29 C
Jakarta

Hidup itu Memang Pahit (Bagian XXXVIII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniHidup itu Memang Pahit (Bagian XXXVIII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Hidup itu memang pahit, Nak. Hanya keikhlasan yang dapat mengubah pahit menjadi manis dan mengubah kufur menjadi syukur.” Emma’ bertitah bak pujangga. Kata-kata Emma’ terkesan filosofis, padahal Emma’ belum pernah mengenyam pendidikan setinggi sarjana, belum pernah belajar sastra, bahkan belum banyak membaca buku. Kehidupan yang mengajarkan Emma’ menjadi sosok perempuan yang bijak. Emma’ adalah guru kehidupan yang Tuhan ciptakan buat Fairuz.

Engghi, iya, Ma’.” Fairuz berkata lirih mendengar nasehat Emma’ yang banyak menginspirasi hidupnya. Hati kecil Fairuz selalu membenarkan. Kata-kata Emma’ tak ada duanya. Emma’ seakan telaga kehidupan yang dapat menghapus dahaga di padang sahara. Fairuz bersyukur menjadi anak Emma’ yang tak pernah memperlihatkan kesedihannya saat hati kecil Fairuz terluka dan saat raut wajah Fairuz tak terlihat secercah cahaya bahagia. Emma’ sosok yang tegar seakan masalah terlihat kecil.

Fairuz kini tidak lagi di pesantren. Sudah lama ia menjadi alumni. Kini ia mengabdi di tengah masyarakat di mana ia dilahirkan dari rahim Emma’. Siang hari Fairuz mengajar di beberapa kampus yang berada di Madura dan malam hari mengisi kajian tafsir Al-Qur’an di tengah masyarakat, mulai orang awam sampai akademisi.

Membumikan Al-Qur’an di tengah masyarakat bagian utama cita-cita Fairuz semenjak belajar di pesantren. Karena, kyainya pernah berpesan: Jangan menyimpan ilmu, karena ilmu yang disimpan tandanya ilmu yang tidak bermanfaat. Sampaikan saja apa yang diketahui, walau ia sedikit. Mungkin, dengan cara itulah kamu dapat meraih keberkahan ilmu, sehingga ilmu itu semakin bertambah.

Menyampaikan ilmu bagaikan mencurahkan rasa cinta. Kadang apa yang disampaikan dapat diterima dengan hati yang lapang dan pikiran yang bersih, sehingga yang tersampaikan cepat diterima. Kadang apa yang disampaikan mudah diterima dan mudah pula terlupakan. Sebagai pendakwah hendaknya bersabar dan selalu berbesar hati apakah ilmu yang disampaikan diterima lalu diingat atau diterima lalu terlupakan.

Fairuz curhat kepada Emma’. “Kenapa setiap senja terbentang di ufuk barat selalu membuatku rindu?”

“Ah, pasti lagi rindu sama si putri kyai itu, kan? Nak Fairuz ngaku aja.” Emma’ bukan ngejawab pertanyaan Fairuz, malah mencandainya. Terlihat senyuman itu di bibir Emma’.  

“Ma’, jangan gitu lah.” Fairuz sedikit kesel melihat Emma’ merespons pertanyaan Fairuz dengan tidak serius.

“Udah, Nak. Rindu itu jangan disimpan. Menyakitkan.”

“Terus?!” Fairuz makin penasaran mendengar ucapan Emma’ yang terkesan filosofis. Tangan Emma’ ditarik dan digenggamnya erat. Emma’ kadang suka berbuat usil terhadap anaknya. Mungkin, lewat cara itu kedekatan Emma’ dengan Fairuz melebihi kedekatan Eppa’.

“Rindu itu ya diungkapkan. Masa dipendam. Nanti basi, Nak. Kecuali, Emma’ dulu sama Eppa’mu. Namanya aja perempuan pantesan malu. Malah Eppa’mu yang bilang rindu duluan.” Emma’ mencoba mengingat masa-masa masih remaja di mana percintaan hanya sebatas surat-suratan. Lebih dari itu, kalau udah rindu, ketemuan. Masa lalu Emma’ tentu berbeda jauh dibandingkan dengan masa anaknya sekarang. Semenjak teknologi memasuki perkotaan dan pedesaan, membingkai rindu hanya dengan mengirim pesan lewat WhatsApp, Nge-DM di Instagram, atau kalau masih di pesantren, karena dilarang bawa ponsel, pakai surat-suratan.

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

“Emang mudah mengungkapkan perasaan rindu pada seseorang yang jauh di sana, Ma’, sedang ia belum tahu apa yang Fairuz rasakan?”

“Baru kali ini anak Emma’ kehabisan ide.”

Fairuz memang sering menjawab curhat percintaan banyak orang, entah mahasiswanya sendiri atau orang tak dikenal. Uraian Fairuz selalu menjadi telaga yang menghapus dahaga orang lain, tapi ia sering kesulitan menghapus dahaga sendiri saat terjebak dalam jerat percintaan yang begitu rumit. Terlihat aneh memang! Di sinilah bukti keterbatasan ilmu manusia dibandingkan ilmu Tuhan. Sehebat motivator pasti membutuhkan motivasi orang lain, sekaya konglomerat pasti membutuhkan uluran tangan orang lain, bahkan sekuasa raja pun pasti membutuhkan pengakuan rakyatnya.

“Ayolah, Ma’. Masa Emma’ nggak mau cerita.” Fairuz terlihat memelas di depan Emma’ seakan pengemis yang menengadahkan tangan di depan para pemberi.

Emma’ senyum-senyum melihat sikap anaknya yang tak seperti biasanya. Akhirnya, Emma’ mengabuli permintaan anaknya. Begitulah orangtua pada anaknya. Orangtua akan luluh hatinya saat melihat raut wajah anaknya dan mendengar deret tutur katanya, apalagi sampai terlihat memelas begitu. Emma’ bukan sosok ibu yang pelit berbagi. Memang begitulah Emma’. Selalu bikin siapa saja penasaran, karena dibuat menunggu nasehat bijaknya.

“Titipkan rindu itu pada sesuatu yang dapat menyampaikannya. Yakini bahwa segala sesuatu yang kamu cintai akan mengantarkanmu meraih apa yang kamu inginkan.”

Fairuz membatin: Senja iya senja. Senja selalu menjadi cerita yang menginspirasiku. Senja yang mengabadikan cerita aku dan dia. Senja yang membuat warna dalam hidupku. Senja yang…. Ah, senja adalah dia.

“Ma’, Fairuz baru ingat. Fairuz paling suka senja. Senja yang selalu mengakhiri siang dengan rindu dan mengawali malam dengan cinta. Karena itu, Fairuz rindu senja karena secepat itu menyapa semesta. Fairuz cinta senja karena ia mencipta malam yang penuh dengan keindahan.”

Emma’ terdiam. Seakan Emma’ memahami kata demi kata Fairuz yang mengalir bagai air yang jernih.

“Katakan pada senja, Nak Fairuz rindu.”

Fairuz memotong perkataan Emma’. “Sesimpel itukah, Ma’?”

Emma’ mengangguk dan berkata lirih: Ya.

“Satu lagi, Ma’.” Fairuz menengadah ke langit disertai raut muka sedang memikirkan sesuatu yang terlintas di benaknya. Seakan sang filsuf yang berimajinasi tentang semesta. Ide itu bertandang dan mencipta sebuah pertanyaan.

“Bagaimana jika rindu itu terluka?”

Fai. Eppa’ tiba-tiba memanggilnya dari halaman rumah tak jauh dari tempat Fairuz dan Emma’ duduk. Eppa’ sepertinya minta bantuan. Fairuz segera beranjak menuju posisi Eppa’ berdiri. Emma’ mengikuti langkah anaknya dari belakang.

Pertanyaan Fairuz belum sempat Emma’ jawab. Biarkan realitas yang menjawabnya. Karena, jawaban tidak selamanya merupa deretan kalimat, tapi juga kenyataan hidup yang dapat menjadi pengetahuan.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru