itu pernyataan yang maksa banget, udah maksiat, maksa lagi.

Itulah cuitan (baca: cermah agama) Felix Siauw di akun Twitter-nya beberapa waktu lalu. Agen HTI tersebut menyindir istri almarhum Gus Dur, Ibu Sinta Nuriyah, yang sempat viral sebelumnya karena pernyataannya soal jilbab. Baik pernyataan Ibu Sinta maupun Felix, hari-hari ini jadi trending di kalangan netizen. Pro-kontra pun tak terhindarkan. Bagi pembenci Ibu Sinta, hujatan tidak hanya menimpa dirinya, tetapi juga putrinya.

Style yang tertukar… kamu pilih yg mana? A. Xolovelyayana = Retweet, B. Inayah Wahid = Like

Seperti itu bunyi nyinyiran akun @asep_maoshul di Twitter, tak lama setelah pernyataan Ibu Sinta. Ia menjadikan putri Gus Dur, Inayah Wahid sebagai meme yang dibanding-bandingkan dengan selebgram asal Korea yang mualaf, Ayana. Inayah pun tak serius menanggapi cuitan hinaan tersebut. Semua putri Gus Dur yang lain juga tidak ada yang protes. Ironisnya, cuitan tersebut me-mention beberapa akun lain: @felixsiauw, @opposite6890, @haikal_hassan, @saididu, dan lainnya.

JILBAB. Itulah topik utamanya. Jilbab menjadi momen bagi ‘pihak sebelah’ kembali melancarkan keahliannya: menghina. Keislaman kita hari-hari ini memang semakin menguat. Tetapi musim hinaan-cacian-hujatan juga naik banding. Paham keagamaan konservatif mendominasi. Kerudung—istilah jilbab zaman dulu—sudah tidak dipakai lagi. Para Muslimah kita lebih senang memakai istilah hijab, hijab syar’i, dll; istilah yang merupakan hasil manipulasi industri jilbab.

Hijrah, Politik Industrialisasi Jilbab

Apakah tokoh, istri seorang ulama, seperti Ibu Sinta hendak diajarkan tentang jilbab hanya oleh ustaz seperti Felix? Kedengarannya lucu. Masalah jilbab ini memang terjadi silang pendapat. Perbedaan tersebut berkisaran pada; apakah jilbab wajib menurut syariat? Bagi yang berpendapat ‘tak wajib’, argumennya adalah bahwa jilbab merupakan produk pra-Islam. Perempuan Yahudi dan perempuan Eropa zaman dulu pun, yang notabene non-Muslim, juga berjilbab.

Tetapi bagi yang berpendapat ‘wajib’, hujahnya adalah bahwa Nabi mengajarkan para istrinya untuk berjilbab, di samping sudah dikatakan jelas dalam QS al-Ahzab [33]: 59. Bagi penganut pendapat terakhir ini, semakin terulur jilbab, semakin baik. Semakin panjang ia menutup badan, semakin cocok—katanya—terhadap syariat. Bahkan kemudian kewajibannya juga merembes pada cadar. Konon, dibuatlah satu media untuk merealisasikannya, yaitu: hijrah.

Hijrah. Kata ini menguat, bersamaan dengan meningkatnya religiusitas Muslimah tanah air. Mulai dari kalangan artis hingga Muslimah yang nikah muda, mendadak jadi salehah. Akun media sosial mereka juga penuh dengan online shop. Hijrah kemudian menjadi tren kekinian. Lumrahnya, ‘kalangan hijrah’ ini adalah mereka yang awalnya tidak berjilbab, lalu ingin mendalami Islam. Belajarnya melalui Youtube, kepada ustaz milenial keren idaman mereka.

Industrialisasi jilbab yang menjadi fasilitator masifnya gerakan hijrah tentu adalah pihak yang paling banyak mengais untung. Model-model jilbab bertebaran. Selebgram pun juga berserakan. Yang dulu sering terlihat di klub malam, hari ini sudah berjilbab hingga ke lutut. Politik industrialisasi jilbab mendulang sukses. Jilbab pun tidak menjadikan ‘tertutupnya aurat’ sebagai pokok. Yang utama adalah bisnis jilbab terus jalan, model-model ditawarkan, para industrialis semakin kaya. Itu.

BACA JUGA  Kesesatan Paham Radikal Harus Dimatikan Oleh Akal Sehat

Surplus Nafsu Beragama, Defisit Orang Paham Agama

Penting untuk digarisbawahi, yang lebih berbahaya daripada minimnya hasrat keagamaan ialah surplus nafsu beragama yang tak dibarengi dengan kepahaman akan ilmu keagamaan itu sendiri. Demikian karena hari ini mengakses Islam tidaklah sulit, yang sukar adalah mencari yang tepat dijadikan panutan. Nafsu agama berlebihan ini, yang oleh sebagian orang disebut ‘mabuk agama’, akan melahirkan sikap eksklusif; menyesatkan semua yang dianggap berbeda.

Padahal, memahami QS al-Ahzab [33]: 59 misalnya, atau QS al-Nur [24]: 31, tidak cukup dengan membaca terjemahnya saja. Penjelasan yang utuh sudah ditulis oleh Profesor Nadirsyah Hosen di fanspage Facebook-nya, juga oleh Kiai Husein Muhamad. Ada konteks di balik teks ayat, ada tafsir ulama yang harus juga diperhatikan. Oleh karena perihal jilbab terjadi ikhtilaf, maka tidak berkomentar (tawaqquf) bisa menjadi alternatif. Tetapi apakah kita mampu melakukannya?

Belum tentu. Surplus nafsu agama akan cenderung membuat seseorang berusaha belajar agama dari sumber manapun. Tidak berlaku filtrasi, semua pengajaran (baca: ideologi) masuk. Parahnya, yang dijadikan tempat belajar agama, juga adalah orang yang tidak paham agama. Ustaz prematur, istilahnya. Defisit orang paham agama kemudian menjelma sebagai kronis akut. Perihal jilbab, selain hanya mengandalkan terjemah, mereka juga buta sejarah.

Jilbab Syar’i dan Pemburaman Sejarah

Bey Arifin, mantan Ketua MUI Jawa Timur, penulis buku-buku Islam, di antaranya Mengenal Tuhan dan Samudera Al-Fatihah, keluarganya tidak berjilbab. Profesor Quraish Shihab, penulis Tafsir Al-Misbah, juga tawaqquf, tidak mengeluarkan fatwa tentang jilbab. Keluarganya ada yang berjilbab, ada yang tidak. Jadi Gus Dur bukan satu-satunya ulama yang tidak meminta keluarganya untuk berjilbab. Lalu apakah sebab itu mereka laik dihujat?

Transformasi jilbab pun memakan waktu yang relatif panjang. Semua Muslimah pada awal hingga pertengahan abad ke-20, rata-rata kerudung mereka tidak setertutup jilbab model sekarang. Baju mereka juga bukan gamis, seperti yang dipakai pemudi-pemudi hijrah. Tetapi perihal kesalehan, generasi mereka tidak perlu diajarkan. Sejarah mengulik fakta konkret; awalnya kerudung murni untuk menutup aurat saja, tetapi hijab hari-hari ini sudah bercampur alasan bisnis.

Hijab syar’i. Begitu bahasa industri ini menghipnotis Muslimah milenial. Kata ‘syar’i’ diadopsi dari bahasa Arab, yang artinya ‘berdasarkan syariat’. Sebagai penegasan bahwa kerudung yang sudah ada sebelumnya, barangkali dalam rentang abad ke-20, itu belum sesuai syariat. Para industrialis jilbab mengeksploitasi syariat, membuat kaum hijrah—yang notabene belum paham keagamaan secara mendalam—terdoktrin buta terhadap sejarah.

Jilbabisasi ini berusaha menghapus istilah ‘kerudung’, mengecapnya sebagai sesuatu yang tidak syar’i. Fakta sejarah transformasi jilbab pun menjadi buram, atau sengaja diburamkan dari makna denotatif jilbab atau kerudung itu sendiri. Bagi industrialis, kepentingan mereka cukup sampai memajukan bisnis belaka.

Tetapi bagi kalangan milenial, jilbabisasi memiliki dampak yang lebih buruk: stigmatisasi kerudung zaman dulu. Dan yang cukup parah ialah, tak lagi tersedia ruang bagi siapapun yang tak berjilbab. Tanpa peduli silang pendapat tentangnya, mereka yang tak berjilbab, apalagi yang mengatakan jilbab tidak wajib, akan jadi bahan cercaan mereka. Ironi. Sudah buta sejarah, suka mencaci-maki. Itulah akibat paling buruk jilbabisasi.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru