31 C
Jakarta

Hikmah Ramadhan: Islam Merangkul Perbedaan

Artikel Trending

KhazanahOpiniHikmah Ramadhan: Islam Merangkul Perbedaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Selaku warga Indonesia, kita patut bersyukur bisa tetap bersatu dalam bingkai kemerdekaan selama lebih dari tujuh puluh tahun lamanya. Hakikat kemerdekaan ini juga menjadi tantangan besar bagi negara yang mayoritas penduduk muslim ini. Ribuan suku bangsa dengan ratusan kelompok etnik yang tersebar di berbagai wilayah ini masih dihinggapi masalah yang sangat mendasar namun juga krusial.

Misalnya rasialisme. Rasialisme didefinisikan sebagai prasangka berdasarkan keturunan bangsa atau sebuah perlakuan yang tidak adil terhadap suku atau bangsa yang berbeda-beda. Rasialisme bisa juga diartikan sebagai paham yang merasa bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana Al-Quran memandang perbedaan? Dan apakah ‘perasaan’ lebih tinggi ini direstui oleh Syariat? Dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 disebutkan yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Pada dasarnya, ayat tersebut sebenarnya menjadi pondasi teologis-sosiologis bahwa Al-Quran mengakui perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karena seluruh manusia terlahir dari nafs/jiwa yang sama yakni Adam dan Hawa. Penekanan lafaz syu’uban (berbangsa-bangsa) dan qaba-il (bersuku-suku) seakan menyiratkan bahwa perasaan lebih tinggi itu bisa terlahir dari dua hal tersebut. Yaitu merasa bahwa bangsa satu lebih mulia dari bangsa lain atau suku lain merasa lebih terhormat dari suku lainnya. Padahal, beragam perbedaan suku dan bangsa itu, bukan untuk memicu perpecahan, namun agar setiap manusia dapat saling mengenal.

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Mukhtashar menjelaskan bahwa, makna ayat di atas sebagai penegasan sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) yang menjadi penyatu bapak dan ibu. Sehingga tidak ada alasan apapun untuk membanggakan nasab dan garis keturunan. Karena semua orang itu sama.

Makna syu’uban berarti sekumpulan besar manusia yang terdiri dari beberapa kabilah, seperti bangsa Mudhar dan Rabi’ah. Sedangkan qabilah lebih kecil dari itu seperti kabilah Bani Bakar dari bangsa Mudhar, dan Bani Tamim dari bangsa Rabi’ah. Namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa makna syu’uban yakni suku orang-orang selain Arab. Sedangkan qabilah adalah suku orang-orang Arab.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

Uraian ini menggambarkan secara jelas bahwa rasialisme (prasangka terhadap suku lain) atau perasaan lebih tinggi dari bangsa lain sudah ada sejak ayat ini turun. Oleh karena itu, tuntunan Al-Quran dalam QS. al-Hujurat ayat 13 tersebut menjadi landasan bahwa prasangka dan hasad kepada suku bangsa, bahkan lebih merasa terhormat dari bangsa lain itu tidak direstui oleh Al-Quran. Sebab, penghujung ayat di atas menekankan bahwa hanya ketakwaan yang dapat menentukan kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan. Bukan yang lainnya.

Rasialisme ini sangat rentan terjadi kapan dan dimanapun. Terlebih di negara Indonesia yang kaya akan keragaman sukunya. Maka, ketika perpecahan karena rasialisme sudah terlanjur terjadi, tuntunan berikutnya dari Al-Quran ialah mencari tahu tentang kebenaran atau istilah yang kita kenal dengan tabayyun. Dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 6 disebutkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kata tabayyun berasal dari bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu – tabayyunan. Artinya at-tastabbut fil-amr wat-ta’annî fih (meneliti kebenaran sesuatu dan tidak tergesa-gesa di dalamnya). Jadi maksud dari tabayyun itu adalah bahwa kita jangan menerima mentah ketika suatu informasi sampai. Langkah terbaik ketika dalam menanggapi suatu kabar ialah dengan memeriksa lebih jauh mengenai kebenarannya, mencari tahu dan mendalami dari mana sumber berita itu ada.

Oleh karena itu, yang wajib dalam menerima berita orang fasik adalah attsabbut (meneliti). Ayat ini juga sekaligus memberikan pengajaran bahwa berita-berita palsu atau hoax harus ditelusuri kebenarannya dan perlu dicari darimana sumbernya dan keshahihannya. Sebab, berita-berita yang tidak benar lalu mampu mem-framing pemikiran khalayak, itu sering membuat perpecahan, kerusakan bahkan pertumpahan darah.

Dari sini, penulis mengajak kepada semuanya, mari kita kuatkan persatuan dan kesatuan. Dan jadikanlah perbedaan sebagai rahmat (kasih sayang) untuk kita semua. Kita harus erat dan rangkul perbedaan yang ada, karena itu perintah Al-Quran. Agar persaudaraan dan cintalah yang tersisa untuk kita semua dan untuk Indonesia. Jika ada berita baru yang datang, maka harus diklarifikasi (tabayyun) terlebih dahulu. Jangan salah faham dan jangan asal percaya.

Ridwan Bahrudin
Ridwan Bahrudin
Alumni Universitas Al al-Bayt Yordania dan UIN Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru