Dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 disebutkan yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Pada dasarnya, ayat tersebut sebenarnya menjadi pondasi teologis-sosiologis bahwa Al-Quran mengakui perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karena seluruh manusia terlahir dari nafs/jiwa yang sama yakni Adam dan Hawa. Penekanan lafaz syu’uban (berbangsa-bangsa) dan qaba-il (bersuku-suku) seakan menyiratkan bahwa perasaan lebih tinggi itu bisa terlahir dari dua hal tersebut. Yaitu merasa bahwa bangsa satu lebih mulia dari bangsa lain atau suku lain merasa lebih terhormat dari suku lainnya. Padahal, beragam perbedaan suku dan bangsa itu, bukan untuk memicu perpecahan, namun agar setiap manusia dapat saling mengenal.