26.2 C
Jakarta

Hikmah Ramadhan: Jihad Memerangi Hawa Nafsu

Artikel Trending

KhazanahOpiniHikmah Ramadhan: Jihad Memerangi Hawa Nafsu
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kata “Jihad” berasal dari bahasa Arab jâhada yang berarti bersungguh-sungguh. Secara luas, jihad bisa bermakna lahiriyah dan juga batiniyah. Tidak semata identik difahami dengan perang (qital) sebagaimana lazim dipahami. Islam memang memberi ruang umat Islam untuk berperang secara fisik, tapi juga memiliki aturan sangat ketat aktivitas kekerasan itu terjadi. Saudaraku, Rasulullah SAW sendiri memposisikan jihad dalam pengertian fisik sebagai jihad yang kalah tingkat dari jihad mengendalikan hawa nafsu. Buktinya, sepulang dari perang Badar, Nabi pernah mengatakan kepada para sahabatnya:

رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ

“Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab, “jihad (memerangi) hawa nafsu.”

Berkenaan dengan hal ini, dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 190 menjelaskan:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Ayat tersebut mengandung peringatan bahwa seseorang hanya boleh memerangi ketika dalam posisi membela diri, persisnya saat keselamatan diri terancam. Itu pun harus dilakukan tidak dengan cara yang membabi buta. Tidak boleh kebencian kepada kelompok tertentu membuat kita melakukan apa saja seenaknya sendiri. Selain etika, tentu ada batas kewajaran dan norma yang mesti diikuti. Dalam situasi perang, misalnya, Islam melarang membunuh rakyat sipil, perempuan, anak-anak, dan pemuka agama. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi dalam Ahkamul Qur’an:

أَلاَ يُقَاتِل إِلاَّ مَنْ قَتَلَ وَهُمْ الرِجَالُ البَالِغُوْنَ، فَأَمَّا النِّسَاءُ وَاْلوِلْدَانُ وَالرَّهْبَانُ فَلَا يُقْتَلُوْنَ

BACA JUGA  Pilpres, Momentum Berbaik Sangka Sesama Bangsa

“Janganlah membunuh kecuali terhadap orang yang memerangimu. Orang yang boleh dibunuh di masa perperangan adalah laki-laki dewasa. Adapun perempuan, anak-anak, dan pendeta tidak diperkenankan untuk dibunuh.”

Di sinilah letak kedalaman Islam tentang jihad. Karena Jihad tak hanya dimaknai sebagai perjuangan fisik tapi juga perjuangan batin. Ketika ledakan bom memakan banyak korban nyawa tak berdosa, saat hantaman rudal menghasilkan ribuan mayat, di situ kita patut merenung bahwa betapa banyak mudharat yang ditimbulkan tatkala jihad diterjemahkan secara salah dan sepotong-sepotong. Jihad fisik yang berhasrat memenangkan pihak lain tapi secara tidak sadar membuat diri pelakunya kalah dari egonya sendiri.

Sungguh menghadapi nafsu diri sendiri yang tak tampak lebih berat ketimbang menghadapi musuh di depan mata yang terlihat. Jihad ini juga tidak mengandalkan waktu-waktu khusus, melainkan setiap hembusan napas, sepanjang masa. Oleh karena itu, benarlah Rasulullah SAW mengatakan bahwa perang melawan diri sendiri adalah sebagai pertempuran akbar. Karena dalam banyak hal, jihad secara salah itu tak terasa dilakukan karena sering kali ia dibalut oleh kenikmatan, atau bahkan argumentasi keagamaan. Padahal hakikat jihad adalah fî sabîliLlâh, bukan fî sabîlil hawâ.

Ridwan Bahrudin
Ridwan Bahrudin
Alumni Universitas Al al-Bayt Yordania dan UIN Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru