33.2 C
Jakarta

Hijrah Berdarah ke Bumi Syam

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuHijrah Berdarah ke Bumi Syam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hijrah. Kata yang sama sekali tak asing, mungkin, untuk kita semua. Seseorang yang awalnya suka mengumbar aurat, tiba-tiba bertutup seluruh badan. Masa lalu buruk hendak ditinggal, atau hendak hengkang dari masa kini yang dianggap buruk. Yang dulunya suka posting sesuatu yang tak patut, sekarang religiusitas memenuhi dinding jejak digitalnya. Sekelumit definisi tentang hijrah ini, konon, berlatar historis hijrah Sang Nabi dari Mekah ke Madinah: pindah dari yang buruk ke yang baik.

Bincang-bincang soal hijrah, siapa yang tak ingin kelihatan lebih baik? Tetapi konotasi hijrah itu sendiri, hari ini, seringkali manipulatif. Beberapa orang yang mengklaim hijrah merasa lebih baik dari yang lain, sehingga menjelekkan mereka yang berbeda. Beberapa perbuatan nekat pun tak pelak terjadi: bagaimana misalkan saking merasa buruk, keadaan dan tempat, sampai memutuskan pindah Negara? Menarik. Pengalaman tentang itu, tentu saja, mesti dikisah-ulangkan.

Adalah Febri Ramdani, pemuda asal Jakarta, yang mengisahkan ulang pengalaman hijrahnya. Pria kelahiran 19 Februari 1994 ini sudah merasakan langsung dampak dari hijrahnya itu sendiri. Tak tanggung-tanggung, salah satu yang menegangkan, hijrahnya dipenuhi bercak-bercak rekaman berdarah. Terlahir dari keluarga keagamaan kelas menengah, ia haus akan spiritualitas. Pada saat bersamaan, negeri ini dirasa tak bagus lagi. Hijrah, baginya, adalah jalan satu-satunya.

Hijrah ke Syam

Melalui bukunya, 300 Hari di Bumi Syam, Febri bercerita secara detail-kronologis tentang pengalamannya hijrah. Mulai dari pra-hijrah, ketika hijrah, bahkan pasca-hijrah. Hijrah, begitu kata ini harus sering disebut, menjadi petualangan emosional-spiritual Febri. Pria berdarah Madura-Minang ini jelas tidak sendirian, tapi sekeluarga. Apa yang ada dalam buku tersebut juga menceritakan tentang orang yang hijrah bersamanya. Yang jelas, semua bertolak dari satu cita-cita utama: “ingin hijrah”.

Menarik, dalam buku ini sering dikutip oleh Febri, surah al-Nisa’ [4]:  97. Dalam pemahaman Febri, ayat tersebut merupakan perintah paten untuk hijrah. Ia bercerita, “Pada waktu itu saya amat sangat takut jika saya masih tinggal di negeri ini (baca: Indonesia) dan mati, takut terkena surah al-Nisa’ (4) ayat 97. Di mana tertulis kewajiban untuk berhijrah apabila khilafah sudah tegak,” [hlm. 12]. Hal ini mengisyaratkan kita satu hal penting. Ketika itu mindset-nya mendekati radikal, dan cara ia memahami ayat al-Qur’an cenderung atomistik, atau kasarnya: keliru.

Pada bab pertama ini, Febri juga menuturkan bahwa konflik individual menjadi indikator utama perihal niatnya berhijrah. Dengan bantuan Om Bow, Febri memanggilnya demikian, yang merupakan karyawan di perusahan Pak Hidayat, kakak iparnya, ia tiba di Suriah. Jalur yang ditempuh ialah jalur Turki, dan beberapa saat transit di kamp penampungan. Bahkan ia sempat tertangkap Jabhat al-Nusra (JN), lalu menuju Kota Idlib. “Kota Idlib harapan baru bagi kami,” ungkap Febri [hlm. 77].

Febri menyadari bahwa hijrahnya ke negeri Syam berlekuk terjal, tetapi kemantapan hati untuk hijrah sudah mengalahkan segalanya. Sampai di situ, ia senang karena akan bertemu ISIS, dan Raqqah adalah kota impiannya. Meski, ini yang memilukan, Febri juga mengakui bahwa Raqqah tak sesuai harapan. Tetapi sampai di situ, ia tetap takjub karena bisa ke Suariah, tanpa sadar sedang dalam bahaya. “Subhanallah, ini bener nih? Gue sampai di wilayah Daulah Islamiyah? Ini bukan mimpi kan?” [hlm. 156]

Dalam Dekapan ISIS dan SDF

Penting untuk ditegaskan, dalam petualangan berdarah ini, tujuan utama Febri adalah menyusul keluarganya yang sudah terlebih dahulu tiba di Suriah. Setelah mereka bertemu di Raqqah, setelah kebenaran tentang Daulah Islamiyah yang diimpikan ternyata tak sesuai, dan setelah beberapa perlakuan ISIS yang tak memproyeksikan akhlak profetik sebagaimana seharusnya, baru ada keinginan besar yang sama, di antara mereka, yaitu pulang, kembali ke Indonesia.

Tetapi itu tak mudah. Mereka sudah jauh dari ibu pertiwi. Mereka berada dalam dekapan ISIS. Tetapi niat awal untuk hijrah pudar seketika. Dan persepsi tentang Daulah Islamiyah, tentang khilafah, yang awalnya dikira penuh kedamaian itu, sudah sirna. Yang ada, kenyataannya, mereka harus bontang-banting dengan ISIS dan segala perlakuannya, di samping bom yang sudah jadi laiknya makanan sehari-hari. Febri dengan apik menceritakan tentang hari-hari nahas hidup dalam kerumunan para teroris.

BACA JUGA  Benarkah Plularisme Agama Itu Ideologi yang Cacat?

Sama dengan bagian pertama, bagian kedua buku ini terklasifikasi ke dalam tujuh subbab. Pada subbab keempat, Febri memberi judul “Raqqah, Kami Harus Pergi!”. Ia telah melakukan segala upaya untuk terbebas dari ISIS, keluar dari Suriah tapi segela birokrasi dipersulit. Bumi Syam bahkan jadi tempat kewafatan salah satu anggota keluarganya. Akhirnya, ia akan pulang. Tetapi untuk cita-cita itu, ia bersama keluarga terlebih dahulu harus rela menyerahkan diri pada SDF.

Pasukan Demokratik Suriah (Syirian Democratic Forces/SDF) merupakan persekutuan militer multi-etnis perang sipil Suriah, yang juga oposisi Bassar al-Assad. Berada dalam dekapan ISIS, lalu hijrah ke dekapan SDF, sungguh adalah perjalanan hijrah yang menakutkan. Kita pasti bergetar, atau menegangkan, mendengar penuturan Febri tentang SDF berikut:

Mereka menembakkan serangan tersebut langsung ke arah kami! Awalnya, setelah mereka memberikan tembakan peringatan, mereka sempat berhenti beberapa saat… banyak serangan datang dan saya merasakan ada hembusan angin yang sangat kencang melewati kepala saya. Di situlah kami sadar, bahwa kami telah ditembaki. Saat itu saya pikir, kalau kena tembak lebih mending tangan kiri daripada tangan kanan.” [hlm. 264]

Hijrah Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Hijrah berdarah ke tanah Syam yang dilakukan Febri beserta keluarganya merupakan pelajaran penting, agar kita selalu bersyukur hidup di Indonesia. Bahwa di luar sana, di negeri jauh yang menginginkan khilafah, mengesampingkan demokrasi, sedang bergejolak dalam ketidakadilan dan konflik bersenjata. Di territorial SDF, Febri mengalami hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Mulai dari menembus penjagaan SDf dan hampir tertembak, hingga mendekam di penjara beserta konflik di dalamnya.

Bagian ketiga buku ini, yakni bab terakhir, merupakan kilas balik hijrah. Sudah cukup Febri merasakan asam garam hijrah di negeri konflik, yang awalnya dikira negeri impian. Hari ke hari, bulan ke bulan, ia dan keluarga menikmati kehidupan di balik jeruji. Hingga pada saatnya, ia akan kembali ke tanah air, tentu dengan beberapa tahap, termasuk interogasi oleh Kemlu dan BIN. “Saya sempat khawatir jika setelah kami dipulangkan, kami akan dimasukkan ke penjara di Indonesia.” [hlm. 359]

Pada Jumat, 11 Agustus 2017, Febri dan delapan belas anggota keluarga ketika itu hendak dipulangkan ke bumi pertiwi. Tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada keesokan harinya, 12 Agustus 2017. Detail ia bercerita, bagaimana dirinya diinterogasi Densus ketika transit di asrama BNPT, asrama yang kata Febri mirip hotel bintang 2. Pengalaman hijrah berdarahnya ke negeri Syam itu tak akan terlupakan, dan kecintaannya kepada NKRI mulai tertanam. Hidup baru dimulai. Mulai saat itu, tak ada lagi ruang untuk percaya pada khilafah dan bualan-bualan seputar hijrah ideologi dan gerakan radikal lainnya.

Buku terbitan Milenia ini merupakan literatur penting yang autentik tentang ISIS yang sebenarnya. Propaganda khilafah mesti ditentang, dan argumen empirisnya tersajikan dalam buku setebal 392 halaman ini. Menjadi mantan pengikut ISIS selalu menarik untuk diketahui kisahnya, lebih-lebih jika tergabungnya ia dengan ISIS, mulanya, berniatan baik, yaitu hijrah. Cukup apik Febri menuturkan ceritanya. Karena pembahasannya menguras emosi, tentang hijrah dan tragedi-tragedi berdarah, tentu saja buku ini wajib untuk segera dimiliki dan diambil pelajarannya.

 

Identitas Buku

Judul              : 300 Hari di Bumi Syam: Perjalanan Seorang Mantan Pengikut ISIS

Penulis            : Febri Ramdani

Tahun             : Januari, 2020

Penerbit          : Milenia

Tebal              : x + 392 halaman

ISBN               : 978-623-9164-83-6

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru