27.8 C
Jakarta

ISIS, Ideologi Teroris, dan Representasi Islam Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamISIS, Ideologi Teroris, dan Representasi Islam Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

ISIS bagi sebagian orang dianggap telah mati. Padahal ISIS hidup. Dan ia akan terus hidup dan menghidupi. Setidaknya, ISIS hidup di alam yang sangat susah untuk ditenggelamkan: ideologi.

ISIS dan Ideologi Teroris

ISIS itu, kini bukan (hanya) organisasi. Tapi ia adalah ideologi. Dan ideologi kita tahu, tak akan mudah mati. Bahkan tak mungkin pernah mati. Sebagai suatu abstraksi dari kehidupan, ideologi terus menjejak di mana kehidupan itu ada. Di sana juga ideologi ISIS tumbuh.

Ideologi ISIS yang ditancapkan Abu Musab al-Zarqawi terus berkembang. Dari beberapa organsisasi teroris, ISISlah yang sangat cepat. Buktinya, ideologi ISIS ini, sampai kini, terus berkembang di Indonesia.

Meski ideologi ISIS di Indonesia kini pasif, tapi dengan gemuruh konflik yang menghiasi malam-malam gelap di Irak dan Suriah, serta Mawari, kadang melintas tak terduga. Banyaknya combatant fanatik, dan pemimpin karismatik di bawah struktural, sangat gampang bagi ISIS untuk menghidupkan sekali “klik”. Apalagi, Indonesia yang memiliki pasokan ekonomi dan kemaruk agama begitu sangat buruk. Titik itulah, yang dimainkan organisasi teroris itu.

ISIS memiliki kekuatan yang disegani. Dan warga negara Indonesia begitu simpatik terhadapnya. Bahkan, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Rusia terkait jumlah militant asing yang bergabung bersama ISIS (Abdul Jamil Wajab, 2019).

Bergabungnya warga Indonesia bersama ISIS bukan karena pembingkaian agama. Tetapi itu, karena kecanggihan ideologi ISIS yang dimainkan. Banyak warga Indonesia, terperosok dalam dengan manamakan “hijrah” sebab ideologi itu, yang kini mengaku bertobat dan insaf.

Ideologi ultra puritan (jihadi, takfiri, kuffar) terus ditajamkan Islamic State of Iraq and Syria dengan memakai “menajemen kekejaman”. Maka, dedengkot ideolog ISIS, seperti Abdullah Azzam, Abu Muhammad al-Maqasidi alias Isam al-Barqawy, menodong diri Islam bahwa di dunia muslim harus berani menyatakan kebenaran di atas kebenaran: mewajibkan pribadi dan komunal untuk mengusir penjajah dari tanah suci, dan mengajak umat berjuang dalam satu kekuatan mujahidin (M. Najih Arromadloni, 2018), yang kemudian ideologi itu terbumikan Abu Bakaral-Baghdadi.

Lantas, di Indonesia dan seluruh negara, ISIS hadir dengan ideologi yang kuat. Tempat peribadatan, musnah. ISIS menghancurkan masjid-masjid karena tidak sesuai dengan prinsip Islam versi mereka. Bahkan ia berencana menghancurkan ka’bah di Mekkah karena telah menjadi pusat pemujaan dan kemusyrikan. Juga pamer diri.

Ia menampilkan diri sebagai pertahanan terakhir Islam untuk melawan “musuh”. Bahkan melegitimasi diri bahwa hanya ISISlah satu-satunya organisasi Islam, yang masih teguh memegang ajaran Alquran dan sunnah. Apabila ada yang berbeda, harus musnah. Meski itu bersaduara. Mengerikan!

Representasi Islam Indonesia Menjunjung Persaudaraan

Padahal, persaudaraan manusia adalah kunci kehidupan. Mengakui kesamaan dan persaudaraan bentuk dari konsep yang selama ini tidak terbaca orang. Alhasil, ia telah menimbulkan kehancuran dan kerusakan di banyak tempat dan kematian ribuan manusia.

Semua manusia punya elemen sama. Ia terbangun dari roh yang satu. Dan semua entitas kehidupan bergantung pada roh. Ia tidak bisa hidup tanpa roh. Proses berpikir misalnya, rohlah yang membuat otak reaktif.

Hal tersebut sepenuhnya supraprerogatif Tuhan. Sebagaimana penciptaan yang berbeda-beda juga kekuasaan Tuhan. Bahkan pembuatan manusia seperti daging dan segala jenis yang melekat pada tubuh manusia menunjukkan kekuasaannya. Jenis manusia juga terbuat tidak sama. Putih, hitam, lemah lebut, kasih sayang, dan toleran dan tegak pendirian. Semuanya beda-beda.

BACA JUGA  Ramadan: Melihat Janji Manis Aktivis Khilafah yang Harus Dibasmi

Mengapa  demikian? Tuhan bukanlah sesuatu yang sulit untuk Tuhan mencipta yang sama. Tetapi demikian itulah, bahwa Tuhan ingin mengajak manusia untuk satu tujuan: melihat kebesaran Tuhan dalam proses saling memahami satu sama lain.

Sebagaimana kata Gumilar Rusliva Somatri (2019), manusia yang tunduk kepada keagungan Sang Maha Pencipta dan berdamai dengan sesama, berintikan roh yang terdidik. Sebabnya, mendidik roh tidaklah mudah. Ia harus didik bukan di wilayah manusia. Ia adalah produk dari pertemuannya dengan Sang Khalik, di area ritualistik ataupun nonritualistik di Istananya dalam segala waktu.

Dalam konteks ini, ritualistik agama diturunkan oleh Tuhan dari nabi ke nabi–melalui wahyu–dalam rangka mendidik roh. Agar cahanya selalu berpendar agung mengalahkan gulita gegelapan.

Dengan demikian, maka ritualistik dan budi pekerti dan akal budi terpancar sebagai wujud cantik penuh kasih, damai, serta menebar kebaikan bagi sesama dan sekitarnya. Dari itu, kita tahu, sejatinya agama tidak membawa gen perbedaan, tetapi bersumber kepada satu risalah, yakni Tuhan.

Mengenal Tuhan dan Diskursus Varian Islam

Konsepsi mengenai Tuhan Maha Pencipta boleh jadi berbeda-beda di setiap melieun agama, sekte, dan mazhab. Namun, Tuhan yang meciptakan alam dan seisinya pastilah sama, tulis Gumilar.

Gumilar mencontohkan Al-Azhar dan Vatikan ketika menulis dukumen persaudaraan umat manusia di Abu Dhabi pada 4 Februari 2019 lalu sebagai simbolik untuk mendekatkan pemahaman mengenai hakikat umat manusia itu sendiri. Di tengah pertengkaran antarsaudara dan  acaman kenacuran peradaban manusia.

Merebaknya paham ekstremisme, terorisme, dan perbuatan terlarang lainnya menjadi ancaman kemanusiaan nyata. Perebutan tafsir kebenaran di atas tafsir lainnya, seperti ideologi ISIS, penyebab sunyatan itu. Tusukan kata tafsir menyayat kulit perasaan orang, dan tikam menikam di atas tafsir kebenaran orang.

Dalam pesta perebutan ini, umat beragama ibarat sekumpulan orang yang saling cakar mencakar di atas perahu bocor yang melaju menuju pulau harapan. Mereka bukannya mencari titik persamaan nasib, untuk bersegara bersama mencari bahan untuk menutup kebocoran dan menjamin keselamatan pelayaran, malah sibuk mempertengkarkan klaim atas pulau harapan yang secara nyata belum pasti ada.

Lebih-lebih di media sosial, segala macam apa bisa lontarkan. Kebencian, kecemburuan, kekerasan, keresehan, kebahagiaan hingga kemesuman. Seperti kata Yudi Latif, di sana, orang-orang setiap hari hidup dan terhubung bukan untuk merajut persaudaran, tapi membesikan permusuhan, bukan untuk mendekat tapi menjauh, Bukan kovergensi tapi divergensi, bukan konsistensi tapi alienasi; bukan berbagi tapi negasi; bukan mengasihi tapi membenci.

Maka dari itulah, alangkah baiknya jika kita saling menjaga perasaan. Menjaga hakikat persaudaraan dan berupaya untuk berpijak pada sisi kemanusiaan yang terbangun oleh rasa budi pekerti arif sebagai wujud pemeliharaan roh yang terberikan oleh Sang Pemiliknya. Seperti kata imam besar Al-Azhar Mesir Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, “Kita harus mencari persamaan di antara berbagai paham yang berbeda.

Marilah kita menjaga masyarakat dengan sikap yang moderat dan menerima perbedaan dan menjunjung tinggi persaudaraan dalam wadah Islam keindonesiaan. Dan bila tidak, bukan tidak mungkin ideologi ISIS bercokol di ubun-ubun kita. Sudi?

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru