33 C
Jakarta

Ironi Perempuan HTI: Terpasung Propaganda Khilafah

Artikel Trending

KhazanahPerempuanIroni Perempuan HTI: Terpasung Propaganda Khilafah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jika ada pertanyaan tentang siapa sesungguhnya perempuan HTI, jawabnya mereka tak jauh beda dari perempuan-perempuan lainnya. Namun ada yang spesial dari perempuan HTI. Dari sisi simbolisasinya, mereka identik dengan jilbab besar dan pakaian jubah yang serba tertutup, kecuali muka dan telapak tangannya. Selain itu, dari segi penampilan perempuan HTI akan terlihat seragam pada event-event tertentu seperti demonstrasi atau konferensi.

Sedangkan dari sisi pemikiran, perempuan HTI secara garis besar berpandangan bahwa “Khilafah adalah solusi dan harga mati untuk negeri ini”. Oleh karena itu, bisa kita lihat di setiap event yang diadakan oleh HTI, termasuk perempuan HTI kata “khilafah” selalu menjadi jargon yang tidak pernah ditinggalkan. Mengapa demikian? Karena ajaran organisasi yang sejatinya adalah partai politik ideologis yang melandaskan gerakan dan ajarannya pada Islam, yang pada awalnya merupakan sebuah partai politik Islam di Palestina ini berpijak pada keharusan mengembalikan khilafah islamiah dengan bertopang kepada fikrah (ide) sebagai sarana paling pokok dalam perubahan.

Kelahiran HTI di Indonesia sesungguhnya dibidani dan dipelopori oleh beberapa orang anggota dan simpatisan HT yang telah bersentuhan langsung dengan gerakan ini di Timur Tengah. Oleh karena itu, tidak heran jika nama, bentuk, doktrin, ideologi, dan metode gerakannya benar-benar mengikuti HT di Timur Tengah. Bahkan HTI merupakan cabang resmi dari jaringan HT Internasional dan bertanggung jawab kepada pengurus pusat HT di Yordania (Rahmat, 2005).

Tokoh-tokoh kunci HT antara lain Taqiyuddin Nabhan (1909-1979), Abdul Qadim Zallum, ’Atha Abu Rusytah. Sedangkan tokoh dan pemimpin yang sering disebut dalam HTI antara lain Mama Abdullah Bin Nuh (2004), Muhammad al-Khaththath (Pemimpin HTI), dan Ismail Yusanto (Jubir HTI). HTI tergolong kelompok Islam fundamentalis karena doktrin yang mereka bangun sering kali melihat masa lalu Islam (romantisme masa lalu, tanpa memperhatikan sisi kekurangannya), dan keinginannya untuk menjadikan syariat sebagai pedoman bernegara.

Penggolongan ini diperkuat oleh pandangan beberapa tokoh, antara lain, Musa Kailani yang mengartikan fundamentalisme sebagai gerakan sosial keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada prinsip-prinsip Islam yang fundamental dan kembali kepada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikannya secara positif (Abegebriel dan Syitaba, 2004).

Kemudian Jan Hjarpe yang mengungkapkan bahwa fundamentalisme merupakan keyakinan kepada Al-Qur’an dan sunah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan untuk menciptakan masyarakat yang baru (2004). Dan satu lagi Leonard Binder menyatakan bahwa fundamentalisme sebagai sebuah gerakan keagamaan yang menjunjung tinggi romantisme periode Islam awal (2004).

Pemikiran Perempuan HTI

HTI memiliki pemikiran tersendiri tentang politik perempuan, bahkan sering menjadi kajian khusus dan penting, terbukti dengan dicetaknya buku khusus tentang peran politik perempuan, kemudian dirilis film tentang peran politik perempuan, dan diadakannya berbagai pertemuan (halaqah) yang membahas tentang tema politik perempuan.

Konsep dasar yang mereka miliki tentang politik perempuan adalah “dakwah sebagai peran politik perempuan”. Dakwah yang dilakukan melalui berbagai cara menawarkan konsep khilafah kepada masyarakat, khususnya perempuan melalui pengajian yang diadakan di masjid-masjid. Selain itu dakwah juga dilakukan melalui media seperti booklet khusus tentang perempuan, Buletin Al Wa’i, Majalah Al Wa’i, dan media film dokumenter yang diputar juga dalam forum-forum pengajian. Isu-isu yang banyak mereka angkat antara lain tanggapan dan pandangan mereka (organisasi) tentang kepemimpinan perempuan, gender, feminisme, HAM, dan beberapa isu tren global.

HTI banyak melakukan kritik terhadap terminologi-terminologi Barat. Mereka mengatakan bahwa term-term yang berasal dari Barat bertentangan dengan Islam. Beberapa kritik yang dilontarkan antara lain terhadap konsep gender dan feminisme. Menurut HTI gagasan keadilan dan kesetaraan gender atau yang sering disebut dengan KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender) adalah sebuah konspirasi kelanjutan dari upaya menghapuskan peradaban Islam dan mencegah kebangkitannya kembali melalui penghancuran keluarga-keluarga Muslim.

Untuk mempertahankan hegemoninya, Barat, yang masih menaruh dendam terhadap Islam, memanfaatkan berbagai isu seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan KKG sendiri. Di balik opini KKG sesungguhnya tersimpan bahaya besar bagi eksistensi keluarga dan masyarakat Muslim. Konspirasi keji di balik program pemberdayaan perempuan versi KKG ini bertujuan untuk menghancurkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus menghapuskan peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi Muslim yang berkualitas. Oleh karena itu, langkah-langkah KKG ini menurut HTI harus diwaspadai (2006).

Mereka menilai isu gender merupakan alat yang paling ampuh untuk merusak perempuan Islam. Isu KKG bukan solusi mengatasi keterpurukan perempuan, malah menambah persoalan baru yaitu perempuan merasa terhina ketika melakukan tugas-tugas domestik karena tidak dianggap berkontribusi untuk ekonomi bangsa, karena tidak menghasilkan income. Inilah yang membuat perempuan-perempuan meninggalkan tugas domestiknya, yang oleh Allah telah dibuat seharmonis mungkin, yang pada akhirnya institusi rumah tangga rusak dan generasi hancur.

Selain mengkritik terminologi KKG, HTI juga berpendapat, bahwa feminisme telah membawa banyak perubahan di belahan bumi mana pun. Banyaknya kaum perempuan yang telah berhasil mengekspresikan diri, bekerja di bidang apa pun yang diinginkannya, tanpa harus takut dengan berbagai hal tabu yang selama ini dianggap mengekang mereka merupakan salah satu bukti menurut HTI.

Bahkan hal ini dianggap sebagai awal persoalannya karena selain membawa dampak postif, feminisme juga membawa dampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Kebebasan yang ditawarkan feminisme bagi HTI berakibat pada runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya free-sex, meningkatnya kasus aborsi, dilema perempuan karir, sindrom cinderella complex, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain. Walhasil yang terbentuk bukan masyarakat yang kokoh, tetapi sebuah masyakat yang penuh dengan konflik yang tidak memberikan ketenangan dan kepastian, karena berbagai penyimpangan banyak terjadi di dalamnya (2005).

Beberapa kritik HTI terhadap feminisme antara lain: pertama, ketidakadilan gender yang dikatakan telah melembaga secara universal dalam struktur masyarakat patriarkhis sesungguhnya terbantah oleh realitas bahwa berbagai fakta yang disebut-sebut sebagai persoalan perempuan ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Bahkan di dunia ketiga yang mayoritas negeri kaum Muslim, persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, malnutrisi, dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan sebagai implikasi dari penerapan sistem kapitalisme yang lemah dan rusak, dengan sistem politiknya yang bobrok, sistem sosialnya yang rapuh, dan sebagainya (2003).

Kedua, ide kesetaraan gender yang diusung feminisme merupakan gagasan yang absurd, ambivalen dan utopis, sebab sebagaimana sudah dijelaskan, kaum feminis meyakini, bahwa sifat keperempuanan yang dianggap lebih banyak merugikan perempuan bukan merupakan bentukan yang alami (nature/kodrati) melainkan dibentuk oleh kebudayaan (nurture). Untuk itu mereka menuntut adanya perubahan konstruksi sosial budaya baik secara kultural maupun struktural.

Dengan begitu diharapkan pembagian peran perspektif gender tidak ada lagi. Dalam hal ini mereka yakin, bahwa ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar gender), pembagian peran domestik vis-à-vis publik pun akan cair dengan sendirinya. Artinya semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apa pun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat dan sebagainya.

Ketiga, cara pandang feminisme yang individualistik dan cenderung emosional juga telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini terkait dengan pandangan demokrasi yang menganggap, bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi yang lain. Dengan demikian, di dalam demokrasi prinsip individualisme menjadi sesuatu yang inheren.

Prinsip ini telah menempatkan diri, ego, jenis dan kelompok sebagai sumber orientasi. Ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas memandang persoalan tersebut sebagai urusan internal komunitas perempuan. Akibatnya, pemecahan yang dimunculkannya pun hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan. Padahal realitasnya, masyarakat bukan hanya sekadar terbentuk dari individu-individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran, perasaan, dan aturan yang diterapkan, yang disertai dengan adanya interaksi terus-menerus (2003).

BACA JUGA  Meneladani Kesetaraan Gender dari Fatimah az-Zahra

Keempat, politik dalam perspektif feminisme seolah terbatasi pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Akibatnya ide, pemberdayaan peran politik perempuan pun selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu melibatkan diri dan berkiprah seluas-luasnya di wilayah politik formal; seperti di lembaga-lembaga pemerintahan atau kekuasaan, lembaga legislasi, partai politik, dan lain-lain. Hal ini sebetulnya terkait dengan logika feministik yang diilhami oleh teori mekanisme kekuasaan mayoritas yang ada dalam logika demokrasi yang menganggap apabila perempuan terlibat dalam kebijakan, maka masalah perempuan akan terselesaikan.

Padahal, dalam tataran praktik, masalah ada atau tidak adanya hubungan antara kiprah politik perempuan seperti itu dan tuntasnya persoalan perempuan masih sangat debatable. Banyak fakta justru menunjukkan bahwa keberadaan perempuan di parlemen atau di puncak kekuasaan sekali pun tidak lantas menjamin tuntasnya persoalan-persoalan perempuan. HTI mencontohkan kasus Indonesia yang pernah kepala negaranya perempuan, ternyata ‘nasib’ perempuan tidak lebih baik daripada nasib perempuan yang ada di negeri yang kepala negaranya seorang laki-laki. Demikian juga realitas keterpurukan yang terjadi Bangladesh ketika dipimpin oleh Begum Khalida Zia dan Sheikh Hasina Wajed (2003).

Bagi HTI yang terpenting dalam hal ini adalah bukan masalah kuantitas perempuan yang berkiprah di wilayah politik, melainkan kembali pada ideologi yang benar dan seragam dalam konteks politik yang didasari oleh akidah yang benar, yaitu akidah Islam dengan penerapan hukum-hukumnya.

Kelima, anggapan bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik bagi penyelesaian persoalan-persoalan perempuan sehingga mereka harus ikut memperjuangkannya adalah anggapan yang sangat lemah. Sebab demokrasi dan demokratisasi sendiri, baik dari segi teori maupun praktiknya, banyak sekali mengandung ambivalensi (Abdillah, 1999).

Gagasan kedaulatan di tangan rakyat sehingga rakyat berhak menentukan hukum (prinsip mayoritas), selalu melahirkan tirani minoritas, karena kehendak rakyat yang mayoritas sering harus tunduk kepada kehendak wakil rakyat yang minoritas. Jika demikian faktanya, bagaimana mungkin kita bisa berharap sistem ini bisa memberikan kebaikan pada ‘nasib perempuan’, apalagi pada manusia secara keseluruhan (Sa’idah & Khotimah, 2003).

Menurut HTI kritik atas feminisme jelas tidak boleh berhenti pada tataran teoritis atau praktis saja, mengingat jika dilihat dari sudut pandang Islam keberadaan ide ini sangat berbahaya karena terkait dengan hal-hal prinsip yang menyangkut tatanan akidah maupun syariat. Salah satu yang paling urgen adalah mengkritisi sejauh mana keabsahan gagasan rekonstruksi fikih perempuan dengan metodologi tafsir feminis yang digunakannya, seberapa layak pula gagasan-gagasan ‘kaum pembaharu’ bisa diadopsi sebagai landasan beramal bagi Muslim perempuan dalam menjalani peran dan fungsi sosial yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak (Sa’idah & Khotimah, 2003).

Lebih lanjut HTI menilai, bahwa pemikiran para tokoh feminis ini sangatlah rancau dan berbahaya, dan inilah yang perlu diwaspadai oleh umat Islam. Pertama, ide ini merupakan produk pemikiran Barat yang menganut paham liberalis dan kapitalistik. Kedua, paham ini tegak di atas landasan pemisahan agama dari kehidupan, akibatnya menafikan Sang Khaliq dalam mengatur kehidupan. Ketiga, keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum Muslim untuk menyetujui ide-ide yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya walaupun akan mengikis kesempurnaan Islam.

Keempat, seperti penjelasan sebelumnya bahwa ide ini telah memunculkan ketimpangan dan keguncangan struktur masyarakat dan keluarga. Kelima, ide ini makin menjauhkan kaum Muslim dari gambaran keagungan dan keunikan masyarakat Islam dengan aturan sosialnya yang manusiawi, sekaligus memadamkan cita-cita mereka untuk hidup di dalam masyarakat Islam. Malah ide-ide yang diusung feminisme kian mendekatkan kaum Muslim pada hukum-hukum Barat yang rusak dan merusak. Padahal seharusnya disadari bahwa secara politis, negara kapitalis yang menjadi sponsor dan suporter gerakan feminis ini sangat berkepentingan dengan ide-ide seperti ini di dunia Islam (Sa’idah & Khotimah, 2003).

Pemikiran HTI ini didasari oleh pandangan mereka yang menganggap semua mabda’ atau ideologi selain Islam seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, nasionalisme, patriotisme, freemasonry, sektarianisme, dan isme-isme sejenis tidak lain sebagai ideologi (mabda’) yang rusak dan bertentangan dengan fitrah manusia. Mabda’-mabda’ tersebut merupakan buatan manusia. Selain rusak dan cacat, semuanya bertentangan dengan Islam dan hukum-hukum Islam.

Mengambilnya, menyebarluaskannya, dan berkelompok berasaskan prinsip tersebut termasuk perkara yang diharamkan Islam. Kaum Muslim juga diharamkan mendirikan partai politik berdasarkan ideologi-ideologi buatan manusia tersebut, juga haram menjadi anggota dan simpatisannya, karena partai-partai politik seperti itu termasuk partai-partai kufur dan mengajak kepada kekufuran (Nashir, 2007).

Khilafah Memasung Perempuan

Hal lain yang juga menjadi bidikan wacana HTI dalam hal peran politik perempuan adalah soal pemimpin negara perempuan. Menurut HTI di antara aktivitas politik tertentu yang tidak diperkenankan oleh Allah untuk digeluti perempuan, yakni aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan atau pemerintahan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan atau pemerintahan adalah wilayah pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung dan menyeluruh, misalnya menjadi penguasa.

Penguasa dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab penuh secara langsung dan menyeluruh dalam mengurus urusan umat. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara), muawin tafwid (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah), dan amir (kepala daerah) (Sa’idah & Khotimah, 2003).

Oleh karena itu, tidak heran pada tahun 2004 silam menjelang pemilihan presiden ribuan massa HTI Sulawesi Selatan (Sulsel) melakukan unjuk rasa. Salah satu pernyataan sikapnya yakni menolak kepala negara perempuan. Hal yang sama juga pernah mereka lakukan pada masa kepemimpinan Megawati.

Dengan istilah lain, menurut HTI Islam telah mengharamkan jabatan kekuasaan bagi perempuan dan mengkhususkannya bagi laki-laki. Hanya saja pengkhususan ini bukan untuk merendahkan atau menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua, karena Islam memandang bahwa peran penguasa dan rakyat dalam politik sama pentingnya. Penguasa adalah pelaksana politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah, sedangkan rakyat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik berdasarkan hukum-hukum Allah (Sa’idah & Khotimah, 2003).

Dalam konteks ini jabatan kepala negara merupakan sebuah tanggung jawab yang besar, karena menyangkut terlaksananya pengaturan kehidupan umat sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya sehingga Islam memberikan aturan yang rinci tentang masalah ini. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (pendiri HT), dalam kitabnya Nizam al-Hukmi fi al-Islam, sebagaimana dikutip Najmah Sa’idah, menegaskan syarat-syarat utama seorang kepala negara, yaitu:

  1. Muslim, berdasarkan firman Allah dalam surah al-Nisa’ (4): 141.
  2. Laki-laki, berdasarkan hadis Nabi “lan yufliha qaumun walluu amrahum imra’atan“.
  3. Balig.
  4. Berakal sehat.
  5. Adil, artinya konsisten dalam menjalankan agamanya, berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an surah al-Thalaq (65): 2.
  6. Merdeka, karena seorang budak tidak memiliki wewenang untuk mengatur dirinya apalagi mengatur orang lain.
  7. Mampu melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu mampu memelihara urusan umat.

Berdasarkan syarat-syarat yang dikemukakan oleh pendiri HT tersebut, menurut HTI syarat laki-laki sebagai kepala negara dan pejabat penguasa di bawahnya adalah syarat mutlak bagi pemerintahan Islam. Hal ini telah menjadi sunnah Rasulullah dan dipegang teguh oleh kaum Muslim dari masa ke masa. Para ulama mujtahid empat mazhab bahkan telah bersepakat, bahwa mengangkat seorang perempuan menjabat kepala negara adalah haram.

Ragam pemikiran HTI tentang perempuan di atas dipengaruhi oleh cara pandang tekstualis atau literal yang digunakan oleh HTI. Hasil pemikiran tekstualis ini tentu akan menghadirkan pemahaman yang sempit tentang perempuan karena kebanyakan pemikir Islam kontemporer mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran yang dangkal dan sempit tentang Islam biasanya lahir dari cara pandang atau penafsiran yang tekstualis.

Oleh karena itu, untuk memperluas cara pandang HTI dan menyingkirkan belenggu di tubuh HTI terhadap perempuannya, penulis sebagai outsider menganggap perlu melakukan kritik terhadap pemikiran HTI agar terwujud ruang-ruang keadilan bagi perempuan HTI. Ironisnya, perempuan HTI sendiri banyak yang tidak tersadar bahwa mereka sejatinya terpasung propaganda khilafah. Mereka ditindas doktrin-doktrin khilafah tetapi malah membela penindasnya. Benar-benar ironi.

Prof. Dr. TGH Masnun Tahir, M.Ag
Prof. Dr. TGH Masnun Tahir, M.Ag
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru