25.9 C
Jakarta
Array

Islam Indonesia di bawah Gerakan Islam Transnasional

Artikel Trending

Islam Indonesia di bawah Gerakan Islam Transnasional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Istilah “Islam Nusantara” semakin berhembus dibanyak kalangan tatkala pada Mukatamar Nahdlatul ‘Ulama (NU) yang ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada tahun 2015 silam. Bersamaan dengan itu, Muhammadiyah mengenalkan istilah “Islam Berkemajuan”. Dua terminologi itu setidaknya menggambarkan bahwa sudah semestinya Islam yang berkembang di Indonesia harus disesuaikan maupun dikontekstualisasikan dengan realitas yang hadir dan berkembang. Terlebih adalah persoalan ancaman maupun tantangan yang acapkali dijumpai, Islam Transnasional misalnya.

Imdadun Rahmat menyajikan narasi demi narasi yang mempersoalkan bagaimana posisi Islam Indonesia dalam menjadi benteng dari pelbagai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi—katakanlah gerakan ekstremisme maupun fundamentalisme. Tidak lain, dua fenomena tersebut lahir dari adanya gerakan Islam transnasional. “….Islam transnasional di sini bermakna spesifik, yakni merujuk pada berbagai gerakan yang menganut ideologi, gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal, dan lintas negara, serta berbasis pada tradisi Timur Tengah” (hlm. 6).

Beberapa corak yang menjadi ciri dari Islam transnasional yakni: pertama, pemahaman agama yang cenderung bersifat tekstualis/harfiah—mengakui makna hanya yang tersurat, puritan—mudah menuduh kelompok lain bidah, syirik hingga sesat, serta radikal—menghendaki perubahan mendasar, tanpa kompromi dan dengan kekerasan. Kedua, pemahaman keagamaan Islam yang tunggal dan eksklusif—memandang pemahaman dirinya paling benar dan di luar dirinya salah. Ketiga, politisasi agama—mengumandangkan jargon-jargon umum yang indah, eksistensi simbol agama dan meneriakkan kalimat ketuhanan untuk menarik dukungan politik. Keempat berupa otoritas politik tunggal.

Peta Gerakan Islam Transnasional

Gerakan Islam Transnasional di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang baru saja hadir maupun bermunculan. Melainkan dari itu, sudah semenjak beberapa lama menjadi sebuah hal yang kemudian dibahas maupun dikaji dari pelbagai kalangan. “Gerakan Islam transnasional ini berakar pada semangat aktivisme dan kebangkitan Islam yang lahir dan berkembang di Timur Tengah. Gerakan ini sendiri, di Timur Tengah, mengalami evolusi sesuai dengan perubahan sosial, politik, dan eknonomi di wilayah ini” (hlm. 40)

Hal tersebut tidak terlepas dengan kehadiran momentum berupa kebangkitan Islam (Islamic revivalism). Yang mana hal tersebut menjadi akar gerakan Islam transnasional—menunjuk fenomena munculnya gerakan keagamaan Islam kontemporer di Timur Tengah. Perlu diketahui, gerakan tersebut tidaklah tunggal maupun monolitik, namun melainkan bertingkat-tingkat—terdapat keragaman dan gradasi-gradasi aktivitas. Hal tersebut tercermin dengan istilah yang digunakan untuk menggambarkannya. “Ada yang menyebut diri mereka sebagai islamiyyin atau ashliyyin (orang Islam yang asli, otentik), mukminin atau mutadayinin (orang beriman yang saleh)” (hlm. 41).

“Gerakan kebangkitan Islam dalam wajah yang telah terdistorsi inilah yang kemudian pada dekade 80-an, 90-an dan awal Abad 21 disebarkan ke luar Timur Tengah dan berkembang menjadi jaringan gerakan yang melintasi batas-batas negara bahkan batas-batas kawasan yang kemudian menjadi gerakan internasional” (hlm. 47).

Dalam konteks umum, gerakan Islam Transnasional memiliki dua agenda, yakni: agenda islamisme atau Islam politik dan agenda salafisme atau wahhabisme. Islamisme merupakan paham yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Sementara itu, salafisme maupun wahhabisme merupakan gerakan yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap menyeleweng dari Islam yang murni.

Islam Transnasional dalam Sorotan

Bagaimana akan kenyataan gerakan Islam transnasional di Indonesia? Imdadun membahas dengan jelas pada sebuah bab tersendiri. Ia kemudian membagi bab tersebut menjadi tiga subbab, yakni asing-masing adalah: Gerakan Tarbiyah (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Gerakan Salafi. “Secara umum, gerakan Islam di Indonesia mengalami peningkatan kegairahan pada akhir dekade 1980-an. Fenomena ini tidak lepas dari perubahan kebijakan politik rezim Suharto terhadap gerakan Islam. Pada masa sebelumnya, pemerintah Orde Baru tampak sekali mempersempit ruang gerak ormas-ormas Islam” (hlm. 102).

Pertama, gerakan tarbiyah. Dijelaskan oleh Imdadun, di Indonesia gerakan tersebut identik atas kehadiran salah satu partai—Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Yang mana partai tersebut merupakan anak ideologis dari Ihwanul Muslimin (IM). IM merupakan organisasi pergerakan Islam kontemporer yang tersebar pada jurang lebih 70 negara. Meliputi beberapa negara wilayah di Timur Tengah dan wilayah lainnya. Organisasi tersebut didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Banna pada bulan April 1928.

Kedua, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gerakan tersebut tidak lain berpusat pada Hizbut Tahrir (HT) yang merupakan organisasi politik pan-Islamis—menganggap ideologinya sebagai ideologi Islam dan bertujuan untuk membentuk khilafah Islam maupun negara Islam. Dalam konteks gerakan di Indoenasia, HTI dalam menjalankan misinya dengan membentuk beberapa organisasi underbow, seperti: Muslimah Hizbut Tahrir yang mewadahi anggota perempuan, Syabab Hizbut Tahrir untuk kader dakwah kalangan anak muda dan Gerakan Mahasiswa Pembebasan yang menaungi kalangan mahasiswa.

Ketiga, gerakan salafi. Gerakan itu lebih tepat dalam penyebutannya dengan “Jama’ah-jama’ah Salafiyin”, yang mana hakikatnya kelompok salafi itu tidak pernah menjadi satu jamaah atau kelompok saja. Dengan kata lain, sebutan itu digunakan kepada pelbagai kelompok yang berbeda yang ada dari masa ke masa. “Di zaman modern, aliran salafiyah kembali muncul lewat tangan pembaru salafiyah di Jazirah Arab: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang gerakannya memiliki karakter khusus memerangi segala bentuk syirik dan khurafat, menyerukan kemurnian tauhid, serta melindungi tauhid dari segala noda” (hlm. 138).

Islam Indonesia

Diskursus terkait mengenai Islam Indonesia tidak terlepas dengan pribumisasi Islam yang dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1980-an. Yang mana dalam perkembangannya, gagasan tersebut berkembang di kalangan para kiai dan intelektual pesantren. Tidak mengherankan ketika kemudian—pada muktamar 33 Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 2015 di Jombang, Islam Nusantara menjadi salah satu topik. Konsep tersebut ditawarkan sebagai model ideal pengamalan Islam yang damai dan damai (civilized, tamaddun) pada International Summit of Moderate Islamic Leader (ISOMIL) Mei 2016.

“Gagasan ini mendapatkan sambutan positif di tengah merosotnya taraf kehidupan bahkan krisis kemanusiaan bangsa-bangsa muslim di Arab dan Timur Tengah pada umumnya, akibat invansi militer NATO, intervensi politik Barat, instabilitas politik, dan terutama akibat konflik dan perang saudara karena sektarianisme dan radikalisasi agama. Hal mendasar lain yang ditawarkan kepada dunia muslim adalah bagaiman Islam Indonesia mendialogkan doktrin-doktrin Islam dengan tradisi dan kearifan lokal, di satu sisi, serta modernitas dan nilai-nilai universal, seperti nasionalisme, demokrasi dan HAM, di sisi yang lain” (hlm. 215-216).

Sayap NKRI

Di tengah pelbagai gerakan-gerakan dalam kacamata Islam transnasional dengan banyak varian yang ada, tentu saja posisi Islam Indonesia yang kemudian bagi Imdadun diidealkan—salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU) sangat harus dalam melakukan aktivitas dalam kehidupan yang sangat majemuk ini. Dalam hal ini dengan berpegang tegung pada nilai maupun prinsip sebagaimana yang termaktub dalam ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Hemat kata, Islam Indonesia itu merupakan—Islam dan budaya lokal berada dalam posisi saling memberi dan menerima, dengan tetap berpijak dengan nilai-nilai Islam.

Imdadun juga mengajak para pembaca untuk melakukan pembacaan secara pendalam terkait mengenai konsep Islam Indonesia itu sendiri. Dalam hal ini adalah kontekstualisasi dengan sejarah-sejarah yang telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dari masa ke masa. Seperti diantaranya adalah mengulik secara mendalam dari pola penyebaran Islam di Nusantara yang dilakukan oleh Walisongo, bagaimana pandangan NU terhadap ideologi dan politik, komitmen NU dalam kehidupan berbangsa dan posisi Pancasila sebagai landasan bernegara, serta perjuangan NU pada ranah pluralisme keagamaan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Judul: Islam Indonesia, Islam Paripurna: Pergulatan Islam Pribumi dan Islam Transnasional

Penulis: Dr. M. Imdadun Rahmat

Penerbit : Omah Aksoro

Cetakan: Pertama, 2017

Jumlah Halaman: xxxii + 400 hlm

ISBN: 978-602-61550-1-6

 

Joko Priyono, Aktivis PMII Kota Solo. Menempuh tudi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret sejak tahun 2014.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru