28.6 C
Jakarta

Hati-hati! Penegakan Khilafah Berujung Kekerasan terhadap Perempuan

Artikel Trending

KhazanahTelaahHati-hati! Penegakan Khilafah Berujung Kekerasan terhadap Perempuan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Begitu ironis, ketika melihat banyak sekali masalah perempuan di Indonesia, yang sampai hari ini masih menyisakan PR besar bagi negara untuk menyelesaikannya. Mulai dari kebijakan yang berperspektif gender, hingga fasilitas publik yang seharusnya ramah terhadap perempuan.

CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan tahun 2023, tercatat bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023 sebanyak 289.111 kasus. Data ini menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan (55.920 kasus, atau sekitar 12%) dibandingkan tahun 2022.

Masalah lain yang turut menghantui perempuan hingga saat ini adalah, masalah kematian ibu dan bayi. Berdasarkan data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada tahun 2022 mencapai 4.005 dan di tahun 2023 meningkat menjadi 4.129. Sementara itu, untuk kematian bayi pada 2022 sebanyak 20.882 dan pada tahun 2023 tercatat 29.945.

Meskipun masalah kematian adalah takdir Tuhan, namun penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi ini bisa dicegah dengan peningkatan awareness dari setiap individu, untuk melakukan cek kesehatan pada saat sebelum atau ketika hamil. Intervensi pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat ini juga sangat penting. Artinya, pemerintah perlu terus mendorong ketersediaan fasilitas kesehatan dan pemeriksaan rutin pada ibu hamil.

Di samping intervensi dari pemerintah yang perlu terus mendorong kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil, kesadaran individu untuk mencari tahu tentang informasi seputar kesehatan wajib dimiliki oleh setiap individu agar senantiasa menjaga kesehatan dirinya sendiri.

Dalam ajaran Islam sendiri, setiap individu wajib bertanggung jawab atas kesehatan dirinya. Artinya, seorang ibu harus senantiasa berusaha untuk menjaga kesehatan dirinya, termasuk mencari informasi tentang kesehatannya. Setelah dirinya, keluarga menjadi benteng pertahanan bagi seorang ibu untuk menjaga kesehatannya. Terakhir, negara sebagai instansi pemerintah wajib memberikan fasilitas kesehatan yang memadai bagi warganya, termasuk ibu dalam upaya menjaga kesehatan tersebut.

Melihat masalah di atas, apa hubungannya dengan penegakan khilafah?

Salah satu tawaran solusi atas penurunan angka kematian ibu dan bayi adalah pendewasaan usia perkawinan. Usia di atas 20 tahun akan memungkinkan bagi seseorang sudah siap secara organ reproduksi untuk melahirkan. Solusi tersebut sebenarnya masuk akal agar pernikahan dini tidak terus-menerus menjadi salah satu problem sosial yang terjadi pada masyarakat.

BACA JUGA  Akses Ilmu Agama di Media Sosial, Mengapa Tidak?

Idealnya, seseorang yang sudah berusia di atas 20 tahun, apalagi sudah mendapatkan kesempatan pendidikan, pekerjaan, ataupun pengalaman yang lain, cenderung memiliki pemikiran yang lebih dewasa untuk memutuskan sesuatu. Di samping itu, keterbukaan informasi yang cukup besar, akan mengantarkan seseorang pada kesadaran untuk menjaga kesehatan, mengupayakan hal baik agar dirinya dan bayi dalam kandungannya, bisa selamat.

Menurut aktivis khilafah, solusi tersebut hanyalah asumsi. Sebab solusi yang paling konkret adalah penegakan khilafah Indonesia. Dengan asumsi bahwa, Islam sudah mengatur pembiayaan yang tepat, sehingga akses kesehatan bisa menjangkau daerah pelosok, maka solusi dari penurunan angka kematian ibu dan bayi adalah penegakan khilafah.

Mengapa Penegakan Khilafah Berujung pada Kekerasan?

Narasi yang disampaikan oleh para aktivis khilafah adalah propaganda yang menyudutkan pemerintah sebagai negara kapitalis. Padahal, solusi pendewasaan usia perkawinan sangat masuk akal, apabila melihat beberapa alasan di atas. Solusi tegaknya khilafah atas masalah angka kematian ibu adalah naif dan tidak masuk akal. Lagi pula, penegakan khilafah di Indonesia akan berujung pada kekerasan terhadap perempuan. Makna kekerasan dalam konteks ini tidak hanya pelaku yang mencederai fisik perempuan, akan tetapi juga psikis.

Dalam sistem pemerintahan Islam seperti yang dikampanyekan oleh para aktivis khilafah, perempuan dianggap makhluk domestik yang memiliki kodrat untuk menjaga rumah. Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk berkarir, mengamalkan potensi dirinya atau bahkan tidak boleh keluar rumah karena akan dianggap fitnah apabila keluar rumah tanpa didampingi oleh mahram. Sampai di sini, bukankah kita sudah memiliki imajinasi apabila di masa yang akan datang khilafah ditegakkan?

Tidak ada lagi perempuan bekerja, berkarir ataupun melakukan aktivitas di ruang publik karena pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah dengan sistem pemerintahan Islam. Apakah melalui kebijakan khilafah tidak akan ada kasus kekerasan seksual terhadap perempuan? Belum tentu. Kemungkinan besarnya justru akan sangat marak. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru