33 C
Jakarta

Hagia Sophia dan Pemelintiran Sosok al-Fatih di Tangan Hizbut Tahrir

Artikel Trending

KhazanahResonansiHagia Sophia dan Pemelintiran Sosok al-Fatih di Tangan Hizbut Tahrir
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perubahan masjid menjadi gereja, atau gereja menjadi masjid bukan perkaru baru dalam relasi agama di dunia, tidak hanya tentang Hagia Sophia. Guy Hedgecoe dalam Cordoba Controversy: Historic Mosque-Cathedral Mired in Cultural Dispute sebagaimana dilansir di america.aljazeera.com (24/5/2015) menceritakan bahwa, saat kembali menaklukkan Cordoba, umat Kristiani mendirikan sebuah katedral Katolik yang selesai pada tahun 1236 di jatung Masjid Agung. Sejak waktu itu semua gedung dipelihara oleh otoritas Gereja setempat dan hanya mengizinkan ritual Kristen. Pada tahun 1984, UNESCO membangun monumen dan status wilayah sekitarnya sebagai Situs Warisan Dunia. Tetapi banyak penduduk Cordoba merasa sedih dengan yang mereka saksikan saat Gereja Katolik berusaha mengambil alih monumen tersebut. Dalam literatur resmi dan brosur wisata, menyebut “Masjid-Katedral”, sebuah istilah yang mengakui warisan bersama. Namun tahun 1998, otoritas Katolik mengubah menjadi “Katedral (bekas Masjid)” dan sejak tahun 2010 secara resmi menjadi “Katedral Cordoba”.

Kita tidak akan membahas tentang sejarah perubahan fungsi Hagia Sophia. Membahas gedung dengan arsitektur indah itu di era sekarang, tidak hanya tentang setuju atau tidak karena difungsikan kembali menjadi masjid, tetapi juga dapat mengambil pelajaran terhadap kejadian tersebut. Manusia harus mengakui bahwa setiap kebijakan, pasti ada pro dan kontra, apalagi jika berhubungan dengan simbol keagamaan. Kita tidak akan membahas, apakah keputusan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk kebangkitan Islam, popularitas diri atau ada alasan lain? Pemuda bijak akan cerdas mengadapi setiap masalah dan mengambil hikmah atas segala peristiwa, termasuk urusan keagamaan, kebangsaan, dunia internasional dan lain-lain. Berbicara tentang Hagia Sophia, tidak lepas dari dua tokoh hebat, Sultan Muhammad al-Fatih dan Presiden Erdogan. Sultan al-Fatih yang telah menjadi pemimpin terhadap penaklukan Kota Konstantinopel dengan gedung Hagia Sophia, sementara Erdogan yang mengumumkan perubahan status dari museum menjadi masjid. Setidaknya ada tiga hikmah yang dapat diambil oleh pemuda dunia tentang kebijakan Sultan al-Fatih dan Erdogan atas Hagia Sophia, yaitu visi hidup, toleransi beragama dan cinta tanah air.

Visi Hidup

Secara realita, memang banyak usaha untuk mengalahkan Konstantinopel, namun tidak berhasil. Wajar saja Sultan al-Fatih memperoleh celaan dan hinaan karena dianggap telah melakukan rencana gila dan utopis, ketika akan menaklukkan ibukota Kekaisaran Bizantium itu. Visi hidup untuk membuktikan hadis bahwa kota yang sekarang bernama Istambul ini pasti ditaklukkan oleh pemimpin dan pasukan terbaik, sehingga Sultan al-Fatih semakin memiliki semangat membara yang tidak dapat digugah oleh siapa pun. Keimanan kuat dan kecerdasan hebat yang dimiliki mengantarkan cita-cita menjadi fakta, sehingga membuat para pengkritik diam seribu bahasa. Keinginan kuat Erdogan untuk membuka kembali Hagia Sophia sebagai masjid juga membuahkan hasil, yang sebelumnya dijadikan museum oleh pemimpin sekuler awal Turki, Mustafa Kemal Attaturk.

Kita tidak akan berdebat tentang bagaimana tanggapan dunia internasional dengan langkah Erdogan, karena ini dianggap tidak lepas dengan politik dan kepentingan belaka. Lahkah Sultan al-Fatih dan Erdogan harus diapresiasi, apapun agama dan kepentingan yang dimiliki. Sebab keduanya telah memberikan makna bahwa harus memiliki visi hidup kuat untuk mencapai impian, walaupun memperoleh cibiran. Kita pasti tahu Nabi Muhammad SAW, manusia terbaik sepanjang sejarah menurut Michael H. Hart saja, tidak lepas dari celaan para pembeci, apalagi hanya Sultan al-Fatih dan Erdogan dalam kasus Hagia Sophia.

Pemuda tangguh tentu memiliki visi hidup, bukan sekedar makan dan tidur yang menguras energi. Pemuda yang tentu menggunakan waktu sebaik mungkin, agar hidup terarah dan penuh tujuan. Maka tidak salah, sebagaimana esai penulis dalam judul KH. A. Wahid Hasyim: Inspirasi dan Motivasi (Tokoh Muda Pahlawan Nasional) dalam buku Tokoh Pemuda Indonesia yang diterbitkan oleh Deputi Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (2019) bahwa pemuda hebat tentu memiliki tujuan hidup. Tentu, tujuan hidup hanya akan menjadi imajinasi, jika tidak disertai doa dan usaha untuk menjemputnya.

Sultan al-Fatih, Hagia Sophia dan Toleransi Beragama

Setelah menaklukkan Konstantinopel, Sultan al-Fatih memasuki Hagia Sophia, bertemu dengan warga yang berbeda agama dengannya dengan memberikan kebebasan dalam menjalankan agama yang mereka yakini. Sebagai pemimpin terbaik, karena telah membuktikan kebenaran hadis, Sultan al-Fatih tentu sangat memahami bahwa Islam mengajarkan tentang toleransi agama dengan kuat. Bisa saja bagi Sultan al-Fatih dengan kekuasaan yang dimiliki guna memaksa mereka agar memasuki agama yang diyakini, tetapi langkah ini pasti bertentangan dengan ajaran Islam yang tidak mengenal istilah pemaksaan dalam berdakwah. Sebagaimana dalam republika.co.id (12/7/2020), Erdogan menegaskan bahwa seperti seluruh masjid, maka Hagia Sophia tetap terbuka untuk warga negara sendiri dan asing, serta untuk muslim dan non-muslim.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Toleransi yang diajarkan Islam adalah moderat. Tidak ada toleransi dalam urusan keyakinan, misal saja mengikuti perayaan ritual agama lain yang jelas dilarang oleh Islam. Namun, secara sosial, agama penuh keindahan ini justru menganjurkan semua pemeluknya untuk memberikan kedamaian kepada pemeluk agama lain. Pemuda tangguh tentu tidak akan bertanya apa agama seseorang yang kecelakaan di tengah jalan, karena baginya tidak penting. Apalagi berdasar Alquran Surat al-Isra ayat 70, Allah SWT memuliakan seluruh anak Adam. Al-Habib Ali bin Abd. al-Rahman al-Jufriy dalam buku Al-Insaniyyah Qabla al-Tadayyun (2015) menegaskan bahwa kemanusiaan dilakukan sebelum sikap keberagamaan.

Mohammad Ahmed Qadri (2004: 5) dalam Peace and Tolerance in Islaal-Fatial-Fatim menyatakan bahwa hidup damai bisa terealisasi dengan kehadiran sikap toleran antar sesama. Eksistensi toleransi dalam sebuah komunitas akan memberikan dampak berupa perdamaian. Gesekan dan peperangan terjadi karena tidak memiliki sikap menghargai antar sesama. Ammar Fadzil (2011: 347) dalam Religious Tolerance in Islam: Theories, Practices and Malaysia’s Experiences as a Multi Racial Society menegaskan bahwa, prinsip dasar Islam adalah karakter toleran. Pemuda masa kini tentu harus mempunyai sikap toleran terhadap semua perbedaan, baik dari segi agama, budaya dan lainya.

Cinta Tanah Air yang Dipelintirkan Hizbut Tahrir

Sikap cinta tanah air Sultan al-Fatih salah satunya dapat dibuktikan dengan melestarikan Hagia Sophia agar tetap eksis sebagai simbol kemenangan yang harus dirawat dan dilestarikan agar menjadi motivasi bagi pemuda setelahnya untuk terus gigih mempertahankan negara dan bermanfaat untuk sesama. Karakter Erdogan yang tidak peduli atas ocehan sejumlah negara karena mengubah Hagia Sophia dari museum menjadi masjid adalah salah satu sikap nasionalisme yang dimiliki. Seperti yang ditulis dalam republika.co.id (12/7/2020), bagi Erdogan, mengubah status Hagia Sophia adalah kedaulatan negaranya. Kedua sikap Sultan al-Fatih dan Erdogan adalah sikap cinta tanah air dengan pengorbanan yang berbeda.  Hal ini kontras dari apa yang selama ini didakwakan oleh aktivisi Hizbut Tahrir di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.

Tim Forum Kajin Ilmiah AFKAR Wisudawan Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo Tahun Akademik 2018-2019 dalam buku Kritik Ideologi Radikal: Deradikalisasi Doktrin Keagamaan Ekstrem dalam Upaya Meneguhkan Islam Berwawasan Kebangsaan mengutip pendapat Syaikh Yusuf al-Qardawiy (2019: 336), bahwa tidak setiap kecenderungan nasionalisme yang diketahui mengarah pada sekulerisme, bahkan ia banyak melihat kecenderungan nasionalisme  mengandung ruh-ruh Islam. Pemuda gigih tentu akan memiliki cinta tanah air yang kuat, ia tidak peduli dengan cibiran suatu komunitas yang ingin mengubah ideologi negara yang telah disepaki bersama. Habib Ali bin Abd. al-Rahman al-Jufriy dalam Youtube Tanbih Media (6/5/2018) sebagaimana diterjemahkan secara langsung oleh Habib Jindan bin Novel bin Jindan menasehati agar menjaga negara dan tidak mudah terprovokasi dari orang-orang yang mungkin membawa nama liberal dan demokrasi. Walaupun juga terhadap orang yang bersurban dan bergamis putih dan menggunakan “nama untuk Islam”, tetapi melakukan provokasi terhadap sesama anak bangsa sehingga terjadi fluktuasi dan pertumpahan darah.

Ketulusan pemuda kepada tanah air, bukan berarti ia tidak mencintai agama yang dianut. Cinta tanah air tidak hanya karena naluri, tetapi juga hadir dari aspek keimanan. Bagaimana mungkin akan beragama dengan baik, jika kondisi negara tidak bersahabat? Kecerdasan pemuda dilihat bagaimana berkomitmen terhadap ideologi yang dibentuk atas kesepakatan bersama oleh para pendiri negara. Di Indonesia, Pancasila adalah titik temu antara berbagai dinamika pandangan dan pemikiran di Indonesia yang diambil dari nilai-nilai masyarakat nusantara. Pemuda yang menginginkan dan bergerak untuk merubah menjadi pandangan sekuler, komunis atau bahkan ekstremis adalah bentuk pengkhianatan konkret kepada para pejuang di masa lalu. Pemuda cerdas tentu akan membela negara dari campur tangan asing yang hanya untuk mengambil keuntungan dari konflik dan perang saudara serta pandai menghadapi segala situasi dan kondisi hidup.

*Samsuriyanto, Pemuda Hebat 2019 Kemenpora sekaligus Dosen Studi Islam pada International Undergraduate Program, ITS Surabaya

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru