27.4 C
Jakarta
Array

Jangan Mimpi Meng-Arab-kan Indonesia

Artikel Trending

Jangan Mimpi Meng-Arab-kan Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Manusia Nusantara terlahir sebagai manusia yang berperadaban tinggi, unggul, dan modern pada masanya. Hal ini dapat dilihat pada budaya leluhur mereka berabad-abad silam. Jika diamati dalam sejarah, Islam bukanlah agama pertama yang masuk ke Nusantara. Sebelum kedatangan Islam, telah ada bermacam-macam kepercayaan di Nusantara, di antaranya Animisme, Dinamisme, Hindu, dan Budha. Keberagaman dan perbedaan ini tidak lantas membuat para leluhur Nusantara bercerai-berai, bahkan mereka sangat menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan, sebelum akhirnya dipecah belah oleh kolonial.

Ketika kala itu manusia-manusia Nusantara sudah mencapai peradaban yang luhur, di belahan bumi lain ada sekelompok bangsa yang disebut bangsa Jahiliyah, artinya bodoh atau tidak tahu. Sejarah Islam mengatakan, memang pada saat itu bangsa Jahiliyah yang berdomisili di Arab, hampir-hampir tidak punya peradaban sama sekali. Masyarakatnya nomaden, penuh kekacaun dan kekerasan. Tidak bermoral adalah idenditas utama bangsa Jahiliyah kala itu. Mereka membunuh bayi perempuan dan membiarkan hidup bayi laki-laki. Kiranya, ada titik temu kenapa hampir 25 nabi dan rasul, semuanya diturunkan di tanah Arab, tak ada yang di Indonesia satupun. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Inni buitstu liutammima makarimal aklaq”. Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak.

Ditelusuri dari jejak kemerdekaan bangsa Indonesia dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, ternyata bukan hanya kelompok agamis yang duduk bersama-sama mencapai mufakat kesepakatan Pancasila. Di situ ada Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai perwakilan kaum nasionalis. KH. Agus Salim perwakilan dari Sarekat Islam. KH. Abdul Wahid Hasyim perwakilan dari kaum Nahdhiyyin. Semuanya duduk bersama-sama, bermusyawarah, dan bertukar pikiran membahas dasar negara yang hasilnya tertuang dalam Piagam Jakarta. Musyawarah semacam ini pernah dilakukan Rasulullah Saw. ketika merubah nama Yatsrib menjadi Madinah yang akhirnya menghasilkan Piagam Madinah.

Dalam naskah Piagam Jakarta, butir pertama yang berbunyi Ketoehanan,  dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja, untuk selanjutnya diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A Maramis. Butir pertama dirasa kurang sesuai dengan kondisi kebhinekaan bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia memang mayoritas beragama Islam, akan tetapi Islam bukanlah satu-satunya agama di Indonesia. Ada pemeluk agama lain yang harus dihormati agar keutuhan maupun keharmonisan berbangsa dan bernegara tetap tercapai.

Menganut agama Islam tidak lantas mengadopsi budaya bangsa Islam pula (red_Arab). Masing-masing bangsa mempunyai ciri khas budaya dan peradaban tersendiri yang denganya suatu bangsa akan terangkat derajatnya bahkan sebaliknya. Nusantara adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi perbedaan dan kebhinekaan semenjak leluhurnya. Dengan demikian kharakteristik Islam di Nusantara sudah pasti berbeda dengan Islam yang ada di Arab.

Islam di Indonesia sejak awal mulanya didakwahkan dengan cara damai melalui akulturasi budaya dan ajaran inti Islam, mengingat penduduk pribumi Nusantara sudah sangat kental bahkan mengakar dengan adat istiadat dan budayanya masing-masing. Untuk itulah, penyebar agama Islam (Wali Songo) mengakulturasi budaya dan agama agar Islam dapat diterima dengan mudah di Nusantara. Dari sini, lahirlah istilah Islam Nusantara.

Dikutip dari penjelasan Kyai Said Aqil Siroj dalam suatu acara di salah satu stasiun televisi, beliau berkata, “Orang Indonesia itu sudah terkenal berbudaya dan beradab”. Beliau lantas melanjutkan penjelasannya, “Teologi kita berasal dari Arab, nabi kita orang Arab, Al-Qur’an berbahasa, Arab, dan syariat kita (sholat) berbahasa Arab, tapi budaya kita jauh lebih mulia dari pada budaya Arab”. Oleh sebab demikian, ketika beliau pulang menuntut ilmu dari Arab, yang dibawa bukanlah budayanya, melainkan ilmunya.

Orang Indonesia sudah terkenal berbudaya beradab. Negara Indonesia pun lahir dengan dasar Pancasila dan simbol Bhineka Tunggal Ika. Untuk itu, tidaklah patut memaksakan Indonesia harus berkibkat pada budaya Arab karena negara Indonesia bukanlah Darul Islam melainkan Darus Salam.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru