30.9 C
Jakarta

Hikmah Ramadhan: Ustaz Moderat, Ustaz Penerus Nabi

Artikel Trending

KhazanahOpiniHikmah Ramadhan: Ustaz Moderat, Ustaz Penerus Nabi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ustaz atau Ulama adalah rujukan bagi umat Islam sebagai tempat belajar dan bertanya tentang kehidupan di dunia, khususnya persoalan agama. Ustaz juga dinilai sebagai orang yang mumpuni untuk menjawab persoalan-persoalan menyangkut agama. Karena ustaz atau ulama merupakan ahli waris para nabi. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

 “Ulama adalah ahli waris para nabi.” (H.R. At-Tirmidzi)

Sosok ustaz sangat tepat untuk menjadi tumpuan menyampaikan pertanyaan seputar agama. Ia sebagai perantara antara Allah sang Pencipta (al-khalik) dengan yang dicipta, yakni manusia (al-makhluk). Sehingga dengan demikian, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya. Begitulah keberadaan ustaz yang paham, mengerti, serta mengamalkan ilmu-ilmu syariat Islam merupakan sumber rahmat dan barakah dari Allah SWT.

Lalu, model ustaz seperti apa yang sesuai dengan Al-Qur’an?  Dan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW? Jika merujuk pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pertengahan.”

Jika kita fahami bersama, ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam seluruhnya harus memiliki karakter adil (wasath/tengah-tengah). Maka sudah semestinya model Islam yang adil, tengah-tengah, moderat, wasath-lah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.  Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, ustaz moderat dan tenga-tengah itu seperti apa? Apa tanda-tanda dan ciri-cirinya? Ada enam poin penting untuk mengetahui tanda atau ciri-ciri ustaz itu moderat atau tidak.

Pertama, ustaz harus faham realitas (al-waqi’iyah). Karena Islam itu relevan untuk setiap zaman dan waktu (shalihun li kulli zamanin wa makan). Disebutkan juga bahwa ajaran Islam itu ada yang tetap (tidak bisa dirubah) seperti shalat lima waktu, dan ada juga yang bisa dirubah karena waktu dan tempat, seperti zakat fitrah dengan beras, gandum, atau sagu tergantung yang menjadi makanan pokok pada masyarakat itu.

Ustaz yang bersikap moderat (wasath) adalah mereka yang mampu membaca dan memahami realitas yang ada. Tidak gegabah atau ceroboh dalam bertindak, terlebih dalam menentukan sebuah hukum. Harus mempertimbangkan segala sesuatu, termasuk kebaikan dan dampak keburukannya.

Terkait hal ini, kita bisa belajar banyak dari kisah Nabi Muhammad SAW.  Beliau adalah orang sangat pandai dalam membaca realitas. Salah satu contohnya adalah Nabi tidak menghancurkan patung-patung yang ada di sekitar Ka’bah selama beliau berdakwah di sana. Beliau sadar tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya pada waktu itu.  Namun pada saat Fathu Makkah, semua patung dan kemusyrikan di kota Makkah dihancurkan semua.

Kedua, ustaz harus memahami fikih prioritas (al-fikhu al-awlawiyah). Ustaz yang bersikap moderat sudah semestinya mampu memahami mana-mana saja ajaran Islam yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Mana yang fardlu ‘ain (kewajiban individual) dan mana yang fardlu kifayah (kewajiban komunal). Di samping juga memahami mana yang dasar atau pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu).

Ketiga, ustaz harus memberikan kemudahan (al-taysir) kepada orang lain dalam beragama. Ada istilah bahwa agama itu mudah, tapi jangan dipermudah. Pada saat mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman untuk berdakwah, Nabi Muhammad SAW berpesan agar keduanya memberikan kemudahan dan tidak mempersulit masyarakat setempat.

BACA JUGA  Film Horor Berlatar Agama, Seberapa Berbahaya?

Cerita lainnya adalah, pada suatu ketika ada sahabat nabi yang berhubungan badan dengan istrinya pada siang bulan Ramadhan. Lalu sahabat tersebut mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk meminta solusi. Nabi menyebutkan kalau hukuman dari perbuatan sahabatnya itu adalah memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.

Ternyata sahabat tadi mengaku tidak mampu untuk menjalankan itu semua, karena dia memang miskin dan payah. Seketika sahabat tadi membawa sekeranjang kurma untuk nabi. Kemudian Nabi menyuruh sahabatnya itu untuk menyedekahkan kurma kepada orang yang paling miskin. Sahabat tadi menjawab kalau dirinya lah orang yang paling miskin. Lalu Nabi Muhammad SAW memerintahkan sahabat tadi untuk membawa sekeranjang kurma itu dan menyedekahkan kepada keluarganya sebagai kafarat atas perbuatannya jima’nya pada siang bulan Ramadhan.

Keempat, seorang ustaz harus memahami teks keagamaan secara komprehensif. Perlu dipahami bahwa satu teks dengan yang lainnya itu saling terkait (inheren), terutama teks-teks tentang jihad misalnya. Ini yang biasanya dipahami separuh-separuh, tidak utuh, sehingga jihad hanya diartikan perang atau megang senjata saja. Padahal makna jihad sangat beragam sesuai dengan konteksnya.

Kelima, ustaz harus bersikap toleran (tasamuh). Ustaz yang bersikap moderat adalah mereka yang bersikap toleran, menghargai pendapat lain yang berbeda –selama pendapat tersebut tidak sampai pada jalur penyimpangan. Karena sesungguhnya perbedaan itu adalah sesuatu yang niscaya. Intinya sikap toleran adalah sikap yang terbuka dan tidak menafikan yang lainnya, dan tidak menang sendiri.

Keenam, ustaz juga harus memahami sunnatullah dalam penciptaan. Allah menciptakan segala sesuatu melalui proses, meski dalam Al-Qur’an disebutkan kalau Allah mau maka tinggal “kun fayakun.” Namun dalam beberapa hal seperti penciptaan langit dan bumi yang diciptakan dalam waktu enam masa. Pun dalam penciptaan manusia, hewan, dan tumbuhan. Semua ada tahapannya.

Begitu pun dengan Islam, ustaz yang bersikap moderat pasti memahami kalau ajaran-ajaran Islam itu diturunkan dan didakwahkan secara bertahap. Pada awal-awal, Nabi Muhammad berdakwah secara sembunyi-sembunyi, lalu terang-terang-terangan. Itu menjadi bukti bahwa urusan apapun harus membutuhkan proses dan tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, termasuk urusan menuntuk ilmu. Harus butuh waktu yang panjang. Bukan sekarang belajar, lalu besoknya jadi ustaz. Bukan.

Jadi pada dasarnya karakter ustaz yang Islami dan sesuai dengan tuntunan Nabi itu adalah ustaz yang moderat (wasath). Kalau tidak moderat berarti bukan ustaz yang Islami. Jika ada ustaz yang tidak moderat atau radikal, itu berarti sifat atau karakter dasar Islamnya tertutup oleh perilaku dan sikap yang berlebih-lebihan (ghuluw). Karena sebaik-baiknya urusan adalah yang pertengahan (khoriul umuri awsathuha).

Marilah kita ikuti dan taati arahan ustaz yang haq, yaitu ustaz yang bersandar pada Al-Quran dan Sunnah yang sesuai dengan ajaran Nabi. Jika Ia keliru kita nasihati, jika benar kita bela. Karena penghormatan dan pemuliaan Allah kepada kita, adalah bagaimana penghormatan dan pemuliaan kita terhadap ustaz atau ulama. Yaitu ustad atau ulama yang moderat.

Ridwan Bahrudin
Ridwan Bahrudin
Alumni Universitas Al al-Bayt Yordania dan UIN Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru