26.1 C
Jakarta

Jihad dengan Kekerasan, Jihad yang Disalahpahami

Artikel Trending

KhazanahPerspektifJihad dengan Kekerasan, Jihad yang Disalahpahami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya sebuah video sekelompok orang yang mengubah “hayya ‘ala as-shalah” menjadi “hayya ‘ala al-jihad”. Sekaligus terlihat dari beberapa video, mereka membawa senjata tajam sambil mengangkatnya seakan mau perang: jihad kekerasan. Hat tersebut tentunya menuai bermacam respons. Tidak sedikit yang bertanya-tanya perihal apa maksud dan tujuan dari azan tersebut.

Kata jihad sering terbayang di pikiran kebanyakan orang adalah perang saling berhadapan antara kaum Muslim dengan kafir. Apakah dari mereka punya anggapan di luar golongan mereka adalah kafir sehingga akan diajak untuk berperang? Apakah dari kelompok mereka salah dalam memahami makna jihad yang sesungguhnya ? Tulisan ini akan mencoba mengajak pembaca mengarah kesana.

Pemaknaan jihad sebenarnya lebih luas dan sangat tergantung keadaan. Melansir dari penjelasan di laman resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jumat (26/6/2020), jihad dilakukan sesuai dengan keadaannya. Jika keadaanya menuntut seorang Muslim berperang karena kaum Muslim mendapat serangan musuh, maka jihad seperti itu wajib.

Namun, jika dalam keadaan damai, maka medan jihad sangat luas, yaitu pada semua usaha untuk mewujudkan kebaikan seperti dakwah, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Sangat tidak tepat, bila selalu memaknai jihad dengan perang, apalagi menggelorakan jihad makna ini dalam keadaan damai.

Tidak dipungkiri, seperti yang di ungkapkan oleh Abd. Moqsith Ghazali (2006: 235) bahwa bibit bagi meledaknya konflik antar-umat beragama akan kian meninggi seiring dengan kebangkitan gerakan fundamentalis radikal dari pelbagai agama-agama. Di dalam Islam sendiri, fundamentalisme semakin masif memasuki wilayah atau kawasan yang dihuni oleh umat Islam.

Mereka mendakwakan dan menjalankan ideologinya tidak jarang dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Dan kekerasan semacam itu mereka pandang sebagai tindakan yang legal-sahih, karena itu merupakan bagian dari jihad fi sabilillah.

Memahami Ulang Jihad

Jihad dengan segala derivasinya sebenarnya secara etimologis berarti berupaya secara sungguh-sungguh, mengerahkan segala kemampuan, dan berjuang dengan keras. Oleh karena itu ketika disebut jihad fi sabilillah berarti upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan untuk selalu berada di jalan Allah.

BACA JUGA  Filsafat Teleologis: Counter Filosofis terhadap Teologi Terorisme

Mengacu pada pengertian dasar ini sebenarnya jihad tidak mengandung makna kekerasan apapun. Jihad tidak bersangkut paut dengan peperangan fisik (qital). Jihad lebih merupakan upaya seseorang secara personal untuk selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Orang Islam yang berjuang agar dirinya terus menaati Allah dan Rasul-Nya disebut Mujahid.

Pandangan seperti ini menjadi benar kalau kita memperhatikan ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an. Bahwa wahyu yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad sesungguhnya sudah turun ketika Nabi berada di Mekkah. Karena turun di mekkah, maka perintah untuk berjihad pasti tidak memiliki kaitan dengan perkataan peperangan fisik.

Di sisi lain, ada yang berkata bahwa jihad adalah membasmi atau membunuh orang-orang musyrik-kafir hingga mereka memeluk Islam, atau kepada mereka yang bukan pada golongannya. Dengan perkataan lain, jihad adalah identik belaka dengan peperangan fisik untuk menumpas kelompok-kelompok di luar mereka apalagi yang memusuhi umat Islam.

Robbon Wright pernah menyebut jihad dalam kaitan ini laksana perang salib Islam (Islamic crusade). Umat yang non-Islam seakan selalu menjadi ancaman bagi umat Islam. Islam seakan hanya bisa tegak dan eksis dengan menghancurkan umat lain. Umat yang satu laksana predator buat yang lain.

Kelompok ini biasanya kerap mengutip ayat-ayat Al-Qur’an secara mentah untuk membenarkan tindakan mereka yang brutal itu. Sesungguhnya ini sebuah pemaknaan atau pemahaman jihad Islam yang amat dangkal. Namun makna jihad ini belakangan malah mengalami signifikasi gerakan.

Terlepas dari itu semua, pada hemat saya penyelesaian konflik apapun dengan cara-cara kekerasan apalagi dengan perang sangat tidak produktif, menyebalkan dan tentu menyakitkan, terutama pada mereka yang kalah.

Oleh sebab itu, hindari jihad kekerasan, dan lakukan jihad yang mengarah kepada kedamaian. Bukan jihad yang menghancurkan, melainkan yang membangun. Bukan yang mematikan, tapi jihad untuk kehidupan. Bukan jihad yang mencemaskan, melainkan yang membahagiakan.

Itulah yang semestinya dilakukan oleh umat beragama, pantang untuk menghunuskan pedang dan menjatuhkan bom, buat diri sendiri maupun orang lain, karena itu adalah kesia-siaan.

Tabik.

Wallahua’lam

Rojif Mualim
Rojif Mualim
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru