34 C
Jakarta

HTI: Dari Jualan Ideologi Bobrok Hingga Jualan Sejarah Palsu

Artikel Trending

Milenial IslamHTI: Dari Jualan Ideologi Bobrok Hingga Jualan Sejarah Palsu
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seorang ustaz, yang juga berprofesi dokter, di Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak pernah mengira bahwa dirinya akan disuruh ngaji seminggu 2×2 jam, ketika berdebat dengan salah seorang anggota HTI, di Facebook. Jelas dirinya merasa heran, lalu membuat satire, dirinya memang jarang mengikuti kajian daring. Lebih-lebih, pematerinya tidak memiliki kapabilitas yang mumpuni. Pertanyaannya adalah, seberapa besar, atau sebegitu efektifkah, indoktrinasi para tokoh pejuang khilafah itu di media sosial?

Kenyataan indoktrinasi ideologi menyimpang, dalam hal ini khilafahisme, sudah diulas jauh di bagian-bagian sebelumnya. Tetapi, alaih-alih menunjukkan kesadaran masyarakat, justru hari ini, terutama setelah dibuatnya film Jejak Khilafah di Nusantara, masyarakat semakin gila khilafah. Sepertinya sudah tidak lagi ada harapan untuk menyelamatkan mereka, namun bagaimanapun pencegahan harus juga masif dilakukan. Sebab, jika mereka menang, maka anak keturunan mereka juga ikut-ikutan.

Karena itu, setidaknya kita tidak pernah menyerah untuk memperjuangkan, bahwa NKRI dengan sejarahnya tidak lagi perlu diutak-atik. Ideologi-ideologi yang membahayakan eksistensinya, atau memprovokasi masyarakat dengan sejarah yang manipulatif, merupakan musuh yang paten. Para aktivis khilafah seperti Felix Siauw dan Ismail Yusanto akan mati, tetapi kader-kader mereka hari ini menentukan masa depan keberislaman kita. Bukankah itu sesuatu yang riskan?

Saya, pada bagian selanjutnya, barangkali akan menelisik film Jejak Khilafah di Nusantara, lalu menyanggah setiap poin kesejarahan yang mengada-ada. Azyumardi Azra sudah melakukan itu, dengan mengatakan bahwa sejarah palsu yang dijual para aktivis HTI merupakan dosa besar mereka kepada NKRI dan, terutama, kepada seluruh umat Islam di Indonesia. Peter Carey, yang lebih dulu menanggapi hoax sejarah ala HTI, adalah pemantik, dan perlawanan kita kepada mereka, tidak boleh surut.

Jualan ideologi bobrok, karena berasal dari kekecewaan an-Nabhani yang kemudian diatasnamakan kebangkitan Islam, atau jualan sejarah palsu seperti melalui film Jejak Khilafah di Nusantara, memberikan kita bukti bahwa dakwah HTI tidak memiliki standar validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka bermain di emosi umat Islam, seolah ada pihak tertentu yang ingin Islam tidak maju. Itu cukup untuk menjustifikasi kemasifan mereka dalam hal menipu seluruh umat.

HTI Semakin Masif Tipu Umat

Gus Nadirsyah Hosen, penulis buku “Islam, Yes! Khilafah, No!” menyitir, di akun Twitter miliknya, “Sewaktu Gus Nadirsyah Hosen menulis buku sejarah khilafah dua jilid, ‘Islam, Yes! Khilafah, No!’, dg rujukan kitab2 tarikh mu’tabar, kami masih ingat tokoh HTI mengatakan sejarah bukan sumber hukum. Sekarang HTI sibuk melacak sejarah jejak khilafah di Nusantara. Kenapa yah?

Inkonsistensi yang para aktivis HTI pertontonkan merupakan fakta memalukan yang, menjadi sangat mengherankan, ketika para pengikutnya tidak juga menyadari kebobrokan mereka. Pada satu kesempatan, ketika latar kesejarahan mereka di-crosscheck, sehingga kebobrokan ideologisnya terbongkar, mereka mengatakan bahwa sejarah bukan sumber hukum, dan mereka mengklaim diri memperjuangkan kebangkitan Islam.

Tetapi, di lain kesempatan, ketika ideologi mereka sudah dipahami publik sebagai ideologi yang riskan bagi NKRI, mereka ramai-ramai memalsukan sejarah Nusantara, rela bayar mahal membuat film dokumenter palsu yang, meminjam istilah Peter Carey, penuh khayalan belaka. Ironisnya, tidak peduli seberapa bobrok diri mereka, para aktivis HTI juga mempertontonkan militansi tinggi serta kebulatan tekad untuk memorak-perandakan tatanan negara, demi agenda politik mereka sendiri.

BACA JUGA  Agresi Wahabi dalam Kamuflase Salafi, Awas Jangan Tertipu!

Sudah ramai literatur mengulas bahwa ideologi HTI, seberapa gencar pun mereka mengatasnamakan Islam, merupakan ideologi bobrok yang berasal dari kegagalpahaman mereka tentang khilafah itu sendiri. Disangkanya Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani itu menerapkan sistem pemerintahan ala Nabi, padahal sama sekali tidak. Mereka monarki absolut, sementara Nabi dan khulafaurrasyidin tidak mengajarkan tatacara mewariskan kekuasaan kepada anak-anaknya.

Yang paling perlu digarisbawahi di dalam bobroknya ideologi khilafah ala HTI mereka ialah intensitas mereka, kemasifan dakwah indoktrinasinya. Muncullah kemudian, apa yang dialamai ustaz dokter di Yogyakarta, yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Bagaimana pun, konsep dasarnya adalah, “kebobrokan dan kebodohan yang masif dan terstruktur akan jauh mengalahkan kebenaran dan kecerdasan yang tidak terorganisir”. Organisasi HTI sangat terstruktur, itulah kuncinya. Kendati, kebenarannya, semua dakwah mereka, adalah akal-akalan Felix dan Ismail semata. Ironi.

Akal-akalan Ismail Yusanto dan Felix Siauw

Mungkin, bagian ini hanya akan saya bahas sekilas, karena hubungannya dengan film Jejak Khilafah di Nusantara garapan HTI akan diulas pada lain tulisan. Yang terang, kuratornya adalah dua ustaz, Felix Siauw dan Ismail Yusanto. Yang terakhir ini merupakan juru bicara HTI, bukan mantan jubir, karena faktanya dakwah mereka tidak pernah berhenti. Mereka hanya dicabut badan hukumnya, dan kelembekan pemerintah untuk menindak mereka dijadikan kesempatan indoktrinasi beralasan kebebasan berekspresi.

Dalam suatu diskusi bersama Felix Siauw, Ismail Yusanto mengatakan bahwa ada dua kejahatan dalam sejarah Indonesia: penguburan sejarah dan pengaburan sejarah. Ismail mengkritik asal usul Hari Pendidikan Nasional, Hari Kebangkitan nasional, Hari Pahlawan, dan Hari Santri Nasional. Bagi Ismail, yang kemudian diafirmasi Felix, bagaimana mungkin Hari Jihad malah dikaburkan menjadi Hari Santri?

Ungkapan tersebut merupakan fobia mereka berdua, bahkan barangkali semua dedengkot HTI, terhadap pesantren dan terhadap santri. Tanggal 22 Oktober yang hari ini diperingati sebagai Hari Santri Nasional itu memang hari jihad, tepatnya Resolusi Jihad, yang pemantiknya ialah Kiai Hasyim Asy’ari. Ketika itu para santri diarahkan untuk membela Negara melawan penjajah, dan perang membela negara dianggap sebuah jihad. Lalu jika demikian, dalam kasus Hari Santri ini, siapa yang sebenarnya mengaburkan sejarah?

Semua, tidak lebih, adalah akal-akalan Felix dan Ismail. Orang-orang HTI itu bisa ditandai, mereka bergerak masif di media sosial bersama orang-orang yang berada di lingkup mereka sendiri. Apa kebanggaan dari seorang Felix yang mengundang Ismail? Bukankah diskusi sefrekuensi, karena keduanya sama-sama dedengkot narasi khilafah, adalah diskusi yang tidak bermutu karena hanya dipenuhi pembenaran-pembenaran yang kentara ideologis? Kenapa kalau memang ingin membuktikan autentisitas ideologi mereka, paparan sejarah mereka, tidak mengundang pemateri ahli dari luar saja?

Itu adalah usulan yang bagus. Tetapi, sampai kapan pun, Felix dan Ismail, juga seluruh jajaran HTI, tidak akan melakukannya. Itu sama saja dengan bunuh diri. Sebab, kalau boleh jujur, mereka juga sadar, bahwa landasan ideologis dan historis mereka tidak jelas, bobrok, palsu. Akal-akalan merekalah yang membuat semuanya seolah-olah sempurna untuk memajukan Islam. Jualan yang buruk untuk cita-cita yang utopis!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru