26.3 C
Jakarta

Harlah NU ke 95; Membangun Kontra Narasi Wacana Keagamaan di Medsos

Artikel Trending

KhazanahPerspektifHarlah NU ke 95; Membangun Kontra Narasi Wacana Keagamaan di Medsos
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada tanggal 31 Januari 2021, usia Nahdlatul Ulama (NU) genap 95 tahun dalam hitungan kalender Masehi dan akan memasuki usia ke 98 tahun dalam Kalender Hijriyah yaitu 16 Rajab 1344 yang tepat pada 28 Februari 2021. Dalam kurun waktu yang relatif panjang itu, sudah banyak hal yang telah dilakukan oleh NU, baik pada ranah keagamaan, sosial, politik, ekonomi dan pendidikan. Pada masa-masa awal itu, NU sudah melakukan berbagai upaya untuk memajukan masyarakat Indonesia.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah di bidang pendidikan dengan mendirikan banyak madrasah dan pesantren. Pada aspek sosial kemasyarakatan, peran NU juga tidak kalah besarnya mulai dari merumuskan konsep Negara Indonesia, menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika Indonesia merdeka, NU juga terus melanjutkan hidmatnya melalui kegiatan-kegiatan sosial politik dan gerakan kemanusiaan. Atas jasa-jasanya ini, NU layak disebut sebagai salah satu benteng NKRI.

Akan tetapi masih di era teknologi yang semakin canggih ini, tantangan NU semakin berat. Tidak cukup hanya mengandalkan gerakan-gerakan konvensional baik, pada aspek dakwah, kaderisasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Mengapa, kehidupan manusia hari ini telah melampaui dunia nyata, walaupun sebagian besar warga NU hidup di desa-desa dan di pinggiran kota, akan tetapi keterhubungan terhadap teknologi juga sudah mulai menguat.

Gerakan Islam Politik di Medsos

Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa tantangan NU semakin berat tatkala teknologi semakin canggih. Sebagian besar warga NU atau Nahdliyin awam teknologi karena hidupnya sebagian besar berada dipinggiran kota, sehingga tidak terlalu mengikuti perkembangan teknologi. Karena awam teknologi, sehingga menganggap bahwa setiap informasi baik beruta video, meme foto dan narasi-narasi negatif dianggap sebagai sebuah fakta dan kebenaran.

Dalam situasi yang demikian iti, nahdliyin yang awam teknologi akan mudah menerima propaganda negatif terhadap NU dan elit-elitnya. Akibatnya, banyak dari kalangan nahdliyin sendiri yang antipati terhadap NU dan elit-elitnya. Yang banyak menjadi korban atas narasi-narasi semacam ini justru bukan orang awam tapi adalah tokoh-tokoh agama yang awam terhadap teknologi, sehingga tidak heran jika banyak tokoh-tokoh NU di akar rumput bersikap antipati terhadap elit-elit NU. Ini semua akibat narasi-narasi propaganda negatif terhadap NU di media sosial, facebook, Youtube, Instagram, Twitter dan lain-lain.

Fakta menunjukkan bahwa, belakangan ini tokoh-tokoh atau elit-elit NU seringkali menjadi seringkali menjadi objek caci maki di Media Sosial, mulai dari Kiai Said Aqil hingga Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus). Bahkan, caci maki seringkali datang dari warga NU sendiri karena tidak adanya kontra narasi terhadap informasi-informasi negatif terhadap NU. Dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun lalu misalnya, banyak para elit NU yang menjadi sasaran kritik dan caci maki para pengasong Islam Politik di media sosial, karena mendukung bapak Joko Widodo yang berpasangan dengan Kiai Makruf Amin mantan Rois Am PBNU.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme: Narasi Keislaman Mengatasi Ekstremisme

Dukungan NU kepada bapak Jokowi tersebut dianggap tidak berpihak kepada umat Islam. Pasalnya, pada periode sebelumnya Pak Jokowi dianggap banyak mengkriminalisasi ulama. Sehingga dengan mendukung bapak Prabowo yang berpasangan dengan bapak Sandiaga Uno kala itu dianggap sebagai bentuk pembelaan dan perjuangan umat Islam. Padahal  yang mereka lakukan adalah gerakan politik yang mengatasnamakan agama. Gerakan-gerakan semacam ini, belakangan memang massif di media sosial, dengan propaganda dan caci makinya.

Sehingga, belakangan NU seakan tidak lagi tampak sebagai aktor utama dalam gerakan dakwah Islam dan percaturan wacana keislaman. Gaung keislaman HTI dan FPI tampak lebih brisik dengan ide khilafah dan penerapan syariat Islam di Indonesia dibanding NU dan Muhamadiyah sebagai Ormas Islam yang kental dengan keislaman dan keindonesiaanya.

Kontra Narasi

Dalam konteks itu, jelas NU tidak boleh tinggal diam. Para elit dan petinggi NU tidak boleh tinggal diam terhadap gerakan radikalisme yang telah menguasai media sosial. Walaupun secara ideologis, radikalisme ini tidak bisa dihilangkan, tapi NU harus melakukan kontra narasi baik di dunia nyata maupun di media sosial. Harus diakui bahwa, 95 tahun yang lalu NU didirikan sebagai kontra narasi paham radikalisme dalam agama Islam. Saat ini, di kala NU sudah berusia 95 tahun ancaman radikalisme dalam Islam semakin nyata terutama di media sosial melalui propaganda dengan cara menyesat dan membid’ahkan amaliah NU.

Selain itu, langkah yang bisa dilakukan dalam membendung radikalisme posisi NU sebenarnya sangat strategis. Karena NU, memiliki sumberdaya dan jaringan yang kuat terutama kepada akar rumput masyarakat. Dalam mencegah radikalisme ini, NU bisa berkolaborasi dengan pemerintah dengan cara mengatasi kesenjangan ekonomi, sosial dan politik yang selama ini menjadi salah satu pemicu gerakan radikalisme.

Dengan demikian, NU bisa kembali menjadi agen penyebar pesan Islam ahlussunnah wal jamaah yang penuh dengan kedamaian, tawasuth, tasamuh, tawazun dan i’tidal kepada masyarakat untuk melawan ide-ide radikal dan ekstrimis. Karena NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan mampu berbaur dengan masyarakat berbagai lapisan, sehingga ruan untuk berinteraksi, berdialog, dan bertransformasi pemikiaran keagagamaan lebih mudah. Sehingga wacana dan diskursus keagamaan yang selama ini identik kelompok Islam Politik (kelompok yang menjadikan Islam sebagai aspirasi politik) kembali dikendalikan oleh NU. Wallahu Alam

 

Mushafi Miftah
Mushafi Miftah
Kader Muda NU Jawa Timur dan Dosen Universitas Nurul Jadid serta Kandidat Doktor di Universitas Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru