27.1 C
Jakarta

Hijrah Milenialis, Cikal-Bakal Radikalis-Ekstremis

Artikel Trending

Milenial IslamHijrah Milenialis, Cikal-Bakal Radikalis-Ekstremis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dewasa ini, term ‘hijrah’ menjadi tren di kalangan pemuda. Laki-laki dan perempuan, mereka yang klaim diri tengah berhijrah, biasanya menandai peralihan laku mereka melalui sebuah simbol. Hijab syar‘i—meskipun nama ‘syar‘i ini sangat manipulatif sekali, karena semua hijab mesti sesuai ajaran syariat—adalah satu contohnya. Belum lagi ada cadar. Bagi laki-laki, mereka jadi suka pakai gamis atau koko.

Fenomena hijrah ini, sebetulnya sudah ditanggapi beragam. Ada yang membela, tak sedikit pula yang menghujat. Perdebatan tentang cadar, umpamanya, tak hanya di acara dakwah, atau di dunia kampus, bahkan juga dibahas di talkshow-talkshow. Lebatnya kritik terhadap pengguna cadar, karena membatasi privasi interaksi, membuat penggunanya membangun tembok pertahanan.

Iya. Pengguna cadar mendirikan ‘Niqab Squad’. Alasannya, agar istiqamah. Katanya, bercadar di Indonesia ini tak mudah. Jika tidak kuat cobaan, mereka akan melepasnya. Sebagai pertahanan, lalu dibentuklah komunitas. Agar kalau satu dihujat lantaran bercadar, mereka punya teman. Sekawanan yang sama bercadar. Beda dengan cadar, hijab syar‘i dan baju gamis lebih alami; tak punya komunitas.

Dekonstruksi Hijrah

Rata-rata alasan tentang berhijrahnya seseorang, yang notabene simbol-centris, seringkali bertolak dari kejadian historis hijrahnya Nabi Muhammad saw. Setelah mendapat penolakan luar biasa dari klan Quraisy di Mekah, Nabi saw. hijrah ke Yatsrib. Kelak, Yatsrib ganti nama jadi Madinah. Tak hanya tentang pindah kota, di Madinah, Nabi saw. sukses jadi pemimpin tertinggi, jadi negarawan yang amat disegani.

Latar historis tersebut kemudian dimaknai sebagai “perpindahan dari buruk ke baik”. Seperti Nabi yang direspon tak baik di Mekah, namun dimuliakan di Madinah, kaum hijrah pindah dari laku buruk mereka. Kini mereka setingkat lebih agamis; mulai dari pakai gamis dan cadar, posting tentang dakwah Islami di media sosial, dan puncaknya ialah jadi tukang endors busana Muslim di Instagram.

Apakah itu hijrah, atau justru taubat, tidak ada yang peduli. Pokoknya kalau sudah bercadar, atau simbol-simbol lainnya, label ‘hijrah’ sudah melakat dengan sendirinya, sebagaimana melekatnya label Gus dan Neng bagi anak-anak kiai secara otomatis. Lama-lama, makna hijrah berkembang. Tak hanya yang berbusana agamis, mereka juga dituntut untuk ber-Islam kaffah, kaffah yang ideologis.

Pemahaman hijrah yang demikian tentu adalah kekeliruan yang fatal sama sekali. Kejadian historis perpindahan Nabi dari Mekah ke Yatsrib adalah perpindahan geografis, peta politik Islam, dan strategi dakwah Nabi. Tidak ada yang berubah; misi utama Nabi tetaplah sama dengan ketika di Mekah, yaitu menyampaikan risalah kepada seluruh umat. Baik di Mekah maupun Madinah, sosok Nabi tetaplah sama, yakni sebagai rahmatan lil ‘Alamin.

Sebagai perenungan, mari ajukan pertanyaan: kenapa kalau ‘kalangan muda, milenial’ berusaha memperbaiki diri dari buruk ke baik kita sebut hijrah, sementara kalau ‘kalangan sepuh, para orang tua’ malah kita sebut mereka bertaubat? Bukankah keduanya, muda maupun tua, punya kesamaan misi, yakni dari berpindah buruk menjadi baik?

Jika demikian, semestinya perubahan buruk ke baik kita sebut taubat. Sementara hijrah dalam arti milenial hari ini sudah mengalami pergeseran makna yang sangat substansial, juga distorsif.

BACA JUGA  Tahun 2024: Masihkah Ada Harapan Baik Bagi Bangsa Indonesia?

Hijrah atau Lari dari Masa Lalu?

Maksud distorsif tentu saja tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan hijrah para milenialis. Tidak. Sama sekali tidak. Yang dimaksud dengan distorsi hijrah di sini ialah, bahwa faktanya, sekarang hijrah diidentikkan dengan perubahan simbol, pakaian yang dikenakan. Dalam tataran yang lebih radikal, tidak berlebihan jika dikatakan, hijrah tak lebih dari perkembangan industri busana Muslim dan Muslimah.

Menarik pula untuk dicatat, bahwa fenomena hijrah tidak jarang memiliki latar belakang dramatis dan insidental. Seorang artis misalnya, memiliki masa muda yang tak cukup baik. Bahasa halusnya, punya masa lalu yang jauh dari kategori perempuan Muslimah-salihah. Lalu mengalami insiden yang membuat mereka menyadari buruknya perbuatan mereka, kemudian memutuskan berhijrah.

Jika demikian, bukankah hijrah memiliki konotasi makna ‘lari dari masa lalu’? Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah singkat, butuh penjabaran. Tetapi yang jelas, setelah mereka mengklaim diri berhijrah, rupanya belum selesai. Langkah berikutnya ialah merasa sebagai orang yang paling benar, dan merasa berhak mendoktrin salah segala hal yang berbeda dengan dirinya.

Rasa sebagai orang paling benar tersebut merupakan buah indoktrinasi ideologi tertentu, tentu saja. Adalah kenyataan yang tak dapat disangkal bahwa, setelah mengaku hijrah, kebanyakan mereka dipancing untuk terjerumus dalam jeratan ideologi Islamis. Islamis di sini berkonotasi negatif, yakni mengarah pada doktrin Salafi yang notabene biang kerok radikalisme dan ekstremisme.

Kenapa Mudah Jadi Radikalis-Ekstremis?

Kenapa kaum milenial yang hijrah mudah sekali terpapar paham radikalekstrem? Pertanyaan ini seringkali diajukan di forum-forum. Jawabannya ialah karena kedangkalan pemahaman mereka tentang Islam, juga tentang term-term sensitif yang ada dalam ajaran Islam itu sendiri. Bagaimana mereka mengartikan jihad, perang, serta sistem Negara atau khilafah dalam doktrin mereka.

Pada saat bersamaan dengan indoktrinasi yang kian masif, kaum milenial hijrah seringkali tidak memiliki ruang membandingkan segala doktrin yang masuk. Tidak ada klarifikasi. Mereka menelannya mentah-mentah. Jihad mereka pahami sebagai perang, dan demokrasi sebagai sistem yang kontra dengan Islam, sehingga harus diganti khilafah. Kesalahan doktrin ini mengakar, menjadi mindset dan ideologi.

Indoktrinasi yang terus menerus secara akumulatif akan menjelma jadi sebuah tindakan konkret. Bom bunuh diri adalah salah satu contohnya. Keputusasaan untuk hidup demi sesuatu yang mereka anggap jihad, dan tidak sanggup hidup di Negara Pancasila, yang mereka anggap sebagai taghut.

Itulah kenapa kita dapat menyimpulkan bahwa hijrah dalam fenomena milenialis merupakan titik tolak, cikal-bakal, lahirnya paham radikal dan ekstrem. Kuatnya indoktrinasi bukan sesuatu yang baru, dan bagi para pelaku teror, aksi mereka akan dibalas berlipat ganda di akhirat. Umpamanya, doktrin bahwa pelaku bom bunuh diri akan dibalas surga.

Dalam arti semua ini, hijrah sebaiknya dihindari. Ia sudah reduktif, jadi terkesan negatif. Hijrah tak lagi sekadar merepresentasikan tren industri busana, melainkan jadi cikal-bakal paham radikal dan ekstrem. Kalau memang hendak memperbaiki diri, kita bisa gunakan term yang lebih pas, yakni “taubat”.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru