29.7 C
Jakarta

ISIS, Nyai Nikita Mirzani, dan Sikap Kita

Artikel Trending

Milenial IslamISIS, Nyai Nikita Mirzani, dan Sikap Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

ISIS kembali beraksi. Pada Senin malam (2/11) terjadi kasus penembakan yang dilakukan oleh Kujtim Fejzulai (20). Pemuda Muslim yang berkewarganegaraan ganda Austria-Mecedonia Utara itu menembak mati empat orang dan puluhan lainnya luka-luka di salah satu rumah ibadah Yahudi di kota Wina, Austria (Tirto, 12/11/2020).

Kujtim Fejzulai adalah simpatisan ISIS. Berdasarkan investigasi yang dilakukan banyak pihak, Kujtim Fejzulai pernah membaiat diri atau sumpah setia di media sosial untuk pimpinan ISIS, Abu Ibrahim. Menurut laporan Tirto, terdapat foto peluru yang disertai tulisan “baqiya”. Seperti kebiasaan (simpatisan) ISIS, itu untuk mengirim sinyal bahwa ISIS masih eksis dan kata itu adalah motto ISIS: baqiyah wa tatamadad” (abadi dan meluas).

Peristiwa tragis itu menjadi pananda bahwa ISIS tidaklah mati atau jauh dari kehidupan kita, sebagaimana kehidupan warga Wina yang menurut banyak survei adalah negara paling harmonis di dunia. Bahkan, dalam kejadian tersebut, ISIS mengklaim yang melakukannya. Tapi klaim itu menjadi pertanyaan panjang karena ISIS tidak menyertakan bukti apapun.

Namun demikian, kejahatan demi kejahatan yang dilakukan teroris pasti terinspirasi dengan praktik ISIS atau memang Kujtim Fejzulai adalah anggota simpatisan yang diarahkan oleh ISIS. Karena, sesungguhnya menjadi keajaiban bila Kujtim Fejzulai melakukan seorang diri atau sendirian tanpa dibantu orang profesional dibidangnya atau orang-orang jahat nan gila.

Aksi ISIS sebagaimana aksi jahat Kujtim Fejzulai adalah sebentuk “teror islamis” yang didorong oleh banyak faktor. Menurut Kanselir Kurz (salah satu warga yang punya otoritas di Wina), aksi Kujtim Fejzulai adalah bentuk kebencian terhdapnya. Dia menulis: aksi tersebut adalah kebencian terhadap nilai-nilai fundamental kami (agama lain). Terhadap pilihan jalan kehidupan kami. Kebencian terhadap sistem demokrasi kami di mana semua orang punya hak setara dan martabat”, katanya.

Mereka (ISIS dan simpatisannya) merasa telah “gagal” atau menganggap umat Islam mengalami kekalahan dalam menghadapi arus modernitas sehingga kelompok-kelompok ISIS/jihadis mencari dalil agama untuk “menghibur diri” dalam bayangan dunia utopisnya; yaitu melakukan aksi-aksi bunuh-membunuh dan praktik kekerasan lainnya yang dianggap telah sejalan dengan visi misi Islam. Padahal, praktik demikian sungguh sangat jauh dari ajaran-ajaran indah nan “suci” Islam.

ISIS dan Nikita Mirzani

ISIS selalu menklaim dirinya untuk membasmi praktik-praktik di luar Islam. Seperti sistem, hukum, dan perilaku-perilaku umat yang dianggap “menyimpang” untuk dialihkan ke yang berbau syariat Islam. Sesungguhnya, itu adalah produk strategi ISIS atau jualan “bungkus” Islam untuk menselancarkan dan melicinkan kainginannya. Yang ada hanyalah “politik Islam” untuk menarik simpati kaum awam yang bakal dijadikan para martir atau militernya. Kemudian, dimanfaatkan untuk merebut tempat-tempat strategis demi mandapatkan pundi-pundi uang.

Begitu juga kelompok islamis di Indonesia. Perilaku-perilaku manusia yang dianggap menyimpang, misalnya, membuka aurat, makan di siang bolong saat bulan Ramadan, tempat-tempat hiburan malam, sistem negara, dan pergaulan sejenisnya harus diubah: ke perda syariat.

Maka demikian, melihat dinamika berbeda dari laku mereka (ajaran Islam,) “revolusi akhlak” seperti menjadi jalan jitu untuk menangkal praktik demikian. Sesuatu pilihan yang bahkan menurut banyak orang mengada-ngada. Apa relasinya ISIS, ormas dan laku keagamaan Islam Indonesia dengan Nikita Mirzani?

ISIS punya sifat yang mirip dengan ormas ekstrem atau keagamaan di Indonesia: menalar Islam dengan literalis dan tekstual. Suatu pola pikiran (mode of thought) yang selanjutnya akan melahirkan pola perilaku (mode of conduct) (Clifford Gerrtz, 1993). Kendati, perawakan dan perilaku artis-artis macam Nikita Mirzani dianggap tidak sesuai dengan Islam. Oleh sebab itu, Nikita Mirzani dan artis-artis lainnya tidak bisa lepas dari stigma negatifnya. Bilapun artis-artis tanah air membela diri dengan hak privasinya, mereka akan tetap digempur cacian bahkan dengan ancaman-ancaman “kekerasan” atas moral dan nama agama.

BACA JUGA  Politik Dinasti dan Politik Identitas, Bahaya Mana?

Islam dan Keyakinan

Dengan demikian, agama seolah-seolah telah dijadikan “surat ijin untuk kekerasan” orang yang berbeda keyakinan, pergaulan dan pilihan hidup. Padahal, Islam adalah agama yang mengajarkan praktik moderat karena Islam sendiri adalah moderat (M. Quraish Shihab, 2020). Kendati, Islam telah mendeklarasikan dirinya sebagai agama rahmatan lil alamin (QS. al-Anbiya [21]:107), yaitu agama yang memberi kedamaian dan menebar rahmat bagi seluruh umat. Al-Qur’an juga menggariskan jaminan kebebasan beragama kepada semua orang: “Tidaklah ada paksaan dalam beragama…” (QS. al-Baqarah [2]:256).

Bahkan kalau kita mengakui bahwa Tuhan menciptakan manusia secara beragam, maka keragaman tidak dimaksudkan(nya) agar masing-masing saling menghancurkan satu sama lain. Tapi agar manusia saling mengenal dan menghargai eksistensi manusia masing-masing (li ta’ arufi).

Tuhan menghendaki keberagaman dan perbedaan maksudnya bukan hanya berbeda dalam realitas fisikal. Melainkan berbeda-beda dalam ide, gagasan, kayakinan, pergaulan, dan beragama sebagaimana disebutkan: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu. Dan (tetapi) mereka senantiasa berbeda” (QS. Hud [11]: 118). Dan Tuhan menginginkan: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja)” (QS. al-Maidah [5]:48).

Demikian jelas bahwa ketunggalan dalam berbagai dimensi dan hal termasuk dalam beragama, berkeyakinan dan pergaulan tidaklah menjadi keinginan Tuhan. Dengan demikian, beragama tidak membolehkan ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk satu agama dan pindah agama. Orang juga boleh dibebaskan apabila memilih tidak ingin beragama. Sebab, jalan yang benar dan salah sudah dibentangkan Tuhan. Terserah kepada siapa mereka memilih antara dua jalan tersebut, tentu dengan segala konsekuensinya. Allah dengan sangat indah menjelaskan hal ini dalam surah (QS. al-Rad [13]:17).

Sikap Kita

Maka, menjadi penting diketahui bahwa jika Tuhan menghendaki manusia diciptakan berbeda-beda, adalah sangat logis dan amat bijaksana bahwa Tuhan juga memberikan perlindungan terhadap pemeluk agama lain dan di tempat-tempat mereka menyembah. Kita sebagai hamba selaiknya juga bersikap lembut demikian.

Keyakinan agama adalah keyakinan yang tidak terlihat dan itu menjadi bagian yang paling personal, eksklusif, tersembunyi dari manusia. Sebab itu, maka percayalah tidak ada kekuatan lain selain kekuasaan Tuhan yang memaksakan kehendak atau suatu keyakinan. Nabi SAW sekalipun tidak bisa memaksa siapa pun agar ajarannya diikuti: “lasta ‘alaihimbimushaithir”, kamu, bukan orang yang bisa menguasai mereka (QS. al-Ghasyiah [88]: 22).

Dan Allah menegaskan: “Afa anta turikhual-nas hatta yakumu mukminin”, apakah kamu hendak memaksa mereka sehingga mereka beriman” (QS. Yunus [10]:99). Kendati, hanya Allah yang mengetahui. Maka hanya Dia pula yang akan memutuskan apakah keyakinan masing-masing orang itu benar atau salah kelak di hari pertanggungjawaban: akhirat (QS. al-Hajj [22]:17).  Sebab beragama dalam keterpaksaan tidak akan melahirkan perilaku keberagamaan yang ikhkas dan otentik.

Oleh sebab itu, sikap kita sebagai orang telah mengetahui strategi ISIS dan strategi kelompok ektrem/islamis di Indonesia, sebaiknya selalu waspada. Dan kalau bisa, kita memberi arah kepada yang lain untuk terhindar dari “wabah virus” nalar dan sikap ekstrem mereka. Sehingga, kecerahan keagamaan regenerasi kita kedepan dapat terjaga. Atau minimal, agama Islam tidak tercoreng oleh praktik-praktik “jelek” kita.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru