28.9 C
Jakarta

Islam Tak Seperti Didakwahkan Munarman. Islam Itu Ramah

Artikel Trending

Milenial IslamIslam Tak Seperti Didakwahkan Munarman. Islam Itu Ramah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Banyak orang tak ragu lagi menyebut FPI adalah organsisasi teroris. Sebab, bukti-bukti sudah bertebaran di mana-mana dan mengarah ke padanya.

Dengan tertangkapnya anggota FPI yang begitu banyak, hal itu menurut banyak orang, FPI memang betul-betul ormas teroris. Apalagi diperkuat dengan para pembesar FPI yang melakukan sumpah setia kepada ISIS.

Munarman adalah pembesar FPI yang ikut di sana. Meski kabar simpang siur, tapi beberapa saksi/kesaksian yang diberikan oleh tersangka, Muhammad Aulia dan Muhammad Fikri Oktoviandi (salah satu anggota FPI), menjadi makin jelas bahwa Munarman terlibat. Munarman ikut berbait kepada ISIS.

Munarman Patut Dihukum?

Munarman patut diperiksa. Dengan kesaksian dua orang tadi atau yang bias dianggap “saksi mahkota” sudah menjadi kian jelas, bahwa Munarman adalah tokoh sentral dalam poros FPI dan jejaringnya. Bahkan menjadi poros dalam gerakan para anggota-anggotanya. Dengan itu, Munarman juga harus mempertanggungjawabkan perilaku anak buahnya.

Munarman apakah wajib dihukum? Jika mengacu pada undang-undang pidana terorisme, syarat-syarat itu mungkin sudah terpenuhi. Siapa yang ikut menyebarkan, merekrut, mempersiapkan, mengikuti, mengumpulkan, atau menyebarluaskan tindak pidana terorisme wajib dihukum, paling lambat 15 tahun.

Jika itu dilakukan, sudah pasti negara Indonesia tidak terancam. Dan bangsanya, merasa tenang dan aman. Motif-motif keagamaan, yang dengan sengaja menyelundupkan paham-paham radikalisme teroris, menjadi ancaman yang sangat nyata bagi kita. Islam yang dipolitasi menjadi erosi kehidupan sosial. Itu mengerikan.

Jika tujuan-tujuan agama mereka, adalah untuk memberikan asupan paham teroris yang diperuntukkan untuk menjegal agama, maka itu masalah besar. Jika agama hanya menjadi alat politisasi seperti yang dijalankan FPI, Munarman, dan konco-konconya, maka agama menjadi alat kapitalistik. Agama menjadi murah dan rendah. Padahal Islam tidak mengajarkan hal demikian.

Islam dengan Cinta Bukan Cerca

Sungguh begitu penting asas cinta dalam Islam. Sehingga, al-Qur’an dan hadisnya merekam dan menjadikan sebagai landasan serta dasarnya. Sedemikian hadis mengatakan: “Tak ada agama bagi orang yang tak menggunakan cinta dan akal.”

Semesta cinta mengantarkan Islam kepada keagungan. Ia berpijak melewati jalan rasional-argumentatif dan cinta-dinamis yang menjadi piranti konstruksi ideologis di dalamnya dan implimentasiya. Dengan menjalankan segala perintahnya dan menjahui segala larangannya, serta ajaran yang di bawa Rasullullah dengan hati yang ikhlas dan akhlak orang yang mencintai Allah, maka ia sesungguhnya telah berusaha membangun peradaban agama (cinta).

Tabiat Islam, sesungguhnya berorentasi kepada kebaikan. Seperti dikatakan Prof. Anemarie Schimmel, “sebuah agama tak kurang-kurangnya untuk menempuh puncak cinta sesama yang sama-sama mencari kebaikan.” Dan, untuk mencapainya, agama harus dijalankan dengan mendahulukan al-Makruf, ketimbang al-Mungkar.

Oleh Penciptanya, agama selalu dipromosikan Islam Cinta. Baik di/ke/dalam/semua penjangkarannya, maupun fenomenologinya. Sebab itulah, agama direkaciptakan untuk mengubah manusia, dari prilaku keterbencian menuju prilaku kecintaan yang rahmah.

BACA JUGA  Politik Dinasti: Pembajakan Islam dan Demokrasi yang Harus Ditentang

Nabinya pun yang diturunkan adalah Nabi agung berakhlak mulia dengan mempunyai konsep cinta untuk diberikan dan diajarkan kepada, bukan hanya kepada umat Islam, tetapi juga umat agama lain. Seperti dalam salah satu potongan sabdanya, diakatakan bahwa: “Cinta adalah asas (ajaran agama)-ku.” Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi kita, umatnya, untuk saling membenci dan saling menyalahkan kepada sesama hambanya, kalau kita mengikuti ajarannya atau mengaku umatnya. Sebab, tidak ada kekuatan selain kekuasaan Tuhan, dan tidak ada kebenaran dan kebertahuan selain pemilik ke-Mahabenaran dan ke-Mahabertahuan, yaitu Allah Swt.

Sebagaimana di sebutkan dalam al-Qur’an, “Hakikat cinta hamba kepada Allah ditunjukkan dengan meninggalkan segala persoalan dunia yang menjadi penghalang bermahabbah kepadanya guna meraih cinta yang sempurna”(QS al-Imran 31-32, (2). Dalam ayat yang lain dikatakan, “Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan mensucikan jiwa dari berbagai macam kotoran yang melekat pada jiwa dan hati kita yang bening dan tulus” (QS a-Taubah 24 (3).

Dengan demikian, jika melihat ajaran dari al-Qur’an dan Hadis di atas, kita sebagai umat muslim, tidak ada alasan lain untuk tidak berplilaku bijak, toleran, dan menghargai perbedaan serta mengakui kesetaraan dan membuka ruang dialog dan komunikasi dengan sesama hamba. Bahkan, tidak alasan untuk membenci, melakukan perbuatan konservatisme, radikalisme, ekstremisme, dan liberalisme berlandasan agama.

Al-Qur’an dan Hadis telah mejelaskan bahwa Islam tidak mengajarkan ekstremisme agama, melainkan sikap-sikap rahmah. Islam tidak mengajarkan sikap-sikap radikalisme atas nama agama, akan tetapi mengajarkan sikap adil, dan bijaksana. Islam juga tidak menerapkan liberalisme agama, tapi menerapkan konsep plural, ingkulusif yang moderat. Bahkan, Islam hakikatnya mengutuk sikap atau ajaran teror, radikalisme, konservatisme, liberalisme.

Sebagaimana perkataan, “cintailah semua orang, niscaya engkau berada di antara bunga mawar dan taman-taman surgawi”. Dan, “perlakukanlah orang lain, sebagaimana engkau ingin diperlakukan”. Sebab, “tujuan kita satu yakni kebahagiaan, tapi jalan kita berbeda”. Dari itu, kita harus berislam dengan cinta, supaya surga niscaya.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru