30 C
Jakarta

Jakarta yang Aku Rindu (Bagian XVI)

Artikel Trending

KhazanahOpiniJakarta yang Aku Rindu (Bagian XVI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Mbak! Kereta udah nyampek!” seorang penumpang membangunkan Diva. Tatapan samar-samar. Meraba sekitar. Ia baru terbangun dari tidur. Sebagian penumpang menggendong ransel masing-masing. Sebagian  yang lain menarik koper. Diva berdiri dan bergegas keluar kereta.

Jakarta masih malam. Melihat arloji menunjuk jam 22.45 WIB. Jadwal presentasi masih besok siang. Ada banyak waktu untuk istirahat setelah lelah selama perjalanan dan belajar lebih dalam untuk presentasi.

Diva belum mempunyai teman di kota Jakarta. Tiada seorang pun yang dapat dihubungi untuk sekedar menumpang istirahat di asrama atau kosannya. Panitia Sayembara Menulis sebenarnya sudah menyediakan biaya kebutuhan peserta, baik transportasi maupun biaya tempat tinggal. Tak ambil pusing Diva booking hotel.

Di hotel Syahida Inn Diva beristirahat untuk menghilangkan rasa capek. Lokasi hotel ini tidak jauh dari tempat acara. Berjalan sekitar dua puluh menit sudah sampai. Apalagi naik ojek online akan jauh lebih cepat.

Tidur di hotel tidak seperti istirahat di pesantren. Di pesantren tidak diperbolehkan membawa kasur. Selain itu, di pesantren tidurnya bersamaan. Satu kamar memuat sekitar sepuluh orang. Bahkan, terkadang tidurnya tidak rapi. Walaupun begitu, Diva merasa betah, karena bisa menikmati kebersamaan tanpa membedakan satu dengan yang lain.

Di pesantren, santri tidak diperbolehkan membawa ponsel. Bermain game pun dibatasi, selain hari-hari libur, yaitu hari Selasa dan hari Jumat. Menonton televisi juga dilarang. Santri yang ketahuan membawa ponsel biasanya dipulangkan dari pesantren atau paling tidak mendapat hukuman shalat jama’ah di belakang pengasuh pesantren.

Sekian peraturan pesantren jelas berbeda saat Diva berada di Jakarta. Diva bebas otak-otik ponsel, bahkan bisa menonton film online. Pesantren memberi batasan-batasan yang ketat agar santri fokus belajar dan tidak merasa aman berada dalam zona nyaman. Karena, tidak selamanya fasilitas yang memadai dan cukup akan melahirkan orang yang sukses. Justru kebanyakan sebaliknya. Kesuksesan itu biasanya datang saat seseorang mampu mengubah keterbatasan menjadi prestasi.

Jakarta memang bising. Polusi suara tak dapat dibendung. Banyak kendaraan berlalu-lalang , kendati pada malam hari. Masing-masing orang saling memiliki kepentingan. Badan memang penat, tapi Diva tidak ingin tidur.

Ia mencoba duduk dekat jendela kamar. Kelap-kelip lampu motor dan rumah memadati sekitar. Terlihat indah dipandang. Tak kuasa melepaskan pandangan. Inginnya tetap berada di dekat jendela sambil menulis cerpen.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Diva melihat jarum arlogi menunjuk jam 01.00. Matanya belum mengantuk. Seakan Jakarta memiliki magnet untuk menghibur kesendirian. Diva membatin sembari mengingat kesatria yang menunggu cinta dalam mimpinya tadi. Andaikan aku ada dalam mimpi itu, rasanya ingin belajar tentang cinta kepada sang kakek yang cerdik. Mimpi itu rasanya mengesankan daripada kenyataan yang kosong. Jika aku adalah cinta, ingin rasanya menunggu kesatria di tepi danau.

“Kesatria? Bukannya dongeng?” desis Diva seorang diri.

Berbicara pada diri sendiri ternyata mengasikkan juga. Diva merenung kembali.

Kesatria itu tampaknya rupawan. Ingin menatapnya tanpa ingin melepasnya. Auranya begitu jujur. Tiada sesuatu yang disembunyikan. Aku suka orang jujur, termasuk jujur pada perasaannya sendiri.

“Ah, siapa kesatria itu sih?” Diva mulai penasaran.

Diam sejenak.

“Bukan kesatria, putri, dan bintang jatuh dalam novel Dee Lestari?” Diva terbelenggu kebingungan. Tidak tahu arah, seakan berada di tengah gelombang dan kembali tenggelam dalam imajinasi.

Kek, ajari Diva tentang cinta seperti kesatria itu! Pinta Diva kepada kakek tua renta.

Kakek itu duduk sambil meletakkan tongkatnya di pangkuannya. Kau ini putri? tanya kakek terbata-bata.

Bukan, Kek. Aku Diva.

Diva?! Kelihatannya kakek itu penasaran. Tatapannya makin tajam. Tampak wajahnya yang keriput.

Diva Rizka Maulia, Kek.

Kau mau tahu tentang cinta?

Diva mengangguk dan berdesis: Iya, Kek.

Nampak sangat akrab antara si kakek dengan Diva, padahal baru bertemu. Kakek berkata: Cinta itu manifestasi sifat Tuhan, Nak. Kau tidak akan menyesal begitu kau menyelaminya, menyelam di samudra cinta yang maha luas. Kau tidak akan merasakan sakit hati.

Diva tertegun menyimak penjelasan kakek dengan pelan. Diva bertanya: Mencintai manusia juga, Kek?

Si kakek mengangguk.

Bukannya mencintai selain Tuhan termasuk menduakan-Nya? Diva mencoba membantah.

Tidak. Mencintai makhluk adalah langkah mencintai Tuhan. Tuhan absolut, tidak bisa diindera. Sulit bagi seorang hamba langsung mencintai Tuhan tanpa mencintai makhluk-Nya.

Bagaimara cara mencintai makhluk Tuhan? Diva menyerocos.

Tiba-tiba kakek itu menghilang. Diva tersadar dari lamunannya. “Kakek,” desis Diva dengan tatapan kosong. Kakek yang ditemui dalam imajinasinya pergi tidak tahu ke mana. Pertanyaan Diva belum terjawab.

Diva pindah ke atas kasur dan berbaring, akhirnya terlelap.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru