29.7 C
Jakarta

Hasan al-Banna dan Gerakan Politik Berbalut Dakwah

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahHasan al-Banna dan Gerakan Politik Berbalut Dakwah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Hasan al-Banna adalah salah satu tokoh yang banyak menjadi perhatian dalam sejarah perpolitikan Islam. Dia lahir di distrik Mahmudiah provinsi Buhairiyah yang terletak di pinggir sungai Nil, atau berjarak 90 mil dari kota Kairo, Mesir, pada 17 Oktober 1906 M. Hasan al-Banna adalah putra dari Syekh Abdurrahman al-Banna, yang merupakan salah seorang ulama terkemuka Mesir yang mempunyai keahlian di bidang fikih, tauhid, ilmu hadis dan Al-Qur’an.

Sebelum mendirikan Ikhwanul Muslimin yang menjadi organisasi dakwah sekaligus gerakan politik. Hasan al-Banna mendirikan organisasi yang bernama al-Jam’iyat al-Hasafiyah al-Khairiyah. Namun, ketika dia pindah ke Kairo pada tahun 1923 M dan sekolah di Darul Ulum, dia menghimpun sebagian mahasiswa Universitas Al-Azhar dan Universitas Darul Ulum untuk dilatih berpidato di masjid-masjid untuk berdakwah di kalangan masyarakat.

Pada saat pindah ke Kairo tahun 1932 M. Tepatnya dari Mahmudiyah ke Damanhur hingga kemudian ke Kairo, telah membuatnya banyak mengetahui berbagai permasalahan, situasi dan kondisi umat Islam saat itu, khususnya yang terjadi di Kairo.

Saat tinggal di Mahmudiyah yang tenang dan menjaga tradisi ajaran Islam, belum terlintas di benak Hasan al-Banna ternyata di Kairo banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan yang menurutnya sangat parah. Belum pernah terbayangkan juga olehnya, jika terdapat para penulis terkemuka, ulama dan para pakar yang bekerja demi kepentingan musuh Islam. Di mana ulama sibuk dengan urusan pribadi, dan masyarakat umum dalam keadaan bodoh. Kondisi tersebutlah yang membuat Hasan al-Banna menjadi gelisah.

Hingga akhirnya setelah Hasan al-Banna beserta kawan-kawannya berlatih, dan siap terjun ke lapangan. Dia mengajak rekan-rekannya untuk berdakwah ke warung-warung kopi dengan memperhatikan tiga hal, yaitu memilih tema yang sesuai, sistem penyajian yang menarik dan memperhatikan waktu dan jangan sampai membosankan.

Setelah beberapa lama berdakwah di warung-warung kopi, Hasan al-Banna kemudian pindah ke mushalla (Zawiyah). Di Zawiyah inilah, Hasan al-Banna berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka yang ikut mendengarkan pidato-pidatonya untuk meninggalkan kebiasaan hidup boros dan bermewah-mewahan.

Setelah berdakwah di warung kopi dan mushalla, Hasan al Banna memperluas interaksinya ke seluruh unsur yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Dia memperluas interaksinya dengan para ulama, para tokoh sufi, tokoh masyarakat (wujaha), dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.

Hingga akhirnya pada bulan Dzulqa’dah tahun 1347 H atau bulan Maret 1928 M, datanglah 6 orang laki-laki yang tertarik dengan dakwah Hasan al-Banna. Mereka adalah Hafiz Abdul Hamid (tukang bangunan), Ahmad al-Hushor (tukang cukur), Fuad Ibrahim (tukang gosok pakaian), Ismail Izz (penjaga kebun), Zaki al-Maghribi (tukang rental dan bengkel sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir).

Mereka berbicara kepada Hasan al-Banna tentang apa yang harus mereka lakukan demi agama. Kemudian, mereka menawarkan sebagian harta miliknya yang sedikit, dan meminta Hasan al-Banna untuk menjadi pimpinannya. Kepada Hasan al-Banna, mereka berbai’at untuk bekerja demi Islam, dan melakukan musyawarah membahas nama perkumpulan yang akan dijadikan wadah untuk berjuang.

Melihat antusias orang-orang yang mendukung dakwahnya, Hasan al-Banna lalu berkata, “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al-Ikhwanul Muslimin”.

Setelah berjalan beberapa bulan, jumlah pengikut jama’ah Hasan al-Banna bertambah menjadi 76 orang dan terus bertambah banyak. Mereka yang bergabung pun mendermakan hartanya untuk dakwah sampai mampu membeli sebidang tanah guna dibangun markas Ikhwanul Muslimin yang terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, dan tempat pertemuan ikhwan.

Setelah mempunyai banyak pengikut, Hasan al-Banna pun memfokuskan perhatiannya dalam satu aspek yaitu politik, sebagaimana dijelaskan dalam karyanya Majmu’ah al-Rasa’il. Politik yang dimaksud oleh Hasan al-Banna adalah segala sesuatu yang menyangkut pemerintahan, sistem negara, hubungan antara pemerintah dan rakyat, hubungan antar suatu negara dengan negara lain baik yang berideologi Islam maupun non Muslim dan berbagai masalah lain yang bermacam-macam.

Sebelum munculnya al-Banna dan gerakannya, politik nyaris tersisihkan dari perhatian masyarakat Mesir. Karena politik dianggap bersebrangan dengan agama, sehingga tidak mungkin keduanya terkumpul dalam diri seseorang atau masyarakat.

Oleh sebab itulah, dengan latar belakang tersebut. Hasan al-Banna terjun dalam gelanggang pertempuran yang cukup sengit agar dapat mengoreksi konsep yang menurutnya salah tentang hubungan agama dan politik, bahkan dia memandang bangsa Timur telah terkena penyakit politik yang dapat dilihat dari dua segi; Pertama, dengan bercokolnya penjajah sebagai musuhnya. Kedua, dengan timbulnya penggolongan, pertengkaran, perpecahan, dan persengketaan di antara putra-putra bangsa itu sendiri.

Dalam pandangan Hasan al-Banna, Islam menganggap pemerintahan sebagai salah satu dasar sistem sosial yang dibuat untuk manusia. Islam tidak menghendaki kekacauan atau anarkis, dan tidak membiarkan satu jamaah tanpa pemimpin. Jadi orang yang menganggap bahwa Islam tidak memberi penjelasan tentang politik atau politik bukan bidang pembahasannya, maka ia mengkhianati dirinya dan juga mengkhianati Islam.

Karena hal tersebutlah, Hasan al-Banna kemudian membuat delapan pilar politik yang dikemukakan dalam Majmu’ah al-Rasa’il dan sekaligus banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Kedelapan pilar tersebut adalah;

Pertama, memadukan antara Islam dan politik (agama dan negara). Hasan Al-Banna berusaha keras mengajarkan umat Islam tentang syumuliyatul Islam (kesempurnaan atau keuniversalan Islam). Apalagi di awal dakwahnya, masyarakat Mesir masih memahami Islam secara parsial. Bahwa Islam adalah rukun iman dan rukun Islam. Sementara politik, pendidikan, ekonomi, dan lain-lainnya tidak masuk dalam urusan agama Islam.

Kedua, membangkitkan kesadaran berupa wajib membebaskan tanah air Islam. Inilah pilar kedua dalam tarbiyah politik Hasan al-Banna. Memperkuat kesadaran, dan memicu sentimen wajib membebaskan tanah air Islam dari penjajahan dan penguasaan asing.

Ketiga, membangkitkan kesadaran wajib mendirikan pemerintahan Islam. Pilar yang kedua di atas sebenarnya hanyalah sarana. Tujuan utamanya adalah menegakkan eksistensi umat Islam agar hidup dengan aqidah dan syariat Islam. Untuk itu, setelah membebaskan negara dari penjajahan dan penguasaan asing, target berikutnya adalah mendirikan pemerintahan yang islami. Eksistensi umat Islam tidak bisa tegak, kecuali jika belenggu penjajahan di segala aspek, baik ekonomi, politik, undang-undang, dan sebagainya bisa dibebaskan, lalu diatur dengan sistem Islam.

Keempat, menegakkan eksistensi umat Islam. Dengan tujuan agar mampu mengatur kehidupan masyarakat Muslim di wilayah negaranya, dan juga dunia Internasional dalam satu ikatan di bawah panji Islam. Islam telah membuktikan tegaknya eksistensi umat dalam skala besar, mengumpulkannya dengan aqidah yang satu, syariat yang satu, nilai-nilai yang sama, adab yang sama, pemahaman dan syariah yang sama serta dalam satu kiblat.

Kelima, menyadarkan kewajiban persatuan Islam.  Pilar kelima ini melengkapi pilar keempat, yaitu membangun kesadaran wajib mempersatukan umat. Pilar ini merupakan tuntutan wajib dalam Islam, sekaligus tuntutan aksiomatik secara duniawi.

Keenam, menyambut sistem undang-undang dan parlementer. Dengan slogan “Al-Qur’an dusturuna” atau yang mempunyai maksud menolak hukum positif apapun. Melalui slogan inilah, Hasan al-Banna ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan tertinggi, kepadanyalah dikembalikan segala urusan. Maka aturan-aturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an. Dengan demikian, boleh bagi umat Islam untuk membuat aturan-aturan yang lebih detail yang merupakan pejabaran dari Al-Qur’an untuk diimplementasikan dalam kehidupan praktis, serta aturan-aturan detail lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan Aqidah dan syariat Islam.

Ketujuh, mengkritisi multipartai dan kepartaian. Hasan al-Banna tidak setuju dengan partai-partai yang ada di Mesir saat itu, dan tidak setuju dengan adanya multipartai. Hasan al-Banna melihat bahwa banyaknya partai justru membawa mafsadat bagi umat, karena yang terjadi adalah perpecahan umat akibat sikap fanatik pada partai.

Kedelapan, perlindungan bagi kaum minoritas dan orang asing. Inilah pilar kedelapan tarbiyah politik Hasan al-Banna. Karena Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin pada dasarnya pada dasarnya melindungi siapa saja yang tidak memusuhi Islam. Apalagi jika pihak non muslim itu tunduk di bawah naungan negara Islam.

Namun dalam perkembangannya, Ikhwanul Muslimin ingin mengembalikan sistem pemerintahan yang berdasarkan Islam seperti sistem Khilafah, karena menurut pandangan mereka pemerintah yang berkuasa sudah menjadi boneka Inggris dan banyak dipengaruhi oleh paham libralisme dan barat, sehingga kurang memperhatikan kepentingan masyarakat Mesir.

Tujuan pergerakan mereka juga adalah untuk mengembalikan sistem pemerintahan Mesir menjadi sistem Islam, dan kembali kepada ajaran Islam as-Salaf dan menentang Westenisasi. Dan dalam hal pemikiran politik Islam, pemikiran Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb mempunyai agenda akhir yang sama, yakni menegakkan politik Islam, di mana syariat Islam harus dijadikan sebagai konstitusi (UUD) negara.

Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya yang berujudul Pemikiran Politik Islam, kunci dari pemikiran Hasan al-Banna adalah Islam sebagai solusi. Yaitu solusi dari semua masalah yang dikandung negara yang masih mengikuti sistem sekuler. Dalam pandangan Hasan al-Banna, negara ideal adalah yang menerapkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai panduan utamanya. Karena Islam adalah panduan hidup yang sempurna. Oleh sebab itulah, Hasan al-Banna menyingkirkan ideologi sekuler, baik yang kanan (liberalisme-sekularisme) ataupun yang kiri (sosialisme-komunisme). Dalam pandangan Hasan al-Banna, Islam sebagai sistem politik bersifat universal yang bisa diterapkan di segala zaman dan tempat. Dan Islam bisa menjadi solusi bagi semua persoalan.

Pemikiran Hasan al-Banna juga menjadi dasar dari fundamentalisme Islam di era modern. Karena ide-ide superioritas Islam ala Hasan al-Banna, telah melahirkan monopoli tafsir yang sering dijadikan dasar penghakiman kelompok non-Islam atau kelompok Islam lain.

Dari pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna tentang politik juga telah melahirkan banyak bibit politisasi Islam dan peleburan ajaran Islam di dalam konstitusi sebuah negara modern. Hanya saja dia menolaj nasionalisme. Hasan al-Banna juga mencita-citakan terwujudnya persatuan Muslim di seluruh dunia sebagai satu bangsa yang terjalin lintas negara atau yang disebut transnasional. Oleh sebab itulah, Ikhwanul Muslimin banyak tersebar di berbagai negara yang ada di dunia. Tidak terkecuali Indonesia, melalui Partai Keadilan Sejahtera.

Nur Hasan, Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru