28.9 C
Jakarta

Habib Umar dan Satpol PP

Artikel Trending

KhazanahInspiratifHabib Umar dan Satpol PP
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Selang terjadinya keributan Habib Umar dengan satpol PP karena pelanggaran PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar di Surabaya, sebuah video mengenainya mendadak viral di jagat media sosial. Satu sisi menyalahkan Habib Umar karena tidak mematuhi pemerintah. Sisi lain menyalahkan satpol PP yang bertindak tidak sopan terhadap habib atau keturunan Rasulullah Saw.

Aturan PSBB yang dilayangkan pemerintah tentunya tidak memandang status sosial seseorang. Sebuah kesalahan bila seseorang melanggar aturan ini, meski secara status sosial dia termasuk orang berbeda, jika meminjam istilah di pesantren, “berdarah biru” atau tokoh masyarakat, seperti habib, kyai, gus, ustaz, dan seterusnya.

Perintah mematuhi keputusan pemerintah sesungguhnya telah disebutkan dalam Al-Qur’an: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59).

Pakar tafsir berbeda pendapat siapa sebenarnya Ulil Amri? Ibnu Abbas dan Jabir menyebutkan Ulil Amri adalah ahli fikih dan ulama yang mengajarkan manusia tentang pengetahuan-pengetahuan agama. Pendapat ini didasarkan pada pesan ayat Al-Qur’an: Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS. an-Nisa’ [4]: 83). Sedangkan, menurut Abu Hurairah, Ulil Amri adalah pemerintah.

Dari pendapat itu, saya lebih setuju pada pendapat yang kedua. Karena, pendapat ini memiliki relevansi yang sangat kuat dalam membela pemerintah sebagai bapak dari para rakyat. Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib menyebutkan: Hak pemimpin atau pemerintah itu menentukan suatu hukum sesuai Al-Qur’an dan melaksanakan amanah. Jika ia melakukan yang demikian itu, maka hak warga negara atau rakyat mendengarkan dan mematuhinya.

Menarik pesan yang disampaikan Sayyidana Ali tersebut bila dihadapkan dengan kasus Habib Umar dengan satpol PP tadi. Habib Umar—tanpa mengurangi ketakziman saya kepada beliau—seharusnya mematuhi peraturan PSBB yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetap salah bila Habib Umar melanggar peraturan pemerintah itu, kendati memiliki status sosial yang kuat di tengah masyarakat. Karena, sebagai warga negara Habib Umar harus mendengarkan dan mematuhi imbauan pemerintah.

Tanpa saya menyalahkan dan memperkeruh situasi, Habib Umar telah melakukan pelanggaran. Selain pelanggaran PSBB, mobil yang dikendarainya melebihi kapasitas, bahkan sopirnya tidak memakai masker. Meski, pada akhirnya satpol PP yang benar-benar menegakkan aturan meminta maaf langsung kepada Habib Umar, sampai kemudian mendapat hadiah umrah. Sungguh peristiwa ini sangat dramatis. Sederhananya, ini mungkin rezekinya satpol PP yang bersangkutan naik haji tak ubahnya cerita penjual bubur naik haji.

Status “habib” ini memang menjadi suatu kehormatan karena secara genetik memiliki hubungan yang kuat dengan Nabi Muhammad Saw. Melalui status ini para habib berbeda-beda dalam menyikapinya. Teman saya, Habib Husein Ja’far al-Hadar melihat status “habib” ini dari dua kaca mata: Pertama, status “habib” sebagai identitas, sehingga habib memanfaatkan identitas ini untuk membedakan status sosial antara habib dan selainnya. Kedua, status “habib” sebagai tanggung jawab. Siapa pun habib yang menyadari status “habib” sebagai tanggung jawab, maka ia merasa berat memikulnya. Karena, habib, sesuai dengan makna kosakatanya, adalah sosok yang mencintai dan dicintai.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XLI): Eks Napiter Inisial MI Kembali ke NKRI dan Siap Bantu Pemerintah

Cara pandang yang berbeda itu mengingatkan saya pada Muhammad Quraish Shihab yang tidak mau dipanggil dengan “habib”. Quraish Shihab berdalih dengan ketawadukannya, bahwa beliau sendiri merasa belum pantas mengemban status terhormat ini. Quraish Shihab masih ingin berjuang dulu untuk mencapai tingkat “haba’ib”, kendati masyarakat tahu Quraish Shihab sudah layak menyandang status “habib”. Selain karena Quraish Shihab keturunan Rasulullah, beliau memiliki ilmu yang mumpuni dan diakui oleh banyak orang. Bahkan, ayah Quraish Shihab sendiri memarahi siapapun yang memanggil dirinya “habib”.

Mencontoh sikap Quraish Shihab, saya belajar banyak hal. Salah satunya, sikap beliau yang tidak mau dikenal karena menjual status “habib” kepada masyarakat. Quraish Shihab menginginkan dikenal karena dua hal: akhlak dan karyanya. Terbukti, Quraish Shihab sangat menjaga akhlak yang baik kepada siapapun, sekalipun orang itu membencinya. Quraish Shihab bahkan sangat menghormati perbedaan. Bila tidak setuju dengan pendapat yang berbeda, Quraish Shihab tidak mengungkapkannya. Karena, dengan diungkapkan akan dapat memperkeruh suasana dan menebar kebencian.

Soal karya, Quraish Shihab lebih dikenal dengan ulama yang sangat produktif pada masa sekarang. Puluhan buku sudah lahir dari tangannya. Salah satu karya monumentalnya adalah Tafsir Al-Mishbah yang sampai sekarang sudah diteliti dan dibaca oleh banyak orang, baik kalangan akademisi maupun orang awam. Keterbukaan Quraish Shihab terhadap perbedaan menghiasi karya-karyanya dengan beragam pendapat, baik antar mazhab maupun antar agama. Quraish Shihab tidak peduli siapa yang mengatakan. Selagi pendapat itu dapat ia terima, Quraish Shihab kutip.

Kemarin di tengah perdebatan peraturan pemerintah tentang Virus Corona, Quraish Shihab lebih mendukung pemerintah dengan mentaati peraturan. Quraish Shihab menghimbau untuk tetap beraktivitas di rumah. Sebut saja, bekerja dari rumah dan shalat di rumah. Bahkan, Quraish Shihab berpandangan bahwa Virus Corona adalah setan yang harus diperangi dengan cara social distancing atau pembatasan jarak dan PSBB.

Kembali kepada peristiwa ributnya Habib Umar dengan satpol PP, hendaknya kita bisa berpikir bijaksana. Bahwasanya, yang dapat dibenarkan adalah sikap satpol PP yang memberikan imbauan kepada Habib Umar. Tanpa mengurangi ketakziman, Habib Umar tidak akan selamanya ma’shum, terlepas dari kekeliruan. Siapapun yang keliru hendaknya diberi nasehat agar menyadari atas kesalahannya. Lebih dari itu, Habib Umar perlu belajar banyak hal kepada Habib Muhammad Quraish Shihab.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru