31.2 C
Jakarta

Haruskah Perang Saudara Terjadi di Negeri Ini?

Artikel Trending

KhazanahOpiniHaruskah Perang Saudara Terjadi di Negeri Ini?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebagaimana pada judul, tulisan ini memiliki beberapa pertanyaan mendasar tentang beberapa kejadian hari-hari ini di negeri kita: aksi teror terhadap satu keluarga di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, sekelompok umat Islam Kanan azan “hayya ‘ala al-jihad” yang turut memperkeruh suasana, serta yang terbaru cekcok polisi dengan FPI tentang penembakan simpatisan Habib Rizieq di tol Cikampek, Senin (7/12) kemarin. Apakah ini pertanda perang saudara akan segera mengacaukan negeri tercinta?

Setelah polemik video adzan “Hayya ‘Ala al-Shalah” diganti menjadi “Hayya ‘Alal Jihad”, situasi kembali memanas setelah insiden tewasnya pengikut Habib Rizieq. Ke depan, keadaan pasti memanas antara sesama warga Indonesia, antara sesama Muslim. Apakah FPI akan semakin gencar melakukan perlawanan yang berujung pada perang saudara yang siap menghancurkan NKRI? Sangat menakutkan.

Sementara, video adzan itu sengaja dibuat sebagai perang urat saraf yang dijadikan sebagai alat propaganda untuk tujuan politik. Kelompok ini berusaha menggambarkan bahwa kondisi negara saat ini sedang mencekam dan menuduh pemerintah zalim, sehingga ada alasan bagi kelompok ini untuk membangkang atau melawan yang diatasnamakan “Jihad”.

Yang menjadi pertanyaan, haruskah perang saudara terulang kembali? Apa yang hendak mereka bela? Harga diri? Kelompok? Andaikan perang telah dimenangkan, adakah keuntungan yang lebih baik dari terjaganya kebhinekaan? Tidak. Justru Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur akan sirna. Indonesia akan tinggal nama.

Oleh karenanya, mari kita sejenak pikirkan tentang dampak positif dan negatif dari sebuah peperangan, apalagi perang saudara. Disadari atau tidak, perang saudara selalu menjadi penyebab runtuhnya sebuah negara. Dalam sejarah Islam bahkan dunia, masa Islam awal hingga kerajaan Islam Nusantara, turut diwarnai tragedi berdarah. Tragedi ini seharusnya menyadarkan kita akan bahaya perang saudara, karena tidak ada penangkal yang dapat mejaga kejayaan negara ketika konflik timbul dari dalam tubuh negara itu sendiri.

Sedari dahulu hingga kini, terjadinya perang dipicu oleh perebutan kekuasaan dengan anggapan paling berhak atau karena dihasut oleh orang luar. Sadar atau tidak, perang saudara seperti penyakit kronis yang menular dan menggerogoti tubuh dari dalam, sehingga sekebal apapun negara, lambat laun akan rapuh.

BACA JUGA  Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

Sementara itu, akibat dari perang saudara, rakyat menderita, harta dirampas dan kehidupan yang terbatas, sedangkan para penguasa waktu itu, sibuk mencari koalisi guna melanggengkan kekuasaannya — untuk diri dan kelompoknya. Haruskah Indonesia runtuh karena perang saudara? Bukankah cukup bukti, betapa menyakitkan runtuhnya negara karena perang saudara.

Berangkat dari uraian tersebut, juga ada baiknya pula, apabila kita pikirkan juga tentang bagaimana para pahlawan bangsa ini memerdekakan Indonesia dari kaum penjajah. Juga, amat membekas di telinga kita, bahwa perang saudara yang mengatasnamakan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA) kerap terjadi di Indonesia. Bahkan, Indonesia nyaris hancur karena terlibat perang saudara di mana negara berperang malawan PKI, GAM, RMS, OPM dan lain-lain yang terjadi di berbagai daerah.

Oleh karenanya, akankah kita masih hendak menyerukan peperangan? Sungguh tidak waras, jika ada di antara kita yang dengan entengnya mengkampanyekan perang saudara tersebut. Padahal, mereka tidak tahu bahwa kemerdekaan merupakan kenikmatan terbesar bagi bangsa dunia ini termasuk Indonesia. Sebab, kemerdekaan dan kebebasan yang kita nikmati hari ini bukanlah diperoleh dengan berlutut kepada penjajah, melainkan kemerdekaan yang direbut melalui perang.

Ini artinya, kemerdekaan Indonesia itu bukan milik orang perseorangan dan bukan pula milik kelompok mana pun. Indonesia hari ini, adalah milik kita bersama.

Senada dengan pandangan tersebut, bahkan jauh sebelumnya, Soekarno selaku Presiden pertama Republik Indonesia, meminjam bahasanya Bernard Dahm (1987) adalah sosok pemersatu ulung dan anti-imprealisme, pernah berkata, “Negara ini, Republik Indonesia bukan milik kelompok manapun, juga agama, atau kelompok etnis manapun, atau kelompok dengan adat dan tradisi apa pun, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”.

Melalui pandangan Bung Karno tersebut, sekali lagi, sungguh aneh bin ajaib jika sebagian dari kita masih merindukan dan bahkan mengkampanyekan “Jihad” atau “Perang saudara” di Indonesia. Sebab, para pahlawan bangsa sendiri tidaklah menghendaki perang saudara. Oleh sebab itu, mereka mendirikan negara Indonesia ini tidak berlandaskan pada agama tertentu.

Akhirnya, menebarkan pesan-pesan persaudaraan dan persatuan dalam bingkai ke-Indonesia-an itu lebih baik daripada mengajak perseteruan dan perang saudara.

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru