26.1 C
Jakarta

Jebakan Memabukkan Dunia Fantasi Terorisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniJebakan Memabukkan Dunia Fantasi Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Aktivitas terorisme tidak dapat dipisahkan dari perdagangan obat terlarang dan alkohol. Islamic State of Iraq dan Suriah (ISIS) di berbagai pemberitaan digambarkan dekat dengan dunia “Islam” (ala kaum Khawarij), seks dan jaringan perdagangan narkoba. Sebagai suatu organisasi, ISIS memiliki pola interaksi khusus yang menyatukan mereka dalam  satu kebiasaan yang khas.

Tahun 2018, kelompok pasukan koalisi anti ISIS menemukan lebih dari 300.000 pil narkotika bernama Captagon di  Al-Tanf, Suriah.  Obat itu dikenal sebagai “obat jihadi”. Obat jihadi memberikan efek doping keberanian berkonflik dengan lawan. Mereka berhalusinasi menjadi seorang pahlawan yang tidak terkalahkan (CNN Indonesia).

Obat itu dapat membuat mereka membunuh manusia, seolah mereka tidak sedang membunuh manusia. Jika kendaraan tank terlihat seperti seekor burung yang mudah dikalahkan dengan pedang, maka seorang manusia dapat terlihat sebagai binatang atau makhluk luar angkasa (alien) di hadapan anggota ISIS, berkat obat terlarang tersebut.

Sebagaimana kita ketahui kelompok ISIS berambisi menciptakan tatanan dunia di bawah satu kekhalifahan Islam. Ide tersebut kemudian dikenal sebagai Islamic State (IS) ala Khawarij-takfiri. ISIS adalah kelompok radikal yang derajat kekerasannya paling keras dibandingkan dengan berbagai organisasi radikal Islam, seperti Al-Qaeda atau Front al-Nusra.

Bahkan dalam perkembangannya, dua ISIS dengan mudah mengkafirkan kelompok jihad radikal lain. Itu bagi mereka yang tidak mengakui kekhalifahan  yang  dideklarasikan oleh  Abu Bakar al-Bagdhdadi tahun 2014.  Kekhalifahan ala ISIS adalah perwujudan material dari ide tentang menciptakan tata pemerintahan di bawah hukum Islam.

Tidak seperti berbagai mazhab Islam yang moderat dalam aliran  Sunni, ISIS dengan mudah mengkafirkan orang jika tidak sesuai dengan paham mereka. Tak jarang pengkafiran itu muncul melalui berbagai teror fisik, mental. Saya teringat cacian yang keluar dari mulut teroris bom bunuh diri di Kartasura yang mengeluarkan lontaran verbal “mati kowe, mati kowe” (mati kamu, mati kamu). Demikianlah kata-kata cacian dan berbagai perilaku yang  dan merendahkan. (Ingusan, Merendahkan dengan Cercaan, Heru Harjo Hutomo, Alif.id).

Terorisme Karena Obat Terlarang 

IS memperlihatkan kekacauan berpikir penganutnya. Berbagai doktrin dari agama seolah dicampur untuk mengaburkan berbagai perilaku menyimpang dari anggota dalam ISIS . Contohlah doktrin mengosongkan diri yang disalahartikan sebagai doktrin merelakan menjadi adapun termasuk harga diri mereka.

Logika berpikir gado-gado tersebut membuat batas antara  ibadah dan maksiat tidak dapat dikenali lagi (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, Jalandamai.net). Berbagai Perilaku menyimpang itu erat terkait dengan berbagai macam ‘pulihan’ yang akan diperoleh  para anggota: seks, obat-obatan, dan uang.

Usmah Sayyid al-Azhary, seorang dosen doktor dan peneliti radikalisme Islam dari Universitas Al-Azhar di Kairo menjelaskan bahwa kelompok radikal Islam muncul dari paradigma berpikir Khawarij-takfiri ala Sayyid Quthb (1906-1966). Dalam pemahaman kelompok radikal melihat bahwa hukum di luar hukum Allah, yaitu hukum berdasarkan Al-Qur’an dan hadis.

BACA JUGA  Ini Kriteria Profetik Calon Pemimpin yang Wajib Diketahui

Cara pandang tersebut membuat mereka lebih mudah mengkafirkan orang yang tidak sesuai dengan pandangan mereka.  Hal ini seturut dengan kaum Khawarij  di masa lalu (Islam Radikal: Telaah Kritis Radikalisme Dari Ikhwanul Muslimin hingga ISIS, Usamah Sayyid al-Azhary, 2015,  hlm:17).

Dalam dunia terorisme diperparah dengan penggunaan obat-obatan di kalangan ISIS yang membuktikan mereka adalah orang yang lemah secara psikologis. Mereka adalah sekumpulan manusia melankolis yang mencari makna dengan cara yang mengerikan (Merawat Ingat Merajut Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, Idenera.com).

Petaka melankolia itu membuat mereka tidak dapat melihat berbagai hal riil. Mereka terjebak imajinasi tatanan dunia telah rusak. Karena itu mereka diajak berfantasi telah menjadi bagian dari suatu gerakan untuk memurnikan kembali tatanan dunia (The True Believer: Pemikiran Tentang Hakikat Gerakan Massa, Erich Hoffer,  2006).  Kedangkalan cara berpikir di atas menyebar seiring berkembangnya pola pikir populisme kanan.  (Parasit dan “Nasionalisme Mastrubasif”, Heru Harjo Hutomo, Harakatuna.com).

Sebuah Testimoni

Kasus Syahrial Alamsyah (Abu Rara), pelaku penusuk Menkopolhukam Wiranto (10/10/19) juga ternyata terpapar paham radikal ISIS.  Ia memiliki masa lalu frustasi dan depresi karena berbagai kegagalan dalam hidupnya termasuk pernikahannya. Ia pernah persinggungan dengan dunia alkohol, obat-obatan. Ia  pernah menelan dua belas pil kutrak. Selain itu ia pernah hidup di dunia  judi, togel dan sosok masokhis. (Tribun News).

Sementara, di Amerika, seorang perempuan bernama Tania Georgelas (33) yang menikah dengan seorang anggota senior ISIS di Suriah, John Georgelas. Tania memiliki masa lalu yang keras di mana ia pernah mengalami rasisme. Ia juga adalah pribadi pemberontak sejak remaja, menggunakan narkoba, putus sekolah. Ia dan suaminya terpikat ISIS karena ingin memiliki keluarga jihadis (Janda ISIS: Saya Punya Anak untuk Layani Tuhan sebagai Mujahidin. Sindo News).

Dua kasus di atas memperlihatkan karakter kelompok simpatisan khilafah khas IS yang memiliki sejarah hidup traumatis dan jauh dari agama. Mereka berasal orang-orang dunia hiburan, seperti: bintang porno, pemain band, pemadat, pemabuk, penjudi, penjahat untuk bergabung. Mereka adalah sekelompok orang  pragmatis yang tidak mau berpikir, selain hura-hura (hedonis). Mereka adalah orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk merasa “bahagia”.

IS dengan teologi mautnya memberikan jalan pintas penebusan dosa. Melalui mekanisme teologis tentang surga dan neraka, organisasi teroris ini memanfaatkan perasaan bersalah dari seseorang untuk menciptakan docile bodies. Mereka memanfaatkan kondisi tak berakar dari individu depresi dan buta pemahaman agama dan budaya.

Hal tersebut dimaksudkan  agar mereka dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan teror . Demikianlah terorisme tidak dapat lepas dari keadaan “bodoh” yang disebabkan dari keadaan tidak memiliki cukup pemahaman tentang  Islam, akan tetapi terjebak dalam logika khawarij-takfiri.

Ajeng Dewanthi
Ajeng Dewanthi
Peneliti independen Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya. Lulusan Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru