29.7 C
Jakarta

Hukum Berqurban, Wajibkah?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamHukum Berqurban, Wajibkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hukum Berqurban, Wajibkah?

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, M.Pd*

Mengupas masalah qurban tidak terlepas juga membicarakan hukumnya dalam persprestik syariat Islam. Telah terjadi perbedaan pendapat ulama tentang hukum berqurban. Sebagian ulama menyebutkan bahwa menyembelih hewan qurban hukumnya wajib bagi tiap muslim yang muqim untuk setiap tahun berulang kewajibannya. (Mughni Al-Muhtaj, 4: 282, Bidayatul Mujtahid 1: 415, Al-Qawanin Al-Firhiyah hal. 186, Al-Muhadzdzab 1: 237).

Pendapat ini dipelopori oleh mazhab Abu Hanifah. Selain itu juga ada Rabi’ah, Al-Laits bin Saad, Al-Auza’I, At-Tsauri dan salah satu pendapat dari mazhab Maliki. Dasar pijakannya firman Allah SWT: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. (QS. Al-Kautsar: 2). Ayat tersebut ada kata amar (perintah) untuk berkurban, dalam ilmu ushul fiqh mutlak amar itu diperuntukan wajib. Makanya menurut mazhab ini wajib hukumnya berqurban. (Al-Lubab Syarhul Kitab: 3: 232 dan Al-Bada’i: 5: 62 ).

Sedangkan Jumhur ulama (Mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i) berpendapat sunat muakkad berqurban seperti yang diutarakan oleh Syekh An-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ 8/385) tentang perbedaan pendapat mengenai hukum Qurban.

Pendapat ini yang dikemukakan oleh mayoritas ulama mazhab serta didukung oleh Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar. Hal ini berdasarkan hadist: “Apabila telah memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan kuku-kukunya.”. (HR. Muslim dan lainnya).

Ketegasan kesunahan berkurban disebutkan bahwa ibadah qurban itu wajib terhadap Rasulullah SAW sedangkan untuk umat beliau hukumya sunat, pernyataan ini diutarakan dalam hadist: “Ada tiga hal yang wajib bagi saya dan sunah bagi kalian; Qurban, witir, dan 2 rakaat shalat Dhuha”. (HR Ahmad dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas).

Pendapat ini didukung pula oleh perkataan Imam Syafi’i radhiallhu ‘anhu sendiri yang dinukilkan dalam kitab Mukhtashar al-Muzani, beliau berkata: “Telah sampai kepada kami bahwa Abu Bakar dan Umar (pernah) tidak menyembelih Qurban karena khawatir akan dianggap wajib”. (Mukhtashar al-Muzani 8/283).

Dalam mazhab Syafi’I, kesunnahan dalam berkurban adalah sunnat kifayah seandainya dalam keluarga tersebut satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah thalab (tuntutan) yang lain, bukan hasil pahala. Namun jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnat ‘ain. Sunat berkurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.(Imam Ramli, Nihayah Muhtaj: 8:131).

BACA JUGA  Lupa Jumlah Hutang yang Harus Dibayar, Ini Solusinya dalam Islam

Syekh Ibnu hajar begitu juga denga Syekh khatib syarbini mengungkapkan dengan maksud yang sama dalam kitabnya: “Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu”. (Muhammad al-Khathib Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi -Syuja’: 2: 588, Ibnu Hajar Tuhfah al-Muhtaj: 9: 400)

Sunat ‘ain maksudnya ibadah ini bukan wajib hukumnya, tetapi sunt, namun berlaku untuk orang per orang bukan untuk sunat untuk bersama-sama. Minimal setiap orang muslim disunatkan untuk menyembelih qurban sekali seumur hidupnya. Perbandingannya seperti ibadah haji, dimana minimal sekali seumur hidup wajib mengerjakan haji. Sedangkan pemahaman tentang sunat kifayah adalah disunnahkan bagi sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak, setidaknya dalam satu rumah, untuk menyembelih seekor hewan udhiyah, berupa kambing.

Hal ini berdasarkan hadits : “Kami wuquf bersama Rasulullah SAW, Aku mendengar beliau bersabda,”Wahai manusia, hendaklah atas tiap-tiap keluarga menyembelih udhiyah tiap tahun. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmizy).

Beranjak dari itu, terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, kita hendaknya berusaha untuk dapat meraih pahala di balik ibadah qurban, jangan sampai kenderaan di dunia baik sepeda motor, mobil dengan beragam jenis kita berlomba meraihnya, namun “jihad” kita meraih kenderaan akhirat via ibadah qurban kita abaikan dan menyepelekannya. Mari berqurban.

*Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, M.Pd. Pengajar di MUDI Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga

 

 

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, M.Pd.
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi, M.Pd.
Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru