28.4 C
Jakarta

Islam Mengajarkan Anda Menjadi Muslim Progresif

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanIslam Mengajarkan Anda Menjadi Muslim Progresif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Masih segar dalam ingatan, tiga tahun yang lalu saya pernah naik angkot dari Lebak Bulus menuju area kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Naik angkot memang menjadi kebiasaan banyak orang, termasuk saya saat masih di Madura. Saya flashback naik angkot yang melelahkan tapi mengembirakan saat pulang dari Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep menuju rumah saya di Ambunten Sumenep pula. Tidak lama naik angkot. Hanya membutuhkan waktu lebih kurang sejam.

Benar. Naik angkot membuatku menyebalkan, tapi juga mengembirakan. Saya kesal karena banyak faktor: nunggu lama di pinggir jalan, buang-buang waktu, kadang kondekturnya minta lebih biaya, drivernya kadang masih nunggu penumpang penuh dulu baru angkot dikemudi, dan seterusnya. Sebaliknya, saya gembira karena pulang ke rumah dari pondok yang menjemukan.

Selama tiga tahun di Jakarta (lebih tepat di Ciputat) saya tidak lagi naik angkot kalau ke mana-mana kecuali awal kali sampai di Jakarta. Seringkali saya pakai ojek online atau lebih akrab disebut GoJek atau Grab. Naik ojek online jauh lebih praktis dibandingkan naik ojek pangkalan dan angkot. Driver ojek online ramah tamah seakan menemukan jiwa Islam saat perjalanan, ongkosnya jelas sehingga tidak ada rekayasa dan palak, kendaraannya rata-rata berkualitas, tempat jemput dan tempat tujuan jelas karena dibantu Map yang valid, dan yang paling menyenangkan drivernya ngejemput langsung sampai di tempat order. Keren, bukan?

Saya bersyukur perkembangan dunia membuat hidup semakin praktis. Waktu dapat dimanfaatkan untuk aneka aktivitas, sehingga dapat menghasilkan karya yang banyak, kerja yang keras, dan rezeki yang mudah dan berkah. In fact, yang terbantu oleh ojek online tidak hanya saya, namun pula orang lain, termasuk teman saya yang sering menggunakan fasilitas ini. Sungguh aneh, ojek pangkalan dan angkot yang masih bertahan lama di perkotaan. Buktinya, sebagian kecil ojek pangkalan dan angkot mulai tidak dilirik lagi oleh penumpang. Salah satu cara mensyukuri perkembangan dunia adalah menggunakannya. Dengan syukur, Allah tambah nikmat yang Dia karuniakan. Rezekinya dipermudah, salah satunya.

Kebiasaan hidup di perkotaan membuat saya bingung saat mudik ke Madura. Sampai di Madura penginnya naik ojek online menuju rumah tanpa merepotkan orangtua ngejemput. Entahlah. Ojek online belum masuk di pulau garam ini. Saya memeras otak untuk bisa sampai di rumah karena rindu orangtua. Akhirnya, mengulang masa silam yang kurang mengembirakan, yakni naik angkot. Saya refleksi siapa yang kufur terhadap nikmat Tuhan sehingga cara berpikirnya terlambat maju. Tentu, yang harus dipersoalkan adalah bupati dan gubernur. Karena, mereka orang terdekat yang bertanggung jawab memajukan masyarakatnya. Ternyata, mereka masih sibuk memajukan dirinya sendiri.

BACA JUGA  Mengatasi Kemiskinan dengan Memiskinkan Koruptor atau Menaikkan Gaji Pejabat?

Amat sangat menyayangkan melihat orang Madura yang memiliki etos kerja yang baik sehingga hilang terkikis sikap malas karena tidak ada lapangan kerja yang menjanjikan. Bukankah banyak orang Madura yang maju di kota orang lain. Sebut saja, Mahfud MD ketua MK masa kepemiminan Gus Dur, Ahsanul Qashashi owner Madura United, Zuhairi Misrawi dan Mun’iem Sirri dua ilmuawan dan pemikir nasional, Jamal D Rahman penyair nasional, dan masih banyak yang lainnya. Seharusnya, potensi orang Madura yang semacam ini dimediasi di Madura sehingga dapat memajukan Madura di kancah nasional.

Memajukan suatu daerah membutuhkan orang yang terbuka pemikirannya melihat perkembangan dunia. Keterbukaan berpikir diwarnai dengan keinginan terus belajar tanpa memandang usia. Benar apa yang disebutkan dalam hadis yang familiar: “Tuntunlah ilmu dari buayan hingga liang lahat.” Ilmu adalah suatu hal yang statis, namun dinamis. Siapa yang hidupnya statis berarti dia berhenti belajar. Biasanya orang berhenti belajar ciri-cirinya sudah merasa pintar, gemar menyalahkan, fanatik, dan gemar menuhankan pemikirannya sendiri. Luas dan sempitnya masa depan diukur dari luas dan sempitnya cara berpikir manusianya. Kenapa orang kota lebih maju dari orang desa, karena cara berpikir orang kota jauh lebih terbuka dibandingkan orang desa. Bukankah sering orang desa kaget-kaget saat menginjakkan kaki di perkotaan?

Tulisan ini bukan ingin menjatuhkan pihak tertentu, namun untuk mengajak siapa saja yang mau maju. Karena, Islam mencita-citakan kemajuan. Islam bukan agama yang jumud, tertutup, dan statis. Islam agama yang terbuka, progresif, dan dinamis. Keterbukaan Islam dibuktikan dengan diterimanya aneka budaya non-Islam yang masuk ke dalam Islam, seperti menara masjid, mihrab imam, dan seterusnya. Selamat menjadi muslim yang maju dan bersyukur![] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru