31.4 C
Jakarta

Hari Raya Corona

Artikel Trending

KhazanahOpiniHari Raya Corona
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tahun ini, Corona membuat ritual Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri menjadi berbeda karena aroma silaturahmi yang tak sama. Mungkinkah ritual-ritual ini lebih berbau kultural? Namun bagi sebagian orang, semangat ibadah dunia akhirat mereka meningkat tajam di bulan Ramadan hinggar hari raya. Di titik ini, terlihat konfigurasi multi dimensi dari agama: spiritual, sosio-kultural, ekonomi (zakat), dan lingkungan (responsible consumption-should be).

Tapi sayang, tak banyak yang melanjutkan semangat Ramadan pasca hari raya. Giat ibadah, berbagi, dan menjaga konsumsi-semua kembali pada business as usual di sebelas bulan berikutnya. Tidak banyak new normal setelah Ramadan dan hari raya, sehingga ritual ini menjadi semacam siklus.

Islam hanya ‘salah satu’ guide for sustainable life. We are raised by our parents to follow their religions. Mungkin kita butuh perjalanan spiritual di luar zona nyaman itu.

Lahir dan besar di Minangkabau, ayal membuat saya dibalut sarung dan tembok keislaman. Saat berusia sepuluh tahun, saya bahkan bercita-cita sekolah ke pesantren Gontor, Kairo, hingga jadi ulama. Hal ini tak lepas dari pengaruh sang ayah bersama Jamaah Tabligh.

Kendala ekonomi menggagalkan rencana ke Gontor, masa remaja pun akhirnya kembali ke sekolah konvensional. Namun di Sumbar…adat basandi syarak, sehingga Islam tetap menjadi benteng.

Masa merantau pun akhirnya tiba, kuliah ke ibu kota membuka wawasan lebih lebar pada dunia, termasuk agama. Perkenalan pada Muhammadiyah, Nahdhiyyin, Islam liberal, Sunni, Syiah, ateis, agnostik membuka mata dan pikiran saya untuk menggali keyakinan di luar benteng Islam Minangkabau, juga hari raya beragam. Rasanya terlalu prematur untuk merasa jadi yang paling benar, tanpa pernah mengenal ragam keyakinan atas semesta.

Semangat belajar keyakinan berlanjut usai kuliah di Jakarta. Di Kanada, saya mencoba ikut ritual ibadah suku Indian Mi’kmaq yang memanaskan diri di dalam pondok untuk berkomunikasi dengan spirit leluhurnya. Pengalaman ini membuat saya saat itu marah pada mereka yang biasa memberi label kafir pada non-Muslim, tanpa tahu ragam upaya berbagai umat menuju Tuhan.

Di Kanada, saya juga diberi hadiah Bibel oleh seorang teman. Di dalam bibel, saya temukan sejumlah kisah, himbauan dan pesannya yang serupa dengan Al-Qur’an: berarti memang Kristen bersaudara dengan Islam dan Yahudi sebagai agama samawi.

Pulang dari Kanada, perjalanan berlanjut. Program volunteer di Kanada mendekatkan saya dengan teman Hindu. Disini saya mulai belajar tentang agamanya dan membaca Bhagavad Gita. Indian religion (Hindu, Budha) mengandung banyak sekali kearifan tentang filosofi kehidupan. Pemaknaan saya terhadap kelompok keyakinan ini berlanjut sampai saat saya ditempatkan bekerja di Bali. Trihita Karana diamalkan dengan baik sampai ke generasi muda, menjaga hubungan baik manusia, Tuhan, dan lingkungan.

Usai Bali, saya melanjutkan sekolah ke Eropa dan belajar ke Amerika. Di Belanda, New York, dan Inggris, saya merasakan kebahagiaan saat berada di mesjid bersama Muslim lainnya. Mungkin rasa ini timbul dari kenyamanan pada persamaan, lagi lagi kultural, karena perasaan yang sama juga dirasakan saat saya di Qatar bersama mayoritas Muslim. Di lain sisi, kadang juga, saya pikir rasa itu timbul karena lebih kuat hadirnya ‘kekuatan lain’ di sana. Di saat yang sama di Eropa dan Amerika, saya merasakan kekeringan panduan spiritual pada masyarakatnya yang somehow berpengaruh pada angka depresi dan bunuh diri. Yet, in general, their quality of life is so much better karena berkembangnya ilmu pengetahuan mereka.

BACA JUGA  Film 13 Bom di Jakarta, Bukti Terorisme Itu Brutal dan Tidak Boleh Terulang

Nietzsche argue that God is dead ketika ilmu pengetahuan dan sains semakin berkembang. Saya pun dulu sempat meyakini bahwa Tuhan adalah bagian yang tidak terjawab oleh sains masa lalu.

Sekolah di Belanda sempat menguji iman ketika pembahasan seputar uncertainty, wicked problems, dan trade off antara nilai agama dengan low carbon pathways. Sejumlah ritual di Islam (seperti konsumsi daging yang tinggi pada Idul Adha) berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca. Proses produksi daging sapi memerlukan sumber daya seperti lahan 10 kali lebih luas dan mengeluarkan emisi 10 kali lebih besar dibanding produksi daging ayam. Hal ini memicu percepatan climate change dan rentetan akibatnya.

Sekolah lebih tinggi, belajar lebih banyak-memang kadang membawa perenungan yang lebih dalam tentang keyakinan. But when I try to deny the God and his religion dan beriman pada sains, Abah mengingatkan: bukankah kita seharusnya beriman pada pencipta sains tersebut? Mana yang lebih dulu sains alam semesta atau penciptanya? Budha mengatakan itu bukan sesuatu untuk dipertanyakan.

Menurut Tan Malaka, Yang Maha Kuasa itulah bisa lebih kuasa dari sains (hukum) alam. Selama Alam Raya itu ada, selama itulah pula ‘undangnya’ Alam Raya itu berlaku. Menurut undang Alam Raya, benda itu mengandung kodrat dan menurut undang itulah caranya benda itu bergerak berpadu, berpisah, menolak dan menarik dan sebagainya.

Temuan-temuan di atas mengingatkan saya pada temuan sebelumnya, pada ragam Islam, agnostik, Kristen, Hindu, dan Mi’kmaq yang setiapnya punya pesan kebaikan. Yang lalu jika dirangkai akan tersangkut pada argumen: mungkin kita menuju satu pencipta yang sama, hanya kita memanggilnya dengan nama yang berbeda dan menafsirkan arahannya lewat interpretasi yang tak sama. Tidak ada kebenaran tunggal, yang ada ialah perspektif yang berbeda.

Dengan keyakinan yang sama, mungkin ini juga desain Tuhan bahwa momen hari raya/refleksi di setiap agama jatuh pada tanggal-tanggal yang berbeda. Ini berfungsi agar waktu pengingat tersebut terjadi sepanjang tahun, mengingatkan kita untuk menjaga semangat multi dimensi kebaikan, hidup bersama antara manusia, Tuhan, dan alam lingkungan.

Tahun ini Tuhan menambah satu lagi momen refleksi yang lebih dari sehari raya, yaitu bulan-bulan Corona, karena kita kurang merenung di hari-hari raya, lebih banyak ritual pesta, dan lupa menjaga keseimbangan alam semesta. Selamat Hari Raya Corona. Hari raya kali tidak sama dengan hari raya sebelumnya. Tetapi, tetap mari jadikan hari raya ini yang paling istimewa.

Alam takambang jadi guru

 

Ibnu Budiman, Hidup di Padang, Depok, Bali, Truro, Sei Gohong, dan Wageningen.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru