33 C
Jakarta

Ibadah Haji dan Transformasi Sosial Menuju Anti-Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifIbadah Haji dan Transformasi Sosial Menuju Anti-Ekstremisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Memasuki Zulkaidah dalam kalender Hijriah, umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia sudah mulai berangkat untuk menunaikan rukun Islam yang kelima yakni ibadah haji ke tanah suci. Di antara rukun Islam yang lain, haji memang menjadi ibadah yang spesifik. Ibadah haji hanya bisa dilakukan di Arab Saudi yang jaraknya ribuan kilometer. Tentu setiap Muslim akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Pemerintah telah membuat regulasi bagaimana memberikan pelayanan yang optimal bagi para tamu Allah itu. Kemudian, haji juga merupakan rangkaian ibadah fisik yang menuntut kesehatan dan daya tahan tubuh yang prima. Kondisi ini terasa kontras sekali ketika umat Islam, terutama di Indonesia yang harus menunggu sekian lama, bahkan rela menjadi daftar tunggu dalam hitungan tahun hingga usia menua.

Menghapus dosa itu selain dengan bertaubat juga dapat dilakukan dengan memperbanyak kebaikan atau pahala. Terkait hal ini, menurut para ulama setidaknya ada dua ibadah yang disebutkan menjadi kafarat (penghapus dosa) yang ketika sempurna dijalankan, tak ubahnya seseorang itu kembali suci dan bersih seperti bayi yang baru dilahirkan, yaitu puasa dan haji.

Namun, yang paling erat kaitannya dengan wujud kesalehan sosial, hanyalah haji mabrur. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis : “Dari Jabir berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Haji mabrur itu tak ada pahala baginya kecuali surga. Lalu para sahabat bertanya: Wahai Nabi Allah, apa itu haji mabrur? Lalu Nabi menjawab: ‘berikanlah makanan/sedekahlah dan tebarkanlah kedamaian” (HR Bukhari, Ahmad, Hakim, Baihaqi).

Sejatinya sebagai rukun Islam kelima dan puncak ibadah, haji bisa membentuk seorang Muslim paripurna dalam beragama. Tentu saja tidak hanya terkait aspek ritual personal, tetapi juga kebaikan sosial. Karena secara prinsip, setiap ibadah dalam Islam memiliki nilai horizontal atau habl min al-nas yang berkontribusi sosial, di samping nilai vertikal atau habl min Allah.

Dalam konteks berhaji, mestinya pelaku tidak hanya terfokus pada ritual manasik, tetapi juga nilai simbolik dan tujuan hakiki yang ingin diraih. Serentetan manasik penuh simbol bermakna sosial kemanusiaan berlangsung sepanjang ibadah haji. Misalnya saja prosesi ihram sebagai awal haji, dilakukan dengan menanggalkan pakaian biasa dan memakai pakaian khusus putih-putih tak berjahit yang sama bagi semua jemaah tanpa kecuali.

Simbol diakhirinya segala perbedaan kelas, latar primordial, dan status sosial ini mestinya mengejawantah pasca-haji, bukan justru mengonstruksi kembali setiba di tanah air dengan berbagai atribut dan gelar haji. Begitu juga predikat mabrur sebagai tujuan ideal haji, sangat terkait erat dengan kepedulian sosial. Mabrur dalam haji ibarat predikati summa cumlaude yang diraih dalam studi, yakni pencapaian tertinggi dan prestisius.

Hakikat mabrur seperti ditegaskan Nabi Muhammad Saw. dalam hadis riwayat Ahmad, adalah “ith‘amut tha‘am” dan “ifsya’us salam”, yakni memberi makan orang lapar dan menebarkan kedamaian. Kedua amal ini menyangkut kepekaan terhadap problem sosial. Artinya, karakteristik individu yang telah mencapai predikat mabrur ditandai oleh kepedulian yang tinggi pada sesama. “Memberi makan” bisa dimaknai lebih luas sebagai kebutuhan primer fisik, sedangkan “menebarkan kedamaian” berkonotasi non fisik (Faisal Zaini Dahlan, 2023).

Status sosial haji dalam masyarakat memiliki peran penting. Dengan adanya status sosial haji maka masyarakat yang telah menunaikan ibadah haji memiliki peran yang harus dijalankan, yaitu harus menjadi panutan yang baik dalam masyarakatnya. Status haji mengakibatkan naiknya golongan stratifikasi sosial masyarakat yang telah menunaikan ibadah haji, serta berpengaruh dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret lalu mencatat angka kemiskinan nasional masih 9,36 persen. Padahal, target angka kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 6,5-7,5 persen. Angka-angka ini mestinya menjadi concern para jemaah haji tentang beratnya tugas kemanusiaan di pundak mereka.

Dari perspektif fikih prioritas, pengentasan kemiskinan yang masih merajalela lebih utama dari sekadar haji berulang-ulang. Seharusnya mereka yang melaksanakan haji lebih dari sekali, pernahkah kita terpikir, di saat ratusan ribu umat Muslim di negeri ini melaksanakan ibadah haji, di sisi yang lain berbagai macam ketimpangan sosial, kebodohan dan kemiskinan masih juga menjadi masalah terbesar di negeri ini. Alangkah zalimmnya perbuatan tersebut.

Di tengah kondisi perekonomian yang tidak stabil, masih begitu banyak umat Muslim yang tertutup pintu hatinya, semata hanya mengejar derajat kesalehan individualnya semata dengan berangkat berhaji. Namun alangkah ideal dan bijaknya mereka yang menunda ritual haji mereka, kemudian menyumbangkan uang dan bekal untuk berhaji mereka guna kemaslahatan orang banyak dalam mengatasi problema sosial dan berbagai ketimpangan yang terjadi di republik ini

Mentransformasikan Kesalehan Sosial

Terdapat sebuah kisah tentang makna sosial haji yang terkenal dalam tradisi sufi. Alkisah, ketika sedang menjalankan ibadah haji, ada seseorang yang tertidur ketika sedang melakukan wukuf di tengah panasnya padang Arafah. Dalam tidurnya seseorang itu kemudian bermimpi berjumpa dengan Rasulullah Saw.

Menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan kekasih Allah Swt. yang tidak tiap orang dapat menjumpainya, ia kemudian memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah. “Wahai kekasih Allah Swt., siapakah di antara kami semua yang sedang melaksanakan haji ini, diterima ibadahnya dan menjadi haji yang mabrur oleh Allah Swt.?” Rasulullah kemudian dengan nada berat menjawab “Tak seorang pun dari kalian yang diterima hajinya, kecuali seorang tukang cukur tetanggamu”.

Mendengar jawaban dari Baginda Rasululah Saw., orang tersebut termenung, betapa tidak, ia sadar bahwa tukang cukur yang dimaksud adalah tetangganya yang miskin dan tidak pergi berhaji saat ini. Tidak lama kemudian ia terbangun, dan dengan perasaan gundah gulana, ia merenung mencari makna di balik mimpi yang dialaminya itu. Sekembali dari Makkah, segera ia menemui tukang cukur yang dimaksud Rasulullah Saw. dalam mimpinya itu. Ia menceritakan segala pengalaman selama berhaji dan pengalaman spiritual lewat mimpi yang dialaminya.

BACA JUGA  Meneguhkan Jihad Algoritmatik Berbasis Moderasi Beragama di Tengah Gaung “All Eyes On Rafah”

Lantas ia akhirnya bertanya pada tukang cukur itu, “Amalan dan ibadah apakah yang telah anda lakukan, sehingga Baginda Rasulullah Saw. mengatakan bahwa anda telah menjadi haji yang mabrur?” Mendapati cerita dan pertanyaan dari tetangganya itu, si tukang cukur kemudian terharu dan sujud syukur, kemudian dia menjelaskan bahwa sebenarnya ia telah lama mengidamkan untuk menunaikan ibadah haji.

Bertahun-tahun ia menabung guna mewujudkan cita-citanya itu, dan pada saat tabungannya telah cukup untuk berangkat haji, bersiap-siaplah ia untuk berangkat melaksanakan haji. Tapi kemudian, belum lagi ia berangkat, ia mendapat kabar bahwa salah seorang tetangganya tertimpa musibah: seorang anak yatim sedang sangat membutuhkan pertolongan guna pengobatan atas sakit parah yang dialaminya. Mendapati kenyataan tersebut, ia kemudian mengurungkan niatnya untuk haji, dan menyumbangkan seluruh tabungannya guna menyelamatkan anak yatim tetangganya (Chepry Hutabarat, 2016).

Beranjak dari kisah di atas, ibadah haji bukannya suatu ritual keagamaan yang bersifat individual dan vertikal. Seseorang yang telah melakukan ibadah haji harus mampu mentransformasi dirinya dalam merealisasikan pesan sosial haji itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Sosok ibadah haji itu meskipun termasuk ibadah ritual, sakral, dan berkaitan dengan aspek spiritual, namun esensi nilai sosial yang terkandung di dalamnya tidak boleh kita abaikan.

Makna yang dapat mentransformasi tidak hanya diri orang yang berhaji, tetapi juga masyarakat dan bahkan negara. Dengan kata lain, jika haji mampu dimaknai dengan baik, lalu diaplikasikan secara nyata, ia dapat merevolusi mental manusia hingga dalam tataran praksis: melahirkan transformasi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Lantas sudahkah kita melakukannya?

Menjadi Agen Kontra-Ekstremisme dan Kontra-Terorisme

Dalam ibadah haji, umat Muslim dari berbagai latar belakang etnis, budaya, dan sosial berkumpul dalam satu tempat dengan tujuan yang sama. Mereka mengenakan pakaian ihram yang sederhana, menghilangkan perbedaan status sosial dan menunjukkan persatuan umat manusia di hadapan Allah. Ini adalah momen yang menggugah kesadaran akan kesetaraan dan kebersamaan, yang melampaui perbedaan yang sering menjadi sumber konflik dan ketegangan di dunia.

Pengalaman berada di antara lautan manusia yang datang dengan niat tulus untuk beribadah dan mencari kedamaian memberikan perspektif baru tentang pentingnya harmoni dan kebersamaan. Bagi banyak jemaah, ini adalah kesempatan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang lebih luas, memahami keragaman dan keindahan umat Islam sebagai satu komunitas global.

Setelah menunaikan ibadah haji, banyak orang merasakan transformasi spiritual yang mendalam. Mereka kembali dengan semangat baru untuk hidup lebih baik dan lebih damai. Hal ini bisa menjadi landasan kuat untuk melawan paham radikal dan ekstremis. Ada beberapa cara haji dapat menjadi katalisator transformasi menuju anti-ekstremisme.

  • Pembersihan Jiwa dan Niat

Rukun haji, seperti tawaf dan sa’i, mengajarkan pentingnya niat yang murni dan pembersihan diri dari dosa. Ini dapat mempengaruhi jemaah untuk lebih introspektif dan menyadari dampak negatif dari ekstremisme dan kekerasan.

  • Pembelajaran Toleransi dan Kesabaran

Menghadapi tantangan fisik dan spiritual selama haji mengajarkan kesabaran dan toleransi. Ini adalah nilai-nilai kunci yang dapat membantu seseorang menolak ideologi yang mempromosikan kekerasan dan intoleransi.

  • Kesadaran akan Kebersamaan Umat

Melihat jutaan Muslim dari seluruh dunia beribadah bersama dapat memperkuat kesadaran akan kesatuan umat Islam dan pentingnya menjaga perdamaian. Hal ini mendorong jemaah untuk menjadi agen perdamaian dan menolak upaya memecah-belah umat.

  • Membangun Masyarakat yang Damai

Setelah kembali dari haji, jemaah sering membawa perubahan dalam cara mereka berinteraksi dengan masyarakat. Mereka menjadi lebih sadar akan pentingnya menjaga keharmonisan dan menolak segala bentuk kekerasan. Hal ini dapat memengaruhi komunitas mereka secara lebih luas

  • Menjadi Teladan Anti-Radikalisme

Jemaah yang telah mengalami transformasi spiritual selama haji dapat menjadi teladan dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi dan anti-radikalisme di komunitas mereka. Mereka dapat menggunakan pengalaman mereka untuk mendidik orang lain tentang bahaya ekstremisme.

  • Mendorong Dialog

Setelah melihat dan merasakan kebersamaan umat dari seluruh dunia, jemaah haji dapat menjadi pendorong dialog antarumat dan antarbudaya di masyarakat mereka. Ini adalah langkah penting dalam mengurangi ketegangan dan mempromosikan perdamaian.

  • Menguatkan Komunitas Kontra-Terorisme

Kesadaran akan kebersamaan dan persatuan yang didapatkan dari haji dapat memperkuat komunitas dalam menghadapi ancaman terorisme. Mereka dapat bekerja bersama untuk mencegah radikalisasi dan melindungi masyarakat dari pengaruh ideologi ekstremis.

  • Haji sebagai Pilar Kontra-Terorisme

Dalam konteks global saat ini, di mana radikalisme dan terorisme terus menjadi ancaman, penting untuk melihat bagaimana praktik-praktik spiritual seperti haji dapat menjadi bagian dari solusi. Pemerintah dan organisasi keagamaan dapat mendorong jemaah haji untuk menjadi agen perubahan yang aktif dalam memerangi ekstremisme dan kekerasan.

Intinya, ibadah haji adalah perjalanan yang penuh makna dan transformasi. Lebih dari sekadar ritual keagamaan, haji memiliki potensi besar untuk menjadi katalisator perubahan sosial yang mendukung upaya melawan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Dalam dunia yang sering kali diwarnai oleh perpecahan dan kekerasan, nilai-nilai kesetaraan, kebersamaan, dan toleransi yang diperoleh dari haji adalah fondasi yang kuat untuk membangun masa depan peradaban yang inklusif dan harmonis.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Langkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Langkawi
Dosen UNISAI Samalanga, Kandidat Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Alumni Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, dan Ketua Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru