25.7 C
Jakarta

Harlah Ke-95 NU, Komitmen Menghormati Pemerintah dan Merawat NKRI Sampai Mati

Artikel Trending

KhazanahOpiniHarlah Ke-95 NU, Komitmen Menghormati Pemerintah dan Merawat NKRI Sampai Mati
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Salah satu perilaku buruk yang seringkali mewarnai dunia maya dan dunia nyata di bumi NKRI adalah sikap meremehkan dan menghina pemerintah, baik karena tidak suka kepada sosok pemerintah maupun karena tidak puas terhadap kebijakan dan kinerjanya. Tentu meremehkan dan menghina sangat berbeda dengan mengkritik.

Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, mengkritik kebijakan dan kinerja pemerintah adalah boleh selama dilakukan secara elegan sesuai koridor hukum yang berlaku. Dalam Islam sendiri, Allah memerintahkan umat Islam saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran (al-‘Aṣr (103): 3). Dengan demikian, kritik kepada kebijakan dan kinerja pemerintah merupakan bagian dari saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. Hal ini ditujukan agar pemerintah tidak berbuat sewenang-wenang dan mengabaikan undang-undang dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Oleh karena itu, ketidakpuasan terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah seharusnya disampaikan dengan cara elegan yang konstitusional (seperti kritik yang berdasarkan fakta, data, dan keilmuan), bukan dilampiaskan di media sosial dengan sikap meremehkan dan menghina sosok pemerintah itu sendiri.

Pesan Rasulullah saw. bagi Orang yang Suka Meremehkan Pemerintah

Penulis mengutip sebuah hadis dari kitab Naṣâ’iḥ al-‘Ibâd karya Imam Nawawî al-Jâwî yang banyak dikaji di pesantren-pesantren di seantero bumi Nusantara, yaitu: “Barangsiapa merendahkan lima golongan, maka dia merusak lima perkara, yaitu: barangsiapa meremehkan ulama, maka dia merusak agama; barangsiapa meremehkan pemerintah (umara), maka dia merusak dunia; barang siapa meremehkan tetangga, maka dia merusak beberapa kebaikan; barangsiapa meremehkan kerabat, maka dia merusak kasih-sayang di antara mereka; barangsiapa meremehkan keluarganya, maka dia merusak kebaikan penghidupan (hlm. 29-30).”

Menurut Imam Nawawî al-Jâwî, ulama adalah tambangnya syariat Islam. Oleh karena itu, Muslim yang tidak memuliakan dan menghormati ulama, maka dia sama saja merusak agama itu sendiri. Begitu pula dengan umara, di mana orang yang merendahkan umara sama saja dengan merusak kehidupan di dunia. Sebab, umara (pemerintah) adalah pengendali dan pengatur urusan-urusan hidup di dunia (hlm. 30).

Dengan demikian, secara sederhana dapat dipahami bahwa hadis tersebut menekankan pentingnya menghormati dan memuliakan para pemimpin (pemerintah). Sebab, mereka adalah pengatur tatanan kehidupan dunia. Sehingga meremehkan pemerintah sama saja dengan menghancurkan kehidupan dunia itu sendiri.

Pentingnya menghormati dan memuliakan para pemimpin (pemerintah) juga ditekankan oleh Maulana Habib Luthfi bin Yahya. Dalam salah satu ceramahnya di Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga (2018), Habib Luthfi mengatakan bahwa salah satu bentuk “ḥamdu ḥâdiśin li ḥâdiśin (pujian makhluk kepada sesama makhluk)” adalah menghormati dan memuliakan pemimpin (pemerintah).

Ḥamdu ḥâdiśin li ḥâdiśin ini merupakan bagian keempat dari jenis “ḥamdu (pujian)” yang diajarkan di pesantren-pesantren melalui kitab Nûr aẓ-Ẓalâm karya Imam Nawawî al-Jâwî (hlm. 3-4). Disebutkan bahwa empat jenis “pujian (ḥamdu)” adalah: ḥamdu qadîmin li qadîmin (pujian Allah kepada Diri-Nya Sendiri), ḥamdu qadîmin li ḥâdiśin (pujian Allah kepada makhluk-Nya), ḥamdu ḥâdiśin li qadîmin (pujian makhluk kepada Allah), dan ḥamdu ḥâdiśin li ḥâdiśin (pujian makhluk kepada sesama makhluk).

Oleh karena itu, Habib Luthfi menekankan agar masyarakat Indonesia senantiasa menghormati para pemimpin (pemerintah) Indonesia dari dari tingkat paling rendah seperti ketua RT (Rukun Tetangga) hingga ke tingkat paling tinggi seperti presiden. Bangsa Indonesia harus memberikan teladan kepada bangsa lain, dan orang tua harus memberikan teladan kepada pemuda dan anak-anak dalam hal menghormati pemimpin (pemerintah).

Artinya, kalau bangsa Indonesia sendiri sudah meremehkan para pemimpinnya, maka jangan salahkan jika bangsa lain meremehkan pemerintah dan bangsa Indonesia. Kalau orang tua, para pendidik, tokoh agama, dan tokoh masyarakat sudah meremehkan para pemimpinnya, maka jangan salahkan jika generasi muda tidak menghormati para pemimpin (pemerintah) Indonesia.

Di sisi lain, KH. Muhammad Syamsul Arifin (Pengasuh VI Pesantren Banyuanyar Pamekasan) pernah menjelaskan dalam salah satu ceramahnya bahwa kebahagiaan akhirat akan diperoleh apabila dikerjakan di dunia. Salah satu perbuatan baik di dunia yang bisa mengantarkan seorang Muslim masuk ke dalam surga adalah taat kepada aturan pemerintah (ulil amri) yang merupakan pengurus kehidupan dunia.

Dalam hal ini, KH. Muhammad Syamsul Arifin berkata: “Oréng terrô masoah dha’ kâ soarghah, kôduh asôlat; kôduh atôro’ dha’ kâ oréng tôwah; koduh atôro’ dha’ kâ atôran pemerintah, atôro’ dha’ kâ ulil amri. Ulil amri nîkah pangator dunyah (orang yang ingin masuk surga harus salat; harus taat kepada orang tua; harus taat kepada aturan pemerintah, taat kepada ulil amri. Ulil amri itu pengurus kehidupan dunia).”

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Dalam kebudayaan masyarakat Madura sendiri dikenal istilah: “bapa’-bapu’, ghuru, ratoh (bapak-ibu, guru, raja/pemerintah)”. Dalam hal ini, kedua orang tua, guru, dan pemimpin (pemerintah) harus dihormati dan dimuliakan apabila menghendaki kedamaian dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Pentingnya Keadilan Umara bagi Kehidupan Dunia

Sebuah perkataan yang disinyalir dari Imam Ibnu Taymiyyah menyebutkan bahwa enam puluh tahun di bawah rezim yang zalim lebih baik daripada semalam tanpa rezim (lasittûna ‘âman fî sulṭânin jâ’irin aṣlaḥu min lailatin bi lâ sulṭânin). Sebab, tatanan hidup manusia di dunia akan kacau-balau dan hancur lebur tanpa adanya aturan dari seorang pemimpin. Mereka akan saling memangsa satu sama lain dan menumpahkan darah di mana-mana untuk memuaskan kepentingan masing-masing.

Namun demikian, keadilan pemerintah kepada seluruh rakyatnya wajib diperhatikan dan diperjuangkan. Sehingga pemerintahan tersebut memberikan kemaslahatan kepada semua rakyatnya, dan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah. Hal ini dipahami dari perkataan dalam kitab al-Ḥisbah fî al-Islâm karya Imam Ibnu Taymiyyah, yaitu: “allâhu yanṣuru ad-dawlah al-‘âdilah wa in kânat kâfiratan wa lâ yanṣuru ad-dawlah aẓ-ẓâlimah wa in kânat mu’minah (penerbit Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, hlm. 7). Artinya, Allah akan senantiasa menolong negara adil meskipun berada dalam kekafiran dan tidak akan menolong negara zalim meskipun berada dalam keislaman.

Di sisi lain, Syekh Utsmân al-Khawbawî menyebutkan hadis dalam Durrah an-Nâṣiḥîn, yaitu: “Kokohnya kehidupan dunia karena empat hal: pertama, karena ilmunya para ulama; kedua, karena adilnya para pemimpin (pemerintah); ketiga, karena dermawannya orang-orang kaya; dan keempat,  karena doanya orang-orang fakir.”

Menurut Syekh Utsmân al-Khawbawî, tanpa ilmunya para ulama, maka orang-orang bodoh akan celaka; tanpa dermawannya orang-orang kaya, maka orang-orang fakir akan celaka; tanpa doanya orang-orang fakir, maka orang-orang kaya akan celaka; dan tanpa adilnya para pemimpin, maka manusia akan saling memangsa satu sama lain seperti serigala memangsa kawanan domba (hlm. 18).

Rusaknya Agama karena (Rusaknya) Ulama dan Rusaknya Dunia karena (Rusaknya) Umara

Imam ‘Abdillâh bin ‘Alawî al-Ḥaddâd (ulama dan wali quthub terkemuka asal Tarim, Yaman) menyebutkan bahwa pihak yang paling efektif untuk merusak agama adalah ulama (yaitu ulama yang sudah rusak akhlak dan keberagamaannya), dan pihak yang paling efektif untuk merusak kehidupan dunia adalah umara (yaitu umara yang sudah rusak hati dan pikirannya untuk mengatur urusan dunia sesuai aturan yang benar).

Oleh karena itu, ketika para ulama rusak, maka agama (Islam) akan rusak, dan ketika para umara rusak, maka kehidupan dunia akan rusak. Sebab, kokohnya suatu perkara tergantung kepada pemimpinnya. Ketika pemimpinnya berubah, maka barang tentu pihak yang dipimpin akan berubah juga. Dalam hal ini, pemimpin urusan agama adalah ulama dan pemimpin urusan dunia adalah umara (Habib Zein bin Smith, al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 99-100).

Dengan demikian, ulama dan umara harus saling dukung dan bekerjasama dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemaslahatan dan menolak kezaliman dan kemudaratan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka harus saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran dan saling menghormati satu sama lain. Dalam hal ini, ulama tidak boleh meremehkan umara, dan umara tidak boleh meremehkan ulama. Hal ini sangat penting demi kebaikan dan keharmonisan kehidupan dunia dan agama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta.

Akhirnya, selamat Hari Lahir Nahdlatul Ulama (Harlah NU) ke-95, yang sampai sekarang tetap setia merawat NKRI dan mendidik generasi bangsa agar menghormati para pemimpin (pemerintah) dan mencintai tumpah darah Indonesia. Tentu menghormati pemerintah ini tetap disertai sikap kritis nan elegan terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah yang tidak berpihak kepada keadilan dan kemaslahatan bangsa Indonesia. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.A.
Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.A.
Alumni Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogykarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru