31.4 C
Jakarta

Jilbabers, Hijraisme, dan Demoisasi Agama

Artikel Trending

Milenial IslamJilbabers, Hijraisme, dan Demoisasi Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Aturan pemaksaan 46 siswi non-muslim di SMK Negeri 2 Padang untuk memakai jilbab memang diskriminatif. Ia bukan hanya mencederai kebebasan berekspresi, beragama, dan berkeyakinan. Tetapi juga mengancam pluralisme atau keberagaman.

Meski menjalankan aturan yang mengacu pada aturan-aturan yang diberlakukan zaman sebelumnya, tetapi aturan diskrimatif itu terkesan “membunuh” kebebasan berekspresi-keberagaman-kebhinekaan di Indonesia.

Beruntunglah ada bocah kecil berinisial JCH yang berani melawan. Ia menulis surat pernyataan ketidaksetujuannya mengikuti aturan memakai jilbab yang diunggah di akun Facebooknya (tirto, 23 Januari 2021).

Kemudian, ramailah protes terhadap aturan jilbab itu. Bahkan seorang Menteri Pendidikan, DPR RI dan Komnas HAM juga ikutan protes dan memberikan arahan. Menurut mereka, kejadian-kajadian tersebut memprihatinkan karena dilakukan oleh tenaga kependidikan di sekolah negeri yang seharusnya mengarustamakan nilai-nilai Pancasila dengan inti penghormatan terhadap kebhinekaan.

Menurut Syaiful Huda, sebagai ketua Komisi X DPR peraturan itu memang berlebihan. Bahkan di keterangan tertulisnya menyebutkan, “tidak benar atas nama otonomi daerah, suatu wilayah mempunyai kebebasan termasuk unit penyelenggaraan Pendidikan membuat aturan yang secara prinsip bertentangan dengan nilai-nilai dasar kita dalam berbangsa dan bernegara” (tirto, 23 Januari 2021).

Jilbabers hingga Hijraisme

Sejarah jilbab di Indonesia adalah sejarah problematis (diskrimantif). Dulu, pada tahun 1980-an orang-orang baru memakai jilbab. Sebelumnya pada tahun 1970-an orang-orang tren berkerudung. Di kelompok orang Islam, sejak awal adanya Indonesia, memang kerudung yang popular. Dan jilbab adalah anak kandung dari pengaruh Revolusi Iran, 1979.

Kemenangan Ayatullah Khomaini sang pendiri Republik Islam Iran memberi angin segar bagi para pengagum jilbab, termasuk Ida Royani, sang legenda artis jilbabers Tanah Air. Solidaritas itu mengancam segala aturan berbumbu syariat yang memberi nuansa baru pada waktu itu di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Jilbabers-jilbabers kian menyebar dan merebak di kalangan artis dan aktivis mahasiswa. Bahkan dengan berjilbab, dianggap telah menunjukkan identitas dan kedirian kesalehan berislam. Pada itu pula, Orda Baru melarang penggunaan  jilbab di sekolah umum lewat SK 052/C/Kep/D.82. Meski keputusan itu juga memicu protes dari para cendekiawan dan aktivis Islam (Historia, Nur Jati/14/3/2018), termasuk protes lahirlah puisi “Lautan Jilbab”, oleh Cak Nun.

Begitu juga disusul oleh ragam pemberontakan dan penolakan, aksi-aksi, protes-protes kebudayaan lainnya. Jilbab adalah anak kandung Orda Baru. Tapi ia juga wujud dari lahirnya pemberotakan dan protes terhadap otoriternya Orda Baru.

Dan pada 1991, pemerintah mengizinkan kembali penggunaan jilbab di sekolah umum. Tetapi itu, hanya sekadar aktivitas siasat politik Suharto untuk mendekati kelompok Islam. Maka, selain lahir-maraknya jilbabers, juga lahirlah kelompok-kelompok oposan Islam macam FPI.

Aktivitas jilbabers dan kelompok Islam ini semakin mendapat ruang di muka publik. Tak pelak dengan mudahnya itu, komersialisasi itu juga memuncak. Bahkan pakaian Islam mengalami evolusi ekstrem. Sebelumnya, pakaian penutup kepala wanita adalah kerudung, lalu ke jilbab, kini berkembang sampai ke burka alias cadar.

BACA JUGA  Hilangnya Nalar Waras di Zaman yang Tidak Jelas

Maka, tak heran bila kehadiran berbagai ekspersi jilbabers dan segala gayanya dan motifnya, menandakan kobaran politik identias kian tebal. Ia memberi pemanjaan diri dari orang, kelompok Islam yang punya ragam ekspresi untuk mengekspesikan identitas keislamannya. Baik dari dimensi gaya kesalehannya, politiknya, hingga kepada paling yang mendaku paling saleh-salehah di realitas sosial (lihat, Abd Halim, Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan, 2019).

Hingga akhirnya, jilbab tak lagi sekadar penutup kapala dan perlambang pengabdian terhadap keyakinan beragama. Tapi ia hadir sebagai ekspresi status kelas, kesadaran mode (Wiwiek Sushartami, Representation and Beyornd: Female Victims in Post Suharto Media) dan perbedaan status kesalehan dan religiositas kepada Tuhan.

Demam Jilbab dan Demoisasi Agama sebuah Kemunduran?

Terlintas di masa Orda Baru dan Reformasi, kini masa demokrasi, demam jilbab masih mencokol. Dengan peraturan pemaksaan 46 siswi non-muslim di SMK Negeri 2 Padang untuk memakai jilbab yang diskriminatif dan yang tak seimbang itu, jilbabers menandakan geliat reideologisasi Islam makin tebal dan marak.

Bukan saja hanya terjadi kepada mereka di meja sekolah. Tapi lihatlah di kampus-kampus besar terutama di perguruan tinggi negeri terkemuka seperti ITB, UI, dan UGM. Aktivis jilbabers ini, memang sering terjegal di UU formil, tetapi mereka progresif gesit di bawah tanah, lewat program basah macam LDK kampus.

Mereka, para mahasiswa digembleng sedemikian rupa. Yang akhirnya untuk diproyeksikan menjadi kader-kader Islam yang penuh dan tangguh, bahkan sebagai kader aktivis Islam yang militan dalam mentranformasikan misi dan ideologi Islam di masa kini, juga di masa depan.

Lihatlah di semua masjid kampus Tanah Air. Siapa yang memegang otoritas keislaman di masjid-masjid, dan di tubuh mahasiswa sendiri? Anda punya jawaban sendiri dengan pengalaman pribadi.

Gempita para hijabers menambah gairah Islamisme di Indonesia. Begitu juga manambah penebalan para hijraisme memainkan peran penting dalam politik identias dan politik Islam. Kita masih ingat para jilbabers-hijabers dan hijraisme pamer dengan terang di media sosial. Dan kita tahu itu adalah bentuk bukan dari sekadar busana, hijrah, tapi lebih dari peneguhan fundamentalisme agama.

Fundamentalisme itu memang sungguh terjadi. Maraknya fundamentalisme agama juga menyebabkan demoisasi agama di panggung publik. Tak gentar, tapi itu adalah ancaman besar bagi kehidupan umat awam di kancah bawah, seperti pedesaan dan pedalaman. Dan bila itu terjadi, maraknya jilbabers, hijraisme, fundamentalisme agama adalah sebuah kemuduran kita berislam.

Kita masih ingat bagaimana gambar-gambar para demontran perempuan Iran yang berjilbab hitam, memakai rompi, dan memegang laras panjang di pajang-pajang di kamar kost mahasiswa Indonesia, bukan? Oh ngeri!

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru