33.2 C
Jakarta

Kumpulan Hadis-Hadis Intoleran, Benarkah?

Artikel Trending

KhazanahOpiniKumpulan Hadis-Hadis Intoleran, Benarkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, bangsa yang terdiri dari berbagai budaya, etnis, suku, bahasa, bahkan agama dan lainnya. Kemajemukan yang merupakan keniscayaan tersebut, di satu sisi merupakan khazanah kekayaan bangsa sekaligus sebagai pemersatu kekuatan bangsa, namun di sisi lain justru berpotensi terhadap kehancuran bangsa karena banyaknya kepentingan dari masing-masing kelompok berbeda.

Sungguh disayangkan, acap kali konflik terjadi disebabkan atas dasar perbedaan, salah satunya karena perbedaan agama atau keyakinan. Alih-alih agama menjadi penguat persaudaraan dan persatuan justru sebaliknya, yakni menjadi alat untuk melegitimasi setiap tindakan kekerasan dan permusuhan.

Pemahaman terhadap teks-teks agama (Alquran dan hadis) yang tidak komprehensif hanya akan memberikan kesan kaku dalam mengamalkannya, bahkan lebih jauhnya menghasilkan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud teks itu sendiri. Dalil-dalil tersebut acap kali dipahami secara literalis tekstualis tanpa memperhatikan kondisi sosial, budaya, lokal, temporal, majaz, sabab al-wurud dan aspek lain yang berkorelasi terhadapnya.

Ketidaktepatan memahami hadis-hadis yang nampak intoleran akan mengakibatkan rusaknya substansi dan tujuan hadis itu sendiri. Alih-alih meningkatkan kerukunan antar umat beragama dalam berbangsa dan bernegara, justru malah menciptakan suasana permusuhan nan mencekam dan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terdapat hadis Rasulullah saw. yang berbunyi: “Janganlah kalian memulai salam terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani, apbila kalian menamui salah seorang dari mereka di jalan, maka paksalah mereka ke (jalan) yang paling sempit”. [HR. Timizi]

Dua Orang Rawi

Dalam penelusuran penulis, ada dua orang rawi dalam hadis tersebut yang memiki catatan dalam kedzabitannya, yaitu ‘Abd al-‘Aziz dan Suhail bin Abi Salih. Dalam kitab Tahzdib al-Kamal, ada 12 komentar yang ditujukan terhadap terhadap ‘Abd al-‘Aziz, 8 di antaranya komentar pujian (ta’dil), sedangkan 4 sisanya komentar celaan (jarh}). Baik komentar pujian maupun komentar celaan yang ditujukan terhadapnya, semuanya disampaikan secara umum tanpa ada penjelasan lebih detail (ghair mufassar).

Dalam menyikapi hal ini, Mahmud al-Tahhan memberikan solusi sebagai jalan keluarnya, yaitu apabila dalam diri seorang rawi terdapat jarh dan ta’dil , maka yang harus didahulukan adalah jarh dengan syarat disertai mufassar. Dengan demikian, maka pendapat yang berlaku adalah “komentar ta’dil  harus didahulukan dari jarh“, karena komentar jarh yang ditujukan terhadap ‘Abd al-‘Aziz semuanya ghair mufassar. Jelas sudah, ‘Abd al-‘Aziz dinilai sebagai perawi yang berstatus ta’dil. Begitupula dengan Suhail.

BACA JUGA  Kaffah Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Hadis yang intoleran (nampak intoleran) muncul atas respon pengkhianatan keji Yahudi Bani Quraizah terhadap perjanjian yang dibuat bersama dengan Nabi Muhammad SAW. Perjanjian tersebut dirusak dan dilanggar secara sebelah pihak oleh Bani Quraizah.

Jika memperhatikan sabab al-wurud hadis ini secara utuh, maka tak akan ada lagi kesulitan dalam memahami hadis ini. Kita pasti tahu hadis ini tidak bisa diamalkan begitu saja secara umum, sehingga setiap orang muslim harus berlaku intoleran terhadap non muslim, sedangkan di lingkungan atau negaranya, antara muslim dan non muslim hidup secara bergandengan dengan damai. Hal tersebut boleh jadi justru akan berdampak pada ketegangan di antara dua belah pihak dan mengakibatkan ujaran kebencian, bergolaknya permusuhan, tindakan kekerasan dan pecahnya persaudaraan sebangsa. Bahkan lebih jauhnya mengakibatkan disintegrasi bangsa.

Sebab Khusus

Dalam hal ini, penulis melihat adanya sebab khusus yang tersembunyi yang melatarbelakangi munculnya hadis ini. Kendati lafaz yang digunakan adalah lafaz yang bersifat umum. Tentu dengan pemahaman sederhana, hadis ini dapat diejawantahkan dengan sebab khusus tersebut. Oleh karena itu, hadis ini  harus diamalkan sesuai dengan kekhususan sebabnya bukan keumuman lafaznya, dalam istilah lain disebut al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafaz.

Tidak dapat diragukan lagi bahwa kondisi pada saat itu adalah kondisi perang. Kondisi yang mengharuskan umat Islam (sebagai masyarakat Madinah) untuk melakukan penyerangan terhadap mereka yang melakukan penghianatan terhadap perjanjian damai yang telah disepakati.

Di Indonesia, Bhineka Tunggal Ika menjadi pengikat titik temu (kalimatun sawa) atas keragaman yang ada di negara ini. Keragaman yang dimaksud adalah keragaman agama, bahasa, suku, etnis, budaya dan keragaman lainnya. Al-Maraghi dalam tafsirnya menyatakan Allah tidak melarang kalian (Nabi -umat Islam-) untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangimu karena agama, tidak mengusir kamu dari negerimu, tidak pula membantu orang lain untuk mengusirmu dari negerimu.

Dari sini jelas bahwa hadis yang intoleran (nampak intoleran) ini hanya bisa diamalkan pada saat kondisi yang sama, yaitu kondisi perang. Menurut Ali Mustafa Yaqub, umat muslim harus mengamalkan hadis sesuai dengan keadaannya.

*Oleh: Azis Arifin, pemerhati masalah sosial keagamaan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru