33.5 C
Jakarta

Jilbab Tidak Wajib; Antara Fashion, Politik dan Kewajiban (Kritik Terhadap Khalilullah)

Artikel Trending

KhazanahOpiniJilbab Tidak Wajib; Antara Fashion, Politik dan Kewajiban (Kritik Terhadap Khalilullah)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa hari setelah kebijakan sekolah di SMK 2 Padang ramai dibincangkan di jagat media sosial. Tidak berselang lama dari itu, muncul tulisan dari saudara Khalilullah dengan judul “Islam Tidak Mewajibkan Muslimah Pakai Jilbab” yang dimuat di Harakatuna.com, pada Senin (8/2) kemarin.

Khalilullah lalu menulis di bagian paragraf kedua, menyebutkan bahwa tindakan pihak sekolah SMK 2 Padang, menyuruh siswi non-Muslim memakai jilbab sebagai “tindakan ekstrem terhadap pemeluk agama di luar Islam”. Kesimpulan Khalil ini sangat sederhana dan terkesan mengada-ada. Seharusnya, Khalil mengecek terlebih dahulu apa alasan dan dasar argumentasi pihak sekolah menyuruh siswi-siswinya untuk memakai jilbab, walaupun yang beragama selain Islam, non-Muslim.

Padahal di beberapa media online telah menyediakan informasi yang banyak terkait aturan kewajiban menggunakan jilbab bagi siswa non-Muslim di SMK 2 Padang tersebut. Satu di antara dasar aturan yang menajadi pijakan pihak sekolah SMK 2 Padang adalah Instruksi Wali Kota Padang No.451.442/BINSOS-iii/2005 itu tertulis mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri Padang. (baca: www.bbc.com),

Juga berdasarkan pengakuan pihak kepala sekolah Rusmadi mengatakan bahwa “Tidak ada kami sampaikan paksa dia pakai kerudung. Kalau dia mau pakai kerudung silakan, kalau tidak jangan dipaksa. Selaku kepala sekolah saya menyampaikan permohonan maaf.:”

Tanpaknya, Khalil sengaja tidak mau jujur terkait dengan kondisi sebenarnya yang terjadi. Sehingga ia dengan mudah menuduh dengan kalimat yang menurut saya fatal dan tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang akademisi yang jujur. Setelah itu, Ia lalu terburu-buru menjustifikasi bahwa pihak sekolah SMK 2 Padang telah melakukan tindakan ekstrim terhadap agama di luar Islam.

Lucunya lagi, Khalil kemudian menulis bahwa dirinya curiga kepada orang yang ngotot mengusung kalau seorang Muslimah wajib memakai jilbab. Pertama, bisa jadi mereka memiliki kepentingan yang bersifat finansial berkaitan dengan jilbab. Semisal, mereka memiliki bisnis jilbab yang meroket. Sehingga, bila jilbab itu tidak diwajibkan, akan berakibat terhadap menurunnya bisnis tersebut. Kedua, bisa jadi, mereka memiliki kepentingan yang bersifat politis. Mereka mewajibkan jilbab untuk memenangkan politiknya.

Sikap curiga Khalil di atas sangat lemah, dilihat dari beberapa sisi. Lagi-lagi saya mencium kegagapan dan ketidakmampuanya memberikan argumentasi yang rasional terhadap persoalan yang sedang dibicarakan. Jika kepentingan dan keuntungan bisnis yang menjadi dasarnya, Sebanyak apa orang Islam yang menjadi pedagang/pembisnis jilbab?. Artinya kesimpulan yang dikemukakan Khalil sangat lemah dan tak berdasar. Karena umat Islam, yang mendukung wajibnya jilbab bagi muslimah itu jauh lebih banyak di bandingkan dengan para pencari keuntungan.

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

Demikian juga dengan kepentingan politik yang ia tulis. Menurut saya kesimpulan tersebut bukanlah hal baru yang datang dari proses analisis yang matang dari Khalil, karena jauh sebelum ia tulis sudah banyak para peneliti yang berkesimpulan demikian, tentu saja tidak sesederhana apa yang Khalil tulis.

Terkait masalah hukum wajib dan tidaknya jilbab dikalangan umat Islam sebenarnya sudah mendapat titik terang yang jelas, bahwa mayoritas dari para ulama, baik golongan mutaqaddimin maupun yang kontemporer mewajibkan penggunaan jilbab bagi Muslimah. Di antaranya, Ibnu Abbas, Imam an-Nawawi, Yusuf al-Qardhawi (Yusuf al-Qardhawi, 1995, h. 431-436), Syakh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, M. Ali as-Shabuni.

Dengan sangat berani Khalil berpendapat “bahwa jilbab itu bukan syariat Islam yang harus dilakukan oleh semua orang Islam. Jilbab hanyalah budaya yang dilestarikan oleh masyarakat tertentu, termasuk oleh orang Arab pada masa dahulu”. Saya katakan berani karena orang sekaliber Prof. M. Quraish Shihab saja tidak begitu keras memberikan kesimpulan hukum atas persoalan jilbab, meminjam istilah Afrizal “Prof. Quraish belum tegas”.

Sebagaimana menurut Afrizal dalam bukunya Tafsir Al-Misbah dalam Sorotan, bahwa Prof. Quraish sebagaimana yang ia tulis dalam karyanya Wawasan Al-Qur’an dan Tafsir Al-Misbah belum mempertegas pendapatnya untuk menetapkan Hukum memakai jilbab (Afrizal Nur: 2018, h. 157). Penulis juga telah melakukan penelusuran bahwa memang Prof. Quraish, di dalam bukunya wawasan Al-Qur’an mengutip pendapat Al-Qurthubi, Said bin Jubair, Atha dan al-Auzaiy mengatakan bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan dan busana yang di pakainya (M. Quraih Shihab, 2007, h. 233).

Artinya, menurut saya, tokoh besar seperti Prof. Quraish yang memiliki keilmuan yang diakui pun masih menggunakan bahasa yang cukup santun dalam berpendapat terkait dengan masalah jilbab yang secara umum berbeda dengan mayoritas ulama yang mu’tabar seperti yang penulis sebut di atas. Sebagai kalimat terakhir, saya ingin mengajak kepada kita semua agar tetap selalu jujur dalam menulis, dan perlu sikap hati-hati di setiap apa yang kita narasikan.

Fahrudin
Fahrudin
Direktur Lembaga Wawonduru Membaca

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru