26.3 C
Jakarta

Islam Bukan Agama Teror(isme)

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanIslam Bukan Agama Teror(isme)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menyandarkan sesuatu kepada yang lain adalah cara paling aman (the safest way) mendapatkan pembenaran. Sistem ini dalam studi hadis dikenal dengan Isnad, mata rantai periwayatan. Sistem Isnad memiliki posisi yang paling urgen dalam menentukan kualitas dan status hadis, shahihkah atau dha’ifkah. Sebuah hadis yang sanadnya tidak terputus dan terus menyambung kepada Nabi Muhammad Saw., tentu termasuk hadis shahih, bukan hadis maudhu’ alias hadis palsu. Karenanya, sekian orientalis seringkali mengkritik hadis melalui sisi Isnadnya, sehingga dengan mudah hadis itu diklaim sebagai dokumentasi sejarah yang kurang valid.

Sistem Isnad yang pada mulanya dijadikan cara menentukan kualitas hadis, kemudian dipolitisasi oleh kaum radikalis-ekstremis untuk memperkuat gagasan-gagasannya di depan publik. Seringkali mereka mengatasnamakan jihad dengan pertempuran atau peperangan melawan orang-orang kafir dan murtad. Mereka menuding orang kafir itu adalah masyarakat yang negaranya tidak menggunakan sistem khilafah. Sistem khilafah diyakini sebagai sistem negara Islam (Islamic State atau Daulah Islamiyyah). Sampai di sini, saya masih bertanya-tanya: Apakah agama itu? Apakah Islam itu? Apakah Islam mengajarkan pemeluknya mengkafirkan saudaranya sendirinya, meski mereka beragama Islam? Apakah keislaman seseorang ditentukan oleh negaranya yang Islam?

Menarik terlebih dahulu menelaah tentang agama. Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti tradisi. Agama disebut tradisi, karena agama tidak lekang dari perkembangan tradisi di mana ia berpijak. Secara sederhana, praktek agama di Suriah tidak dapat disamakan dengan di Indonesia. Dua negara ini memiliki tradisi yang berbeda. Agama pada lain hal memiliki makna seperti yang disebutkan dalam hadis: Dari Tamim ad-Dar, bahwasanya Nabi Saw. bersabda, “Agama itu nasihat.” Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?” Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, serta imam-imam kaum muslim dan rakyatnya. (HR. Muslim).

Ketika agama dipahami sebagai nasehat, apakah nasehat itu disampaikan dengan cara radikalis-ekstremis seperti yang dilakukan oleh kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Suriah atau Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia? Al-Qur’an mengajarkan cara menyampaikan nasehat yang benar: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (QS. Thaha [20]: 44). Pada ayat ini, nasehat hendaknya disampaikan dengan perkataan yang lemah lembut, bukan perkataan yang kasar, karena: Seorang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, suka melaknat, suka bicara kotor dan suka bicara jorok. (HR. Tirmidzi).

Kata agama (din) seringkali disebutkan secara bersamaan (dalam satu ayat) dalam Al-Qur’an. Sebut saja, ayat yang paling familiar: Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imran [3]: 19). Ayat yang lain menyebutkan: Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3]: 85).

Penyebutan secara bersamaan ini menunjukkan bahwa “agama” dan “Islam” memiliki kaitan makna yang saling membangun. Bila agama disebutkan sebagai nasehat, tentu nasehat itu selalu berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. Islam memang sering dipahami secara sempit sebagai nama agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw., namun secara umum Islam dapat mencakup segala bentuk aktivitas manusia yang mendamaikan, bahkan mempersatukan, meski sistem negaranya bukanlah sistem khilafah. Sesuai dengan akar katanya, Islam terambil dari kata salam, yang berarti perdamaian.

Perdamaian ini tidak hanya terbatas pada satu agama Islam saja, namun mencakup semua agama di muka bumi. Perdamaian ini adalah cara mempertemukan perbedaan, sehingga tidak memunculkan perselisihan. Biasanya titik temu ini disebut dengan kalimah sawa’, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran [3]: 64).

BACA JUGA  Mengapa Isu Terorisme Tidak Muncul Lagi Akhir-akhir Ini?

Melalui ayat tersebut perdamaian itu merupakan titik temu yang diperintahkan oleh Allah untuk dijaga. Bahkan, dalam Perjanjian Najran Nabi Muhammad Saw. menyampaikan pesan yang mempersatukan dan mendamaikan: “Buat para penganut agama Nasrani, bilamana mereka memerlukan sesuatu untuk perbaikan tempat ibadah mereka atau satu kepentingan mereka dengan agama mereka, bilamana mereka membutuhkan bantuan dari kaum Muslimin, maka hendaklah mereka membantu dan bantuan itu bukan merupakan utang yang dibebankan kepada mereka, tetapi dukungan kepada mereka dan anugerah dari Allah dan Rasul-Nya untuk mereka. Tidak boleh orang Nasrani dipaksa memeluk agama Islam, mereka hendaknya diberi perlindungan berupa kasih sayang dan dicegah segala yang buruk yang dapat menimpa mereka kapan pun dan di mana pun.”

Pesan Nabi Saw. itu seringkali dilupakan oleh kelompok radikalis-ekstremis yang hanya melihat Islam dengan ego mereka sendiri. Seringkali membawa nama Nabi Saw., padahal itu hanya kepentingan pribadi. Sungguh, siapakah yang telah menodai Islam? Pada sebuah kesempatan, Quraish Shihab, pakar tafsir Nusantara, mengutip sebuah pesan Ali Ibn Abi Thalib terkait menjaga persaudaraan demi persatuan dan perdamaian: “Jika engkau bertemu dengan seseorang, jika ia bukan saudaramu yang seagama, maka ia adalah saudaramu sekemanusiaan”.

Sampai di sini, telah jelas Islam agama yang mendambakan perdamaian, menjaga persatuan, dan memperkuat tali persaudaraan, karena semua manusia, apapun agamanya, berasal dari Abu al-Basyar Nabiyullah Adam dan Siti Hawa. Islam bukanlah agama radikalis-ekstremis yang seringkali mempolitisasi agama demi kepentingan sesaat. Bahkan, Islam bukan agama teroris yang banyak menuai kemafsadatan di muka bumi. Bila terorisme adalah jalan hidup yang benar, sudah lupakah mereka terhadap firman Allah: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil? (QS. al-Mumtahanah [60]: 8). [] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru