33 C
Jakarta

Islam Moderat Melawan Islam Ekstremis

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanIslam Moderat Melawan Islam Ekstremis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semenjak masih di Madura dulu, saya dihadapkan dengan problem perbedaan antar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Madura yang mayoritas masyarakatnya menganut ideologi organisasi yang dibangun KH. Hasyim Asy’ari itu melihat Muhammadiyah sebelah mata. Sampai muncul pemikiran tertutup (eksklusif), bahwa Muhammadiyah itu sesat.

Orang Madura, terutama di kampung yang masyarakatnya NU, melihat NU menduduki posisi paling wahid. Saya dulu termasuk yang sepemikiran dengan mereka. Sehingga, sempat terbersit di pikiran saya, ajaran agama yang benar hanyalah milik NU. Sedang, ajaran organisasi lain, termasuk Muhammadiyah, keliru. Apalagi, ajaran Syiah jelas diklaim sesat-menyesatkan.

Ketika merantau ke Jakarta, saya melihat problem yang berbeda dan saya pikir problem ini jauh lebih luas dibanding problem perbedaan ajaran agama antar NU dan Muhammadiyah. Di Jakarta saya diperlihatkan bahwa Islam dihadapkan dengan problem Islam ekstremis. Biasanya Islam ekstremis ini menampilkan gaya berislam yang kaku dan tertutup (eksklusif).

Islam ekstremis terlihat kaku ketika memahami teks yang terekam dalam dua dasar Islam: Al-Qur’an dan Hadis. Islam ekstremis hanyalah memahami ajaran Islam sebatas makna hakiki teks. Islam model ini terkesan kaku melihat pesan tersirat di balik teks. Biasanya pesan tersurat ini ditemukan melalui membaca kronologis teks itu hadir. Kekakuan dalam memahami teks mengakibatkan berpikir tertutup.

Ketertutupan berpikir akan mengantarkan Islam ekstremis melakukan aksi-aksi kekerasan, mulai mengkafirkan (takfir) orang lain yang berbeda pemikiran dan keyakinan hingga melakukan aksi-aksi terorisme. Ketertutupan berpikir ini sesungguhnya disebabkan banyak faktor. Salah satunya, bacaan dan background pendidikan di mana seseorang belajar.

BACA JUGA  Kenapa Kita Harus Pilih Anies Sebagai Presiden di Indonesia?

Saya merasakan ketertutupan berpikir ketika sebelum belajar di sebuah pesantren yang ada di Madura. Saya berada di zona itu karena setiap hari bacaan yang saya konsumsi hanyalah kitab tradisional yang argumentasinya banyak yang tidak relevan dengan konteks Indonesia kontemporer. Ketertutupan ini pernah mengantarkan saya egois terhadap argumentasi saya sendiri dan cenderung menganggap argumentasi orang lain keliru.

Ketika di pesantren dan Jakarta saya mulai mengenal buku-buku yang lebih mengajak untuk mendobrak pemikiran kaku saya. Di situlah saya mengenal pemikiran Gus Dur, Cak Nur, dan Quraish Shihab. Tiga tokoh ini mampu menata ulang pemikiran saya, sehingga dihasilkanlah sebuah kesimpulan, bahwa Islam itu adalah agama yang terbuka terhadap perkembangan zaman. Sehingga, muncullah Islam Nusantara yang diperkenalkan oleh NU dan Islam progresif yang dihadirkan oleh Muhammadiyah.

Model Islam yang diperkenalkan NU dan Muhammadiyah memiliki kebenaran yang relatif. Jadi, tidak patut disalahkan. Menyalahkan kebenaran relatif ini akan mengantarkan seseorang terjebak pada propaganda pemikiran ekstremis. Ekstremisme ini tidak dibenarkan dalam Islam sendiri. Karena, Islam dihadirkan oleh Nabi Muhammad dengan pemikiran yang terbuka dan sikap yang ramah dan santun.

Islam yang terbuka, ramah, dan santun biasanya tergolong pada moderasi Islam. Terkait pentingnya berislam yang moderat, Prof. Haedar Nashir, ketua umum PP. Muhammadiyah menyebutkan, “Masalah moderasi telah dipilih untuk melawan masalah mendesak saat ini, yaitu ekstremisme. Ini sangat penting, karena saat ini agama dan tradisi telah dituduh sebagai tuan rumah ide ekstremisme.”[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru