25.4 C
Jakarta

Hati-Hati! Radikalisme Sangat Rentan Terhadap Anak

Artikel Trending

KhazanahTelaahHati-Hati! Radikalisme Sangat Rentan Terhadap Anak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kaget bukan main, ketika beberapa hari terakhir melihat story WhatsApp adik saya mengunggah berbagai video dengan caption “Allahu Akbar”, sedang isinya IB HRS yang sedang ceramah dengan sebutan “Lonte” kemudian berucap “Allahu Akbar”. Saya mencoba untuk mengikuti berbagai video yang diunggah. Tidak ketinggalan, ia juga mengunggah video adzan “Hayya ‘alal Jihad” dengan caption “mari berjihad, Allahu Akbar”. Pada akhirnya saya berada pada kesimpulan “adik saya sudah terpapar radikalisme”.

Bahkan yang membuat saya semakin terperangah, ketika teman sebayanya mengunggah sebuah video di akun WhatsApp sedang ikut demo di jalanan kota, menambah kemacetan jalan provinsi Kabupaten Sampang, Madura, Rabu (16/12) kemarin. Massa tersebut berasal dari para pengikut FPI dengan alasan “Membela Habib”, menuntut agar IB HRS dikeluarkan dari penjara. Lagi-lagi, alasannya karena beliau habib, keturunan Rasulullah. Tidak pantas mendapat perlakuan semacam itu.

Saya bergumam dalam hati, “Mana mungkin, seorang anak yang berumur 14 tahun bisa memahami betul persoalan yang begitu kompleks kalau bukan alasan ikutan-ikutan, atau hanya bermodal suka dengan ceramah, atau diajak oleh temannya. “Ini mengakibatkan kekacauan, sebab pikirannya masih labil. Adik saya sedang mencari dirinya, jangan sampai lepas dari pengawasan,” Saya membatin.

Sebab selama ini, adik saya dengan teman-temannya memang di pesantren. Mereka sedang berada di puncak mencari dirinya, menyelami berbagai keilmuan agama dengan kajian-kajian kitab. Sayangnya, jika keluarga menegasikan peran sebagai orang tua, yang terjadi adalah tidak menutup kemungkinan, mereka akan ikut dengan berbagai gerakan radikalisme. Bahkan di masa yang akan datang, bisa saja menjadi orang yang menghalalkan darah orang lain, membunuh yang tidak sama dengan dirinya, atau kejadian yang lain. Na’udzubillah.

Akhirnya, setelah memiliki kesempatan untuk berbicara. Saya mencoba berbicara dengan ibu, melalui berbagai pendekatan yang bisa dimengerti. Ibu belakangan ini melihat handphone adik saya yang isinya penuh dengan video kecaman, ceramah yang keras, dll. Sayangnya, beliau tidak segera bicarakan, sebab ibu juga tidak memiliki pemahaman penuh persoalan ini. Tidak hanya itu, fanatisme pada masyarakat Madura akan habib, keturunan kiai, masih sangat kental. Seolah-olah memang menjadi “kebenaran absolut”, dari segala hal yang disampaikan, perilaku habib, bahkan jika itu salah, masih saja “benar” di kalangan orang fanatik.

BACA JUGA  Fenomena Domestifikasi Perempuan oleh Aktivis Khilafah

Saya mencoba menjelaskan berbagai hal yang saya ketahui, mulai dari FPI. Bagaimana gerakannya, apa saja yang sudah dilakukan, dengan berbagai bukti koran dan media informasi yang bisa dijadikan referensi/penguat penjelasan kepada ibu. Hingga akhirnya, ibu pada kesimpulan bahwa, “Siapapun orang yang berusaha memecah belah bangsa, itu tidak dibenarkan oleh agama Islam. Indonesia terdiri dari berbagai suku, bukan Islam saja,” gumamnya.

Dialog semacam ini selalu saya lakukan dalam setiap persoalan. Ini bukan pertama. Setiap kali ada permasalahan, dialog, berbicara secara eksklusif selalu saya utamakan. Ini dengan tujuan agar ibu bisa memahami, menerima apa yang saya sampaikan, dengan bahasa yang sopan, tanpa menggurui seperti dialog dengan seusianya. Tidak sedikit, ibu juga memberikan feedback dengan pertanyaan-pertanyaan, atau dengan tanggapan.

Maklum, ketika dihadapkan dengan keluarga yang tidak mengenyam pendidikan, persoalan radikalisme adalah persoalan pelik, lebih pelik dari persoalan ekonomi, dll. Sebab ini sudah berbicara soal pemahaman, ideologi. Bagaimana pemahaman soal radikalisme harus dipahami oleh seluruh anggota keluarga. Semua harus sepemahaman, agar bisa saling mengingatkan dan tidak terjebak oleh pemikiran yang sesat. Jika keluarga tidak  segera mengambil peran, akibatnya akan kacau. Tidak sedikit anak-anak kita yang masih berumur di bawah 16 tahun ikut arus terhadap berbagai pergerakan yang dilakukan oleh sebagian orang yang selama ini menyerukan jihad.

Ini hanya sebagian kecil dari kisah yang ter-cover. Di luar sana, masih banyak hal yang tidak kita temui. Anak-anak dengan modal handphone, mereka bisa berselancar dengan dunianya. Bisa mengakses berbagai informasi, berbagai video yang menurut mereka bagus, serta mengunggahnya sesukanya. Teman sebaya juga ikut andil terhadap perkembangan dirinya. Orang tua harus hadir dalam segala bidang kehidupan anak, khususnya dalam berselancar di media sosial. Peran ini tidak hanya pada orang tua, seluruh elemen keluarga harus berperan, saling mengingatkan satu sama lain. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru