30 C
Jakarta

Jejak Delik Teroris Mujahidin Indonesia Timur

Artikel Trending

Milenial IslamJejak Delik Teroris Mujahidin Indonesia Timur
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Masyarakat Poso, Jum’at (17/4) lalu, pukul 10.00 WITA, ramai-ramai berteriak takbir, ketika iringan ambulans datang. Farid Tinombo, Eks Bendahara Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso mengatakan, dirinya bersama rombongan menjemput dua jenazah terduga teroris yang ditembak aparat, dua hari sebelumnya. Bendera ISIS juga tampak di tengah-tengah rombongan.

Muis Fahron alias Abdullah dan Ali alias Darwin Gabello menggunakan motor jenis matic ketika polisi mengejar mereka. Pengejaran tersebut terjadi pada Rabu (15/4), setelah mereka menembak aparat polisi yang tengah bertugas di Bank Mandiri Syariah, KCP Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Seorang warga berinisial RN (35) mengatakan, tembakan terjadi dua kali, sekitar jam 09.10 WITA.

“Tidak lama berselang, sekitar 30 detik kemudian disusul bunyi letusan sebanyak dua kali. Karena tidak dapat merampas senjata korban, kemudian OTK (orang tak dikenal, pen.) tersebut langsung melakukan penembakan terhadap korban yang mengakibatkan korban tidak sadarkan diri dengan tembakan sebanyak 2 kali di tubuh korban,” terangnya, dilansir Kumparan.

Briptu Ilham, petugas yang tertembak, terkapar. Ia pun langsung dilarikan ke RSUD Poso demi perawatan intensif medis. Sekitar jam 09.50 WITA, Dandim 1307/Poso Letkol Catur Sutoyo, Kapolres Poso AKBP Darno, bersama Tim Inafis Poso tiba di lokasi untuk melakukan olah TKP. Tidak butuh waktu lama untuk menangkap kedua OTK. Satgas Tinombala menembak mereka saat pengejaran. Tewas.

Teroris MIT pimpinan Ali Kalora tersebut, usut punya usut, memang sudah termasuk DPO Satgas Tinombala. Kekhawatiran pasca insiden di depan Bank Mandiri Syariah adalah kemungkinan terjadi teror susulan. Kelompok teroris MIT di Poso seringkali beraksi dengan menyerang petugas kepolisian. Salah satu motifnya, dilansir berbagai sumber, adalah melakukan perampasan senjata.

Operasi Tinombala sendiri, sejujurnya, dilakukan secara tarik ulur. Satgas Tinombala hanya beraksi merespons setiap insiden teror. Ini menunjukkan, tidak ada niat polisi membunuh rakyat. Jika mereka ditembak, seperti yang menimpa Muis Fahron dan Darwin Gabello, juga teroris MIT lainnya, itu adalah upaya negara membungkam teroris, memusnahkan terorisme.

Membungkam Teroris

Operasi Tinombala di Poso sudah berlangsung empat tahun. Operasi ini melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Satuan Brimob, Kostrad, Mirinir, Raider, dan Kopassus dikerahkan dalam upaya membungkam para teroris MIT. Tahun 2020, operasi ini diperpanjang sampai terorisme di Sulawesi Tengah habis.

“Memang tidak mudah mengingat medannya yang cukup berat. Pertimbangannya kalau kita tidak meneruskan operasi ini, mereka akan lebih leluasa untuk merekrut anggota baru dan bergabung dengan kelompok terorisme yang saat ini berada di atas gunung,” ujar Kapolda Sulteng Irjen Pol. Syafril Nursal, Selasa (31/12/2019), dilansir Kompas.

Jejak delik teroris MIT di Poso menjadi perhatian serius negara, dalam memusnahkan pergerakan terorisme di tanah air. Nafas-nafas teror di daerah itu, sekalipun pendirinya, Santoso, yang juga seorang anggota teroris Jamaah Islamiyah (JI), meninggal, belum menunjukkan tanda mereda. Aksi penembakan polisi kemarin juga bukan kali pertama terjadi.

Membungkam teroris dapat ditempuh melalui dua cara: cara kasar (hard approach) dan cara halus (soft approach). Kedua pendekatan ini ditempuh oleh BNPT, juga diulas oleh Yudi Zulfahri dalam bukunya, Bayang-Bayang Terorisme. Tetapi dalam konteks teroris MIT di Poso, tidak sulit untuk membaca, pembungkamannya menggunakan hard approach.

Sejauh anggapan bahwa efektivitasnya dipertanyakan, karena Operasi Tinombala sudah berlangsung sejak lama, soft approach juga tidak akan memberikan pengaruh keberhasilan apa pun. Para teroris MIT beraksi secara agresif. Memerangkannya dengan pendekatan lunak hanya akan membuat mereka tidak jera-jera. Persoalannya adalah, kenapa hard approach juga tampak tidak efektif?

BACA JUGA  Menerima Hasil Pemilu 2024 sebagai Wujud Kedewasaan Berdemokrasi

Jawabannya adalah, tarik ulur pemerintah tadi. Terorisme harus dibungkam hingga ke akar-akarnya. Genosida harus menjadi klimaks hard approach, untuk memusnahkan jaringan MIT. Menghabiskan banyak anggaran, memperpanjang masa operasi, tidak akan menghabiskan aksi teror MIT. Justru akan menambah jumlah mereka dan, ke depan, aksinya mungkin akan lebih masif dan brutal.

Insiden di Poso kemarin tidak hanya memori kolektif kebrutalan teroris MIT, jejak delik teror mereka, tetapi juga kejayaan radikalisme.

Kejayaan Radikalisme

Detik melansir berita baru. Seorang petani di Poso diculik orang tak dikenal di pegunungan yang masuk dalam daerah operasi Satgas Tinombala. Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Didik Supranoto, pada Minggu (19/4) membenarkan peristiwa tersebut. Penculikan terjadi sore hari di Desa Maranda, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso.

Pada Rabu (8/4) lalu, persis sepekan sebelum penembakan polisi di Bank Mandiri Syariah, juga terjadi penculikan petani di pegunungan Kabupaten Poso. Korban ditemukan sehari setelah kejadian dengan kondisi mengenaskan: tanpa kepala. Juga dilansir Detik, Kapolda Sulteng Irjen Pol Syafril Nursal mengatakan, kepala korban maupun pelaku masih dalam penyelidikan.

Pada Rabu (25/12/2019), akun YouTube Kak Oksa mengunggah video provokatif berjudul ‘Apa Masalahnya Jika Khilafah Tegak di Indonesia?’.  Akun yang sama, pada Rabu (8/4) lalu, bersamaan dengan hilangnya petani di pegunungan Kabupaten Poso, mengunggah puisi cinta untuk Ali Baharsyah, dedengkot HTI yang ditangkap karena ujaran kebencian.

Mereka berdakwah dari berbagai sisi. Indoktrinasinya mirip cara setan menggoda manusia: dari kanan, kiri, depan, dan belakang. Yang miris, semakin dibungkam, sura mereka semakin lantang. Dilansir Kumparan, pasca tewasnya dua anggota MIT kemarin, Ali Kalora menyebar video yang mengancam warga, akan membunuh mereka, jika membantu polisi.

Antara radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, adalah persoalan paling buruk yang dihadapi bangsa ini. Mereka berasal dari berbagai kelompok, tetapi ajarannya sama: membuat kekacauan hingga merubah sistem kenegaraan, menegakkan khilafah. Delik terorisme di Poso bukanlah satu-satunya. Bukan mustahil, demi tegaknya khilafah, mereka bersatu demi kejayaan.

Insiden Poso selalu menjadi kiblat, menjadi pemantik, dari serangkaian aksi teror di negeri ini. Jejak keberanian mereka beraksi terang-terangan, cukup menjadi representasi, bahwa di republik ini, mereka belum benar-benar terbungkam. Kebijakan tarik-ulur pemerintah mungkin demi hak para teroris sebagai warga negara, tetapi itu akan membahayakan nyawa lebih banyak.

Radikalisme tidak boleh berjaya, apalagi terorisme. Komitmen pemberantasan harus riil secara holistik. MIT di Poso, juga teroris lainnya, harus dimusnahkan jejak deliknya.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru