29.1 C
Jakarta

#HBDJokowi60; Refleksi Cibiran dan Keberhasilan Memerangi Radikalisme-Terorisme

Artikel Trending

Milenial Islam#HBDJokowi60; Refleksi Cibiran dan Keberhasilan Memerangi Radikalisme-Terorisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Andai ada upaya pembandingan ihwal siapa di antara ketujuh presiden RI yang paling berat tugasnya dan berhadapan dengan berbagai musuh, maka boleh jadi jawabannya akan beragam. Para sesepuh akan bilang, jelas Soekarno paling berat tugas sekaligus paling besar jasanya. NU yang ada di baris perjuangan kemerdekaan mungkin akan menjawab Gus Dur, karena sumbangsihnya untuk bangsa yang tidak terhitung. Tetapi, apakah kesemuanya terlibat upaya memerangi radikalisme-terorisme?

Bung Karno memerangi NII dan bahkan mengeksekusi sang imam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sementara itu, represi besar-besaran Soeharto berhasil meniarapkan umat Islam. Apalagi Islamis anti-NKRI dan pejuang khilafah, bahkan civil society seperti NU ia bungkam, meski pada akhirnya Orde Baru juga memainkan narasi politik Islam yang, pertama-tama, melalui MUI. Tetapi selepas Soeharto, itu berbalik total. Para Islamis, di masa Reformasi, menjadi out of control.

Sejak Orde Baru lengser, terorisme menuju puncak eksistesinya. Maka tidak heran jika ada yang menyebut, residu Reformasi sangat terasa hingga hari ini. Radikalisme-terorisme jadi tidak terkontrol, dan setiap presiden punya tugas berat menanggulangi hal itu. Di masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Noordin M. Top berhasil dibunuh, dan boleh jadi itu menutup aksi teror masif Jemaah Islamiyah (JI). Tetapi apakah di masa setelah SBY, yakni Jokowi, radikalisme-terorisme sirna?

Ternyata tidak. Analisis Irsad Ade Irawan (2018) menemukan bahwa terorisme mengalami perubahan orientasi, yang secara general bisa ditarik terjadi antara sebelum dan sesudah Jokowi jadi presiden. Yang awalnya bermotif balas dendam atas AS dan hegemoni Barat secara umum, jadi bermotif puritanisme-takfirisme yang menyerang negara beserta seluruh aparat. Memerangi radikalisme-terorisme jadi semakin susah. Dan semua itu, faktanya, berada di pundak pemerintahan presiden Jokowi.

Memerangi Radikalisme-Terorisme (?)

Di masa SBY, betapa pun upaya memerangi radikalisme-terorisme sangat keras, cibiran—boleh dikata—tidak ada. Atau ada, tetapi sedikit. Namun, di masa Jokowi, kenapa cibiran justru datang dari berbagai pihak, dan justru menjadi senjata melemahkan integritas presiden? Beberapa narasi justru seolah menggerus kepercayaan masyarakat. Bahwa radikalisme misalnya dianggap sekadar propaganda pemerintah, dan permainan komunis PKI memerangi umat Islam.

Siapa yang membawa narasi tersebut? Jawabannya adalah: oposisi. Keluarga Cendana yang dulu represi pada umat Islam, kini justru memanfaatkan mereka sebagai kendaraan politik. Terlibat memberikan akomodasi untuk aksi-aksi besar, sejak setengah dekade lalu, aksi-aksi teror spradis terjadi bahkan menyeret FPI ke dalam sejumlah teror. Apa pun narasinya, di bawah pemerintahan Jokowi, menjadi bahan cibiran. Sementara keberhasilannya, oleh mereka, disembunyikan.

Pada saat yang sama, memerangi radikalisme-terorisme menjadi kerja prioritas pemerintah. Itu dalam rangka merespons kelompok-kelompok sporadis yang berpotensi melakukan teror bahkan tanpa organisasi teroris sekalipun. HTI menjadi ormas terlarang. FPI pun, tidak lama setelahnya, juga demikian. Tetapi apa yang diterima Jokowi? Ia semakin diseret-seret sebagai komunis, sementara para Islamis di-framing sebagai umat Islam mainstream yang berusaha diperanginya.

BACA JUGA  “All Eyes on Rafah” dan Mengakhiri Pengkhianatan Bagi Palestina

Tuduhan yang sangat politis. Sebab jika menelisik di lapangan, pemerintah benar-benar mengerahkan strategi demi memusnahkan para perusak persatuan. Sterilisasi berbagai tempat sudah dilakukan dengan persuasif dan pasti. Jadi, sudahkah selama ini kita mengapresiasi pemerintahan Jokowi ihwal keberhasilannya memerangi radikalisme-terorisme, atau justru kita terjebak dengan cibiran-cibiran yang secara tidak langsung telah membela para radikalis-teroris yang anti-NKRI?

Nasib Anti-NKRI

Kalau sudah berhasil memerangi radikalisme-terorisme, kenapa pemerintah masih harus khawatir dengan mereka? Pertanyaan ini kerap kali muncul, yang ujung-ujungnya adalah menegasikan keberhasilan pemerintah. Dan kalau pun sudah berhasil, kenapa hanya Jokowi yang mesti kita apresiasi, kenapa menjadi istimewa di bawah kepemimpinannya? Ternyata sekalipun terorisme adalah musuh bersama, perbedaan politik memengaruhi sikap terhadapnya.

Pemerintahan SBY keras dalam memerangi radikalisme-terorisme. Pemerintahan Jokowi juga demikian. Bedanya adalah, SBY tidak terstigma sebagai komunis PKI, tidak seperti Jokowi yang sejak semula sudah berusaha dihancurkan integritasnya. Di sini, perlu dicatat, bahwa Jokowi tidak sekadar memerangi radikalisme-terorisme, melainkan memerangi stigma yang para oposan bangun bahwa ia antipati terhadap Islam—oposisi berlindung di bawah ketiak para radikalis-teroris.

Nasib orang-orang yang anti-NKRI berada di ujung tanduk, di bawah pemerintahan Jokowi. Tantangan mereka adalah represi pemerintah, maka siasat paling memungkinkan adalah menjalin persekongkolan dengan oposan untuk menghancurkan karisma pemerintah. Jokowi ada dalam pusaran tersebut, dan ia berperang sebagai ‘wong cilik’—orang kecil yang berusaha melindungi Islam dan persatuan bangsa dari musuh-musuh; musuh ideologi maupun musuh politik.

Hari ini, 21 Juni, Jokowi genap berusia 60 tahun. Cibiran dan keberhasilan selama dua periode memerintah sudah ia lewati. Kiprahnya memerangi radikalisme-terorisme laik kita apresiasi, meski keberhasilannya akan bersifat temporal. Artinya, radikalisme-terorisme merupakan isu yang bersifat kontinu. Yang terang, lepas dari beragam cibiran, ia berhasil menunjukkan bahwa memerangi radikalisme-terorisme juga berhadapan dengan memerangi oposisi.

Dengan analisis lebih lanjut, isu radikalisme-terorisme bisa jadi tidak genuine sebagai persoalan teologis-ideologis semata, melainkan intrik lawan politik. Tetapi, jika kelakar mereka adalah berusaha memecah NKRI, apa pun motifnya, siapa pun pelakunya, harus diberantas. Kita mungkin harus bersyukur bahwa sekarang, di bawah kepemimpinannya, persoalan menjadi terang: orang-orang yang anti-NKRI adalah musuh bersama. Musuh politik, apalagi musuh ideologis.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru