27.8 C
Jakarta
Array

Hukum Seorang Wanita yang Makmum Kepada Seorang Laki-laki yang Bukan Muhrim

Artikel Trending

Hukum Seorang Wanita yang Makmum Kepada Seorang Laki-laki yang Bukan Muhrim
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hukum seorang wanita yang makmum kepada seorang laki-laki yang bukan muhrim, di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mereka yang mengaggap hadis tentang Seorang Wanita yang Makmum Kepada Seorang  Lelaki yang Bukan Muhrim itu sahih, tentu (seharusnya) berpendapat bolehnya seorang wanita makmum kepada seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Sementara sebagian ulama yang lain yang menyatakan hadis tersebut daif berpendapat tidak membolehkannya.

Mereka yang tidak membolehkan antara lain seperti al-Sarakhsi dari mazhab Hanafi dan al-Nawawi dari mazhab Syafi’i. Selain itu mereka juga berargumen dengan keumuman hadis Nabi tentang larangan berkhalwat (menyepi) antara laki-laki dan wanita. Hadis tersebut berbunyi:

“….. janganlah seorang laki berduaan bersama seorang wanita yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yang ketiga adalah syetan, kecuali bila bersama mahramnya ….” (HR. Ahmad. Sanadnya memenuhi syarat Bukhari dan Muslim).

Pendapat ini juga yang dipegangi oleh Abu Malik ibn Kamal, seorang ulama fikih pengarang kitab Sahih Fiqh al-Sunnah. Namun menurutnya bila wanita yang makmum itu istri atau muhrimnya, maka itu dibolehkan (dengan posisi wanita berada di belakang imam). Selain itu, menurutnya, bila wanita yang bukan muhrim itu lebih dari satu hukumnya juga boleh karena itu tidak dinamakan ber-khalwat (menyepi) dan tidak ada dalil-dalil yang melarang. Akan tetapi kebolehan tersebut menurut Abu Malik, jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah maka itu juga dilarang (Malik s.a:510).

Pendapat kelompok yang melarang ini menurut hemat penulis lebih didasarkan kepada fitnah yang akan terjadi dengan “berkumpulnya” atau berdua-duannya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan muhrim. Meskipun penulis menilai hadis di atas daif, tapi dengan mempertimbangkan kondisi dan juga pendapat para ulama yang memberi catatan bahwa ketidakbolehannya adalah karena berkhalwat, maka penulis berkesimpulan bahwa hukum seorang wanita yang bermakmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrimnya) adalah boleh dengan syarat memang benar-benar aman dari fitnah.

Salah satu indikasi amannya dari fitnah berdua-duaan adalah dengan adanya orang lain yang ada di tempat itu, meskipun orang lain tersebut hanya satu dan tidak ikut salat. Misalnya ketika seorang wanita bermakmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrim) di tempat yang ramai atau umum (tidak tidak halal baginya. Karena menyepi).  Di samping itu adanya qarinah- qarinah pendukung, baik dari al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan perintah dan keutamaan salat berjamaah semakin mempertegas kebolehan makmumnya seorang wanita kepada seorang lelaki yang bukan muhrim – meski bukan muhrim. Dalil-dalil yang menjadi qarinah itu antara lain:

a. Q.S. Al-Baqarah: 43

Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.”

b. Q.S. An-Nisa: 102

Artinya : “Dan apabila kamu berada di tengahtengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu.”

c. Hadis tentang Rasul berkeinginan membakar rumah orang yang tidak mau berjamaah

Artinya : Dari Abu hurairah, (ia) dari Nabi Saw: “Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seorang untuk mengimami manusia. Kemudian pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, lalu aku bakar rumahrumah mereka dengan api.” (HR. Bukhari)

d. Hadis tentang keutamaan salat berjamaah daripada salat sendirian Artinya : Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “salat berjamaah lebih utama daripada salat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat” (HR. Bukhari)

Dalil-dalil di atas yang menjelaskan tentang perintah serta keutamaan salat berjamaah memberikan penegasan tentang bolehnya seorang wanita kepada seorang lelaki, meski bukan muhrim. Teori usul fikih yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan hukum ini adalah teori istiqra’ ma’nawi. Istiqra’ Ma’nawi adalah suatu metode penetapan hukum yang bukan hanya dilakukan dengan satu dalil tertentu, tetapi dengan sejumlah dalil yang dihubungkan antara satu sama lain yang mangandung aspek dan tujuan berbeda, sehingga terbentuklah suatu perkara hukum berdasarkan gabungan dalil-dalil tersebut (Ibrahim, 2008:161–162). Dengan tidak hanya terpaku pada hadis daif yang menceritakan bahwa Nabi pernah  mengimami seorang wanita cantik seperti dikemukakan di atas, tapi menimbang dan menghubungkan dengan dalil yang lain, maka kesimpulan hokum tentang seorang wanita yang makmum kepada seorang lelaki yang bukan muhrim adalah boleh. terkait seorang wanita yang makmum kepada seorang lelaki adalah boleh.

(Niki Alma Febriana)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru