32.9 C
Jakarta

Harmoni Nasionalisme dan Agama untuk Membangun Bangsa (Refleksi di Bulan Kemerdekaan)

Artikel Trending

KhazanahPerspektifHarmoni Nasionalisme dan Agama untuk Membangun Bangsa (Refleksi di Bulan Kemerdekaan)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan. Saat di mana bangsa Indonesia bersuka cita menyambut peringatan hari kemerdekaan. Di awal bulan, bendera merah putih hingga berbagai jenis umbul-umbul sudah banyak terlihat berkibar di depan rumah dan di pinggir-pinggir jalan. Nuansa merah putih begitu kental terasa di mana-mana, mengobarkan semangat nasionalisme dan kecintaan kita pada Indonesia tercinta.

Nasionalisme penting demi menguatkan ikatan persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, bagi sebagian orang, nasionalisme dan agama kadang masih menjadi dua hal yang kadang dipertentangkan. Di sebagian kelompok Islam, misalnya, nasionalisme yang mengusung kecintaan dan kesetiaan pada Tanah Air, bangsa, dan negara dianggap bisa mengganggu, mengurangi, bahkan bertolakbelakang dengan ajaran agama yang mengajarkan kataqwaan pada Allah Swt.

Terlebih, bagi kelompok radikal atau para pengusung gerakan khilafah, semangat nasionalisme kerap dipermasalahkan dan dianggap melenceng dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Akibatnya, dalam level yang ekstrem, muncul kabar-kabar tentang pelarangan menghormati simbol-simbol negara. Bahkan, mengikuti dasar negara Pancasila dan undang-undang dasar dianggap dilarang karena merupakan produk buatan manusia, bukan dari Allah.

Bagaimana mestinya memandang hal tersebut? Apakah benar bahwa nasionalisme bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai dalam ajaran Islam? Tentunya, sebagai muslim, kita meski bijak memandang hal tersebut. Segala sesuatu bisa dilihat dari segi manfaat dan mudaratnya. Dalam hal ini, kita mesti bisa berpikir jernih untuk benar-benar melihat nasionalisme seperti apa yang diusung dan diperjuangkan. Sebab, dalam semangat nasionalisme, ada hal-hal yang bersifat positif, bermanfaat, dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama. Namun, tak bisa dipungkiri jika dalam perkembangannya, ada pula jenis nasionalisme yang terlalu ekstrem, sampai-sampai mengesampingkan ajaran agama.

Nasionalisme dan Agama

Jika nilai-nilai Islam yang memengaruhi nasionalisme, seperti kecintaan dan pembelaan pada tanah air serta perlawanan terhadap penjajahan yang diperjuangkan demi menegakkan keadilan, persatuan, dan persaudaraan kemanusiaan—seperti diajarkan dalam Islam, kita tentu sepakat itu tak menjadi masalah. Bahkan itu hal yang positif.

Seperti diungkapkan Hasan al-Bana (Al I’tishom: 2007) apabila yang dimaksud nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain, maka nasionalisme tersebut bisa diterima, bahkan dalam kondisi tertentu bisa dianggap kewajiban.

Lebih lanjut, Hasan Al-Banna membuat garis pembatas antara nasionalisme Islam dan nasionalisme radikal. Ia berpendapat jika pembatas nasionalisme Islam adalah akidah itu sendiri, sementara batasan dari nasionalisme radikal adalah territorial negara dan batas geografis. Nasionalisme Islam dijiwai spirit ajaran Islam yang membawa kebaikan bagi kehidupan bersama. Sedangkan, nasionalisme radikal memiliki sisi negatif, dan semakin terlihat di tataran aplikatif. Misalnya, nasionalisme radikal mendorong orang memperkuat bangsanya dengan pelbagai cara, termasuk dengan merugikan atau menzalimi bangsa lain dengan cara menjajah, memerangi, dan sebagainya.

Dari sini, kita paham bahwa nasionalisme yang dimaknai dalam batas-batas yang sesuai ajaran Islam, atau bahkan didasari oleh nilai-nilai yang sejalan dengan Islam, tidak menjadi persoalan, bahkan dianjurkan. Artinya, ada nilai-nilai di antara agama dan nasionalisme yang bisa bersinergi satu sama lain.

BACA JUGA  Brutal Religiosity: Telaah Ulang Identitas Terorisme

Sejarah bangsa ini memberi kita banyak contoh dan pelajaran tentang bagaimama agama dan nasionalisme bersinergi dan membawa manfaat besar bagi bangsa. Di zaman perang mempertahankan kemerdekaan, Resolusi Jihad yang dikeluarkan ulama besar Hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari memberi gambaran tersebut. Ada satu kisah menarik tentang hal ini.

Suatu ketika, Soekarno bertanya pada KH. Hasyim Asy’ari, “Apakah hukumnya membela tanah air bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al-Quran? Sekali lagi, membela tanah air?” Pertanyaan Soekarno tersebutlah yang kemudian menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi keputusan KH. Hasyim Asy’ari dan beberapa ulama lainnya untuk mengeluarkan Resolusi Jihad (Abadul Hadi; 2018).

Jika kita cermati, pertanyaan Bung Karno seperti meminta kejelasan: apakah membela Tanah Air berarti bukan, berbeda, atau bahkan bertolakbelakang, dengan membela Islam? Dan keputusan KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad menandakan bahwa antara agama dan nasionalisme bisa bersinergi, bahkan ajaran Islam bisa menjiwai semangat nasionalisme. Dari KH. Hasyim Asy’ari, kita bahkan mengenal ungkapan hubbul wathon minal iman: cinta tanah air sebagian dari iman.

Menatap Hubungan Harmonis

Resolusi Jihad dan meletusnya perang di pelbagai daerah untuk mengusir penjajah, memberi gambaran sinergi harmonis antara nasionalisme dan penegakan ajaran Islam, yakni antara kecintaan pada Tanah Air dan perjuangan memberantas kedzaliman bangsa penjajah.

Spirit agama dan nasionalisme yang bersinergi di bumi Nusantara, selain bisa dilacak dari sejarah perlawanan melawan penjajah, jejaknya juga bisa kita lihat dari tata letak ruang di pelbagai kota di Indonesia. Seperti pernah diungkapkan KH. Said Aqil Siraj, menyatunya nasionalisme dan Islam di Indonesia bisa dilihat dari letak bangunan masjid, kantor pemerintahan, dan alun-alun yang saling berdekatan. Masjid menjadi simbol ulama, kantor pemerintahan simbol umaro, dan alun-alun sebagai simbol rakyat (NU Online, 28/1/2017).

Tata letak atau formasi masjid, kantor pemerintahan, dan alun-alun yang saling berdekatan merepresentasikan bahwa sejak dahulu, bangsa ini memiliki kearifan memadukan antara semangat berbangsa dan bernegara dengan semangat beragama. Jika di masa-masa penjajahan, agama dan nasionalisme bersinergi melawan penjajahan, maka di masa sekarang, perpaduan antara keduanya mesti bisa ditransformasikan untuk membangun bangsa.

Kita melihat bahwa sinergi antara keduanya bisa menciptakan kekuatan dan potensi besar bagi bangsa ini. Artinya, harmoni antara spirit nasionalisme dan ajaran agama sekarang harus bisa dipadukan untuk menjawab dan mengatasi pelbagai problem bangsa saat ini. Seperti kemiskinan, korupsi, keadilan, hukum, dan hingga upaya melawan penyebaran paham radikalisme-terorisme.

Semangat nasionalisme seperti persatuan dan persaudaraan sebangsa, bisa bersinergi dengan semangat menegakkan keadilan yang menjadi bagian penting dari ajaran Islam, untuk kemudian membangun kehidupan bangsa dan negara yang adil, makmur, sejahtera, sekaligus damai dan harmonis. Ajaran Islam yang menyebarkan kebaikan dan kedamaian di muka bumi, bisa bersinergi dengan kecintaan pada tanah air yang menjadi nafas nasionalisme, untuk kemudian membentuk bangsa Indonesia yang bersatu dan damai dalam keberagaman.

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru