32.1 C
Jakarta

Hari Valentine, Tradisi Negatif Kita, dan Aksi Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamHari Valentine, Tradisi Negatif Kita, dan Aksi Terorisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari ini, 14 Februari, adalah Hari Valentine. Orang-orang, melalui media sosial mereka, menyambutnya sebagai hari kasih sayang. Bunga-bunga bertebaran. Keluarga saling berucap selamat dengan mesra. Dan pemuda-pemuda, dengan tingkat kenakalannya masing-masing, menjadikannya kesempatan bercinta dengan kekasihnya. Tapi mereka tak menyadari, di balik semua itu, teroris memperhatikan mereka.

Valentine Day memang telah jadi seremoni tahunan yang, sering kali, di kalangan remaja negara ini, konotasinya negatif. Meski tidak semua, ini telah menjadi rahasia umum. Sejarah Valentine Day yang berdarah-darah, seperti di Chicago 14 Februari 1929, terlupakan. Ancaman teroris untuk menebarkan teror di Hari Valentine pun tidak banyak yang mengingat. Mereka lupa, bagi teroris, Valentine Day sangatlah dibenci.

Lalu mengapa teroris sangat membenci Hari Valentine?

Ini bisa dilihat secara lanskap melalui apa tradisi lumrah masyarakat di hari tersebut, dan pada saat yang sama, apa yang diinginkan teroris pada masyarakat itu sendiri. Di sini akan melakukan refleksi bahwa terorisme di Hari Valentine, yang rentan sekali, tidak terjadi di ruang kosong. Ia adalah pergelutan antara yang ideal dengan empiris—antara kultur masyarakat dengan budaya teroris.

Kita boleh jadi mengatakan, negara ini aman dari teror, dengan melihat kinerja masif aparat kepolisian dan Densus 88 dalam menanggulangi terorisme. Namun kita tidak bisa menghapus kebencian yang ada dalam diri teroris, dan kita hanya kuasa untuk mengontrol diri sendiri dan menjauhi kemungkinan terburuk yang akan mereka lakukan pada kita.

Hari Valentine, Hari Terorisme?

Valentine tetaplah Valentine. Ia, bagi sementara orang, boleh jadi merupakan momentum kasih sayang, terlepas dari sejarahnya. Hari Valentine membudaya di Indonesia sebagai hari saling berucap kasih, terutama untuk orang terdekat. Namun dulu dan kini ihwal Valentine sering kali kontras dan, nahasnya, ketidaksesuaian antara yang dulu dan sekarang itu menjadi pengkal bertambahnya kebencian teroris pada Hari Valentine itu sendiri.

Singkatnya, Hari Valentine telah dikotori oleh tradisi negatif sebagian masyarakat kita; mengotasikannya sebagai hari seks bebas—padahal tidak demikian. Ada semacam stimulus yang kemudian direspons teroris, bahwa mereka melakukan teror sebagai bentuk protes atas fakta sosio-kultural yang mereka anggap penuh kekufuran, kesesatan, dan kethaghutan. Maka para teroris mencatat hari ini sebagai momen untuk meneror.

Tetapi apakah Hari Valentine bisa digeneralisasi sebagai hari terorisme, lalu kita semua harus takut? Jelas tidak. Kita hanya perlu waspada diri bahwa Hari Valentine bagi teroris adalah momentum amaliah; mereka tidak akan segan melakukan aksi teror di tempat-tempat Valentine. Terorisme tidak dianggap sebagai aksi brutal, melainkan sarana memerangi kebatilan. Namun rentan atau tidak, itu kembali pada aparat dan kinerjanya.

BACA JUGA  Menelisik Madrasah dan Diseminasi Ideologi Radikal di Indonesia

Sejauh ini aparat masih mendominasi perang melawan tero, sehingga Hari Valentine aman-aman saja tanpa sesuatu yang menakutkan. Meski demikian, kita tidak boleh berbuat semena-mena, seperti melestarikan tradisi negatif di Hari Valentine. Sebab, itu akan memancing amarah teroris, dan memantik genderang perang kepada mereka.

Mengapa Teroris Memusuhi Valentine?

Jadi mengapa teroris sangat membenci Hari Valentine? Mengapa seandainya aparat di negara ini tidak bergerak masif, para teroris akan beraksi di Hari Valentine dan menjadikannya sebagai momentum berdarah-darah? Mengapa hari kasih sayang mereka tanggapi dengan rencana pengeboman dan segala teror lainnya?

Ada tiga alasan yang kita temukan di sini. Pertama, budaya Valentine dianggap sebagai budaya Barat atau budaya Salibis yang sangat jauh dari Islam. Teroris menganggap umat Islam yang merayakan Hari Valentine sebagai orang yang kena penyakit sesat, karena merayakan suatu budaya yang bertentangan dengan agamanya sendiri. Teroris menganggap mereka, orang yang ber-Hari Valentine, telah menodai Islam. Mereka benci dan akan menerornya.

Kedua, tradisi negarif masyarakat di Hari Valentine. Biasanya, yang kita dengar-dengar hari ini, terutama di kalangan pemuda, Valentine identik dengan seks bebas dan atau tradisi-tradisi negatif lainnya yang jelas-jelas dibenci teroris. Para teroris kemudian bercita-cita melakukan nahi munkar, mencegah kemungkaran, yang mengitari Hari Valentine itu sendiri. Untuk tujuan tersebut, terorisme pun menjadi jalan tempuh mereka.

Ketiga, simbol permusuhan dan perlawanan. Teroris yakin, bahwa Hari Valentine buruk dari segala sisi: historis, kultural, dan sosialnya. Karena itu, ketika Valentine semarak dengan kampanye kasih sayang, teroris menganggap itu semua palsu, lalu menabuh perang dengan cara mengisi hari tersebut dengan berbagai kekerasan. Maka setiap Hari Valentine, mereka akan menebarkan teror. Bagi mereka, itu adalah simbol perlawanan terhadap kekafiran.

Sudah jelas, bukan? Jadi antara Hari Valentine, tradisi negatif sebagian orang dari kita, dan aksi teror itu memiliki keterkaitan. Karenanya, Valentine harus diisi dengan tradisi positif seperti menyantuni anak yatim sebagai wujud kasih sayang. Jika seks bebas menyeruak sebagai wujud kasih sayang, maka tunggulah teror-teror akan bertebaran, dan yang kena imbasnya bukan hanya pelaku tradisi negatif tersebut, melainkan kita semua; seluruh rakyat Indonesia.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru